Maret 19, 2012

Konsep Income Statement Dan Value Measurement Serta Relevansinya Dengan Akuntansi Islam

   
Konsep Income Statement Dan Value Measurement Serta Relevansinya Dengan Akuntansi Islam


Ditulis oleh Shahul Hameed Bin Hj .Mohamed Ibrahim   



Tujuan dari makalah ini adalah untuk mereview berbagai macam tawaran konsep dalam literature akuntansi yang berkenaan dengan income dan value kemudian mendiskusikan relevansinya terhadap akuntansi Islam, bagian I makalah ini mendiskusikan tentang pengukuran income, capital, value serta capital maintenance dan inter-koneksi dari masing-masing konsep tersebut. Model income measurement alternative termasuk akuntansi tradisonal, ekonomi dan model value mutahir kemudian akan dielaborasi, evaluasi perbedaan pengukuran income Belkaou (1992) kemudian akan didiskusikan juga.
Bagian II, sudut pandang serta sifat dan tujuan akuntansi Islam, sebagai pembanding akuntansi konvensional diulas sebagai latar belakang kemungkinan perbedaan dalam konsep income dan valuasi dalam akuntansi Islam. Dua institusi utama Islam, zakat dan pelarangan riba serta konsekuensinya terhadap income model valuasi akan dibahas lebih mendalam, akhirnya relevansi akuntansi income dan model valuasi konvensional ditela’ah dalam krangka zakat dan bagi hasil serta penghindaran konflik antar stakeholders. Disimpulkan bentuk nilai berdasar model income lebih sesuai dengan tujuan akuntansi Islam tentang keadilan dan pengungkapan penuh.

Bagian I: review model income dan valuasi konvensional
1.    Pendahuluan
Pengukuran dan penilaian asset, liability (passiva) konsekuensi penentuan income telah menjadi masalah yang menarik dalam teori akuntansi. Faktanya konsep income sebenarnya merupkan salah satu teri penting dalam akuntansi yang perhatiannya untuk menemukan ukuran 'true income' (AAA 1977) berbagai macam model pengukuran income (pendapatan) diletakkan di bagian awal pada berbagai literature, isu ini tidak dapat disangkal dengan permasalahan penilaian asset jika mengdopsi konsep ekonomi Hicks tentang pendapatan sebagai perbedaan dalam “well-offness”. Meski dalam konsep akuntansi tradisional konsep pendapatan sebagai residu pemasukan terhadap pengeluaran. Pengakuan pemasukan dan biaya serta sejumlah depresisasi bergantung pada bagaimana asset-dinilai menghadirkan masalah yang sama.
1.    Pentingnya pengukuran pendapatan
Dalam akuntansi konvensional, penentuan income atau ‘keuntungan’ adalah salah satu fungsi utama akuntansi sebagai penentu perpindahan kekayaan antar seseorang. Contohnya, bonus pegawai sering berdasar pada jumlah income dividen investor tergantung pada income (meski kebijakan dividen tidak mempunyai hubungan secara langsung), pendapatan juga mengukur usaha dan pencapaian manajemen dimana mereka akan mendapatkan imbalan (bonus/ opsi saham) atau sebaliknya, prospek kepegawaian dapat bergantung pada jumlah income sebagai efektiftas kerja, yang sering dijadikan evaluasi oleh investor. Income juga panduan untuk berinvestasi e.g earning per share berbasiskan jumlah pendapatan adalah ukuran utama dimana nilai saham bergantung pada keputusan investor untuk membeli, menjual atau menahan investasinya. Sebagai tambahan, akuntansi income adalah dasar perpajakan  meski hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebijakan fiskal. Dalam akuntansi Islam, kekayaan dan keuntungan berdasar pada zakat (Pajak Islam) yang di kenakan pada individu atau organisasi. Hal ini menjadi sangat penting karena bunga dilarang dalam Islam, begitu pula dengan pendapatan tetap pada modal. Keuntungan dan income sangat penting dalam Islam, lebih dari akuntansi konvensional yang menjadikan income hanya sebagai dasar seseorang mendapatkan keuntungan modalnya. Lebih jauh pengukuran pendapatan mengambil porsi besar dalam subjek teori akuntansi dan banyak buku-buku yang membahas menganai masalah ini eg. Davidson et al (1964), meskipun dapat dilihat bahwa pendapatan adalah konsep penting, kita akan mereview konsep pendapat ini pada literatur berikunya.
1.    konspep pendapatan dalam akuntansi dan ekonomi
Dapat terlihat dalam pembahasan sebelumnya bagaimana konsep income penting dalam akuntansi, Lee (1986, p6) mengobservasi, terlepas hal ini penting baik dalam teori dan praktek, sangat sedikit litertur akuntansi yang releven dipersembahkan terhadap penjelasan sifat fundamental income, karya yang lebi penting telah ada dalam ekonomi dan atau letiratur interdisipliner dengan penulis berlatar belakang  ekonomi (e.g. Fisher (1906), Canning (1929), Lindahl (1933), Sweeney (1936), McNeal (1939), Hicks (1946) and Alexander (1950)) income menurut ekonom berbada dari apa yang dimaksud akuntansi menurut Parker dan Harcourt (1969).
“Economists , mindful of Jevon's remark that 'bygones are forever bygones', have tended to define income in term of expectations”.
            Meski ekonom mendefinisikan income sebagai ukuran ex ante i.e sebelum kejadian dalam arti harapan masa depan dimana akuntan mengukur income sebagai hasil aktifitas ekonomi pada peride lampau i.e ex-post sekarang akan didiskusikan perbedaan-perbedaan tersebut dalam beberapa detail.
Konsep akuntansi pendapatan
Definisi tradisional income atau profit oleh akuntan adalah surplus yang dihasilkan dari akitifitas bisnis, hasil dari  siklus cash-to cash operasi bisnis, dengan membandingkan pemasukan dengan pengeluran dalam periode tertentu (bisaanya setahun) yang disebut juga dengan tahun financial. Income tersebut ditentukan ex-post setelah kejadian. Proses tersebut menyebabkan agregasi biaya tidak teralokasi harus diperhitungkan (dalam neraca) pada akhir periode akuntansi, biaya tidak teralokasi ini ( asset non moneter) bersama dengan entitas sumber moneter setelah dikurangi kewajiban menghasilkan nilai sisa yang disebut dengan accounting capital atau residual equity. Oleh karena itu laba akuntansi menghasilkan korespondensi ukuran modal dan analisanya sebagai perubahan sementara modal, definisi yang sesuai tentang akuntansi income menjadi tidak jelas dan dapat berarti banyak. Maka pertanyaanya adalah:
Apakah income termasuk pendapatan insidental yang bukan aktifitas utama organisasi e.g menjual aktiva tetap?
Apakah income termasuk pendapatan yang muncul tidak tentu (non-maintainable earnings / quality of earnings). Hal ini berimplikasi pada harga saham di pasar. Apakah income termasuk penahanan keuntungan tidak terealisasi yang muncul dari peningkatan dalam nilai asset?
            FASB (1980) contohnya menawarkan istilah “comprehensive income “ yang memasukkan semua perbahan dalam modal kecuali segala sesuatu yang dihasilkan dari investasi dan distribusi oleh pemilik. Menurut Belkaoui (1992, p 204), hal ini lebih inklusif dibanding dengan konsep pendapatan akuntansi tradisional. Sepertinya hal ini juga memasukkan penerimaan hutang pada pendapatan, sebagai kreditur jangka panjang bukan pemilik bisnis meski hal ini tidaklah benar.
            Konsep pendapatan ekonomi
            Disisi lain, para ekonom menyadari income sebagai rangkaian pengalaman jiwa seseorang i.e, keceriaan atau peristiwa tertentu dari berbagai orang lebih dari sekedar sebuah entitas (Fisher 1930). Faktanya menurut dia, sebuah entitas artifisial seperti bisnis tidak bisa mendapatkan income karena bisnis tidak memiliki kesadaran. Konsumsi sebagai kebutuhan absolute menurut konsep Fisher menjadi sangat penting sampai-sampai ia tidak mengakui tabungan sebagai income karena ia menganggap tabungan hanya sebagai konsumsi potensial, dimana tidak ada kegembiraan yang dirasakan mengenai itu. Meskipun begitu ekonom selanjutnya mengadopsi konsep income personalnya pada entitas bisnis dengan memasukkan tabungan dalam  konsumsi sebagai bagian income.
            Semenjak kegembiraan seseorang adalah subjektif dan tidak dapat diukur secara langsung, Fisher memperkirakannya dengan mundur dua langkah dibelakang income kegembiraan pada biaya hidup atau ukuran riil pendapatan i.e nilai moneter akhir konsumsi barang fisik dan jasa di dunia luar.
            Hicks (1946) memperluas konsep income ekonomi dengan apa yang kita sekarang kenal sebagai maintenance of capital intact, sebelum income lainnya dimasukkan. Mengikuti ide bahwa “ kalkulasi income dalam praketek adalah untuk memberi seseorang indikasi berapa jumlah yang bisa ia konsumsi tanpa menjadikan ia miskin”, ia mengenalkan konsep well-offmess sebagai dasar perkiraan income seseorangnya Fisher. Menurut dia, income adalah:
“the maximum value which ..(a person) can consume during a week and still expect to be as well  off at the end of the week as he was in the beginning”
Definisi yang baik ini memaksa agar modal harus di kembalikan sebelum income dapat dikalkulasi, namun bagaimanakah well-offness ini didefinisikan, dijawab oleh Hicks sendiri, ia lebih jauh mengelaborasi dan mengoprasionalkan well-offness-(kondisi terbaik) nya dalam bebarapa perkiraan i.e.
1)      Di bawah kondisi bunga tidak berubah dan ketiadaan inflasi
2)      Dibawah bunga yang berubah tapi tidak ada inflasi.
3)      Dibawah tingkat suku bunga tetap (fixed rate) dengan inflasi
Dengan mendefinisikan income kedalam beberapa keadaan ini.
Pada kondisi pertama, income didefinisikan menjadi jumlah maksimun yang bisa dibelanjakan selama beberapa periode tertentu, jika terdapat ekspektasi untuk mempertahankan nilai modal tetap masuk (dalam bentuk uang) secara utuh.
Kondisi 2) income didefinisikan sebagai jumlah maksimum seseorang yang dapat dibelanjakan selama periode tertentu dan tetap dapat memblanjakannya dengan jumlah yang sama pada tiap periode berebada. Definisi ini mengurangi kondisi pertama  1) ketika suku bunga tetap.
Dalam kondisi 3) income didefinisikan jumlah yang bisa dibelanjakan seseorang dalam periode tertentu dan tetap dapat membelanjakannya dalam jumlah sama pada minggu berikut.
Income economi kemudia dapat ditulis dengan persamaan berikut:
Ye= C+Kt-Kt-1 dimana
Ye = economic income
C = Consumtion
Kt dan Kt-1 adalah modal di akhir dan diawal periode secara berturut-turut yang diukur dengan present value cash flow masa depan pada saat t dan t-1.
Hal ini dapat diperbandingkan dengan income akuntansi Ya = Rt-Rt-1 +D dimana Rt dan Rt-1 adalah modal residual di awal dan diakhir periode dan D adalah deviden yang didistribusikan kepada pemilik. Meskipun persamaan tersebut sama, income ekonomi adalah hasil valuasi modal di awal periode sebagai kapitalisasi nilai yang akan diterima dimasa mendatang, sebaliknya income akuntansi yang dihasilkan dari proses memperbandingkan menghasilkan dalam bentuk modal residual. Oleh karena itu dalam ekonomi, income adalah residu i.e para ekonom memasukkan modal untuk mengukur income dimana dalam akuntansi tradisional, capital adalah residual setelah income dihitung.
Ekonomi pada keadaan ketidakpastian di istilahkan dengan ideal income (Lee, 1985, p31). Dalam “dynamic economy” meminjam istilah Alexander (1977), dimana nilai mengalami perubahan karena perubahan harga dan ekspektasi masadapan, income tidak dapat di hitung secara objektif oleh karena itu hal ini tidak dapat dipraketekkan dalam dunia bisnis. Memprediksikan jumlah dan waktu cash flow serta pilihan kesesuaian tingkat diskon (yang bergantung pada preferensi individu dan ketersediaan alternative investasi) memperkirakan opportunity cost sebuah entitas dapat menghadirkan masalah. Lebih jauh dalam income ekonomi, diasumsikan bahwa tingkat pengembalian modal termasuk cash flow realisasi diinevestasikan kembali pada tingkat diskon (discount rate). Hal ini menjadikan reinvestment dapat dilakukan dan tingkat suku bunga dalam keadaan konstan. Walaupun begitu hal ini tidak terjadi dalam dunia nyata yang mengandung ketidakpastian dan akan menuju pada unexpected gains (merujuk pada lee 1985). Pengulangan kembali reinvestasi pada periode berikutnya menambah permasalahan ini. Akhirnya terdapat masalah dengan asumsi constant well-offness yang tidak realistis, karena dalam kenyataan seseorang atau bisnis akan memiliki satu dari tujuannya adalah pertumbuhan modal. Disamping fakta bahwa pertumbuhan dapat di masukan kedalam model ekonomi (e.g model pertumbuhan deviden Gordon). Prediksi tingkat pertumbuhan dapat membuyarkan masalah.
Namun, income ekonomi secara teoritis dapat dianggap sebagai model income paling sempurna, karena nilai modal tidak terbantahkan berhubungan dengan arus kas. Nila modal juga memasukkan sumber daya manusia dan fisik dari sebuah entitas yang mendasari modal. Hal tersebut (ex ante income ekonomi) juga merefleksikan 'guidance to prudent conduct' i.e jumlah maksimum pemilik modal yang dapat dikonsumsi (atau dividen perusahaan yang didistribusikan) tanpa menggangu modal dan konsumsi masa depannya. Penilaian ini didasarkan pada prediksi arus kas masa depan sesuai untuk pengambilan keputusan (ini adalah dasar teknik penilaian discounted cash flow investasi dalam manajemen akuntansi). Income ekonomi juga memperhitungkan  factor waktu (keuntungan ekonomi potensial menjadi lebih berharga sebagai realisasi relevant terdekat). Akhirnya tingkat pengembalian modal dispesifikasi sebagai panduan penginvestasioan kembali dan capital maintenance (Lee 1985 p43).
1.    Capital dan Capital maintenance
Dalam akuntansi, capital (modal) dapat dikatakan sebagai kumpulan asset tangible (berwujud) dan intangible (tidak berwujud), keduanya dapat berbentuk moneter dan non moneter,. ini
“sebuah ekspresi hak kepemilikan entitas dalam asset bersih” dan merepresentasikan potensi jasa masa depan (Lee 1985), berbasis transaksi dan tergantung pada proses perolehan income dari tiap transaksi yang tercatat. Bagi ekonom, capital adalah servis potensial dimana income mengalir i.e ekonom melihat kedepan dalam istilah servis terantisipasi dan ekspektasi-ekspektasi ini berasal dari basis penentuan modal(Lee 1985 p9).
Fisher (1930), contohnya, mendefinisikan capital sebagai present value dari keuntungan antisipatif masadepan yang dapat direpresentasikan dengan persamaan berikut;
Ko=S Ct(1+i)-t
Dimana K0 = modal pada periode t = 0 dan Ct merpresentasikan antisipasi konsumsi masa depan dalam arti arus kas teramal dan I, adalah tingkat suku bunga (tingak opportunity cost seseorang). Fisher melihat bunga sebagai jembatan antara income dan capital, sementara Hicks mendefinisikan capital sebaga well-offness dan mendefinisikannya sebagai kapitalisasi nilai uang di masa mendatang, pendangannya capital dan income adalah satu namun terpisah untuk tujuan pengukurannya.
Hal ini dapat dilihat bahwa perbedaan antara modal akuntansi dan ekonomi adalah satu ukuran. Sebgaimana Boulding (1962) mengemukakan; dimana akuntan mengukur modal dalam bentuak aktualisasi produk dari proses pengukuran income, ekonom mengukurnya dalam bentuk potensinya dalam mengukur income ekonomi.
Ide berkenaan dengan modal dan maintenencenya bergantung pada difinisi dan penilain sistem yang digunakan. Contohnya modal dapat didefinisikan sebagai modal uang, modal fisik (tangible asset/kapasitas operasi), konsumsi potensial (pengukuran discounted cash flow ekonom) atau daya beli. Nilai tersebut termasuk historical cost, biaya penggantian, nilai realisasi bersi atau present value. Semua kemungkinan-kemungkinan ini memberikan berbagai macam permutasi income dan capital.
Capital maintenance
Capital maintenance adalah konsep yang sangat penting dalam pengukuran income capital perlu dipertahankan sebelum diakuinya income (untuk keperluan penyusutan), atau pun distribusi (e.g deviden) dapat dibuat disusun dari modal. Ini adalah illegal dibawah peraturan perusahaan bagi korporasi karena ditakutkan bahwa distribusi dividen modal akan mengurangi jumlah uang yang tersedia bagi kreditor, yang hanya sumber pembatasan kewajiban perusahaan dalam keadaan normal adalah modal dan simpanan.
Konsep mempertahankan modal secara utuh berdampak pada kebutuhan penyusutan menurut Pigou (1941), capital, pada tiap saat terdiri dari kumpulan barang fisik yang tidak ambigue dan jika tiap objek dalam pengumpulan ini telah usang, maka harus digantikan oleh objek yang sebanding,.
Namun, perubahan pada komponen nilai capital membuat notasi capital maintenance menjadi susah (Hayek 1941). Sejak capital, pada dunia nyata, terdari dari banyak hal yang heterogen, magnitude fisik hanya bisa dihadirkan dengan menyamakan semua item-item ini dalam item yang sebanding dimana tiap komponen berharga bagi persamaan item lain. Kesulitan muncul, pada saat nilai relative semua hal tidak independent dari poroses penyamaan, maka capital tidak akan bisa dipertahankan, jika terdapat perubahan nilai relative komponennya, bahkan jika persediaan fisik tetap sama. Permasalahan lainnya adalah keusangan terkait dengan perubahan teknologi harus dianggap sebagai depresiasi, meskipun modal fisik tetap utuh. Hayek mengusulkan bahwa prediksi keusangan harus di buat bagus sebelum diperoleh income bersih. Hicks juga menganggap prediksi keusangan sebagai “depresiasi yang sesungguhnya” dan harus disediakan untuk mempertahankan modal. Prediksi keusangan menurut dia adalah kerugian modal. Dalam praktek, akan sangat sulit untuk membedakan dapat diramalkan dan tidak dapat diramalkannya keusangan suatu barang, oleh karena itu keusangan dapat menyebabkan kerugian modal (capital loss) (Goyle 1990).
Beberapa konsep modal juga menyebabkan kesulitan, modal apa yang harus di pertahannkan? Apakah uang (original cost) modal, modal riil (daya beli) atau kapasitas operasi (untuk mempertahankan income). Untuk mempertahankan modal dengan utuh, cukup depresiasi yang mendasari biaya akuisisi (historis) asset. Dalam periode inflasi umum, meski money income akan sama pada periode-periode selanjutnya, pemilik tidak akan dapat untuk mengkonsumsi jumlah barang yang sama sebagaimana ia lakukan pada periode sebelumnya, dan hal ini bertentangan dengan konsep income-nya Hiks. Jika modal riil dipertahankan untuk periode tertentu di saat harga-harga naik maka biaya asset akan menjadi berlipat ganda dan depresiasi akan bersandar pada nilai baru ini. Namun jika, harga tertentu dari asset bergerak berbeda dalam hubungannya dengan tingkat harga, maka walaupun penyesuaian terhadap tingkat harga tidak akan cukup untuk mempertahankan modal, sebagaimana pada saat pergantian asset, jumlah dana dijaga (bukan cash) akan tidak mampu untuk memenuhi syarat pergantian yang sama atau ekuifalen asset untuk memproduksi dengan kapasitas sama. Jika disediakan jumlah yang mencukupi untuk mempertahankan modal fisik maka kemudian, harus juga menyediakan depresiasi berdasar pada nilai asset sekarang pada periode akuntansi, penyesuain cadangan depresiasi sebagaiaman digariskan oleh SSAP 16. permasalahan ini menjadi lebih komplek terkait dengan peningkatan teknologi baru, pergantian peralatan baru mempunyai kapasitas lebih dengan biaya lebih rendah e.g pada kasus komputer dimana tanaga/rasio biaya bertambah selama tiap enam bulan, pada kasus tersebut, jika kita mengikuti konsep current cost depreciation concept, maka kita dapat mempertahankan modal.
Grinyer dan Symon (1980) berpendapat bahwa capital maintenance adalah abstraksi tidak penting bagi mereka yang tidak dapat mengidentifikasi alasan logis mengapa ‘batasan’ capital maintenance harus di lakukan pada suku bunga jangka panjang pelaku bisnis. Argumentasi mereka berdasarkan pada fakta bahwa ekonom tidak dapat mencapai kesepakatan tentang definisi income dan hubungannya dengan modal. Sejak kekayaan tidak dapat didefinisikan secara tidak ambigue, oleh karena, mereka berpendapat bahwa tidak mungkin untuk mempertahankan apa-apa yang tidak dapat defisniskan.
Penilaian selalu menjadi masalah pada tiap tipe pengukuran income, hanya karena kita tidak pernah dapat setuju tentang dasar penilaian tidak dimaksudkan bahwa modal tidak perlu dipertahankan. Istilah profit atau “income” dalam bahasa Amerika adalah kelebihan dalam modal asal. Dengan memungkinkan untuk  menambah pengungkapan pada nilai alternative atau informasi dari sumber yang berbeda, pengguna akan bisa melakukan penyesuaian yang diperlukan guna mendapatkan keputusan yang tepat. Boulding (1962) menyatakan:
"There is something to be said for a certain naiveté and simplicity in accounting practice. If accounts are bound to be untruths anyhow, ....., there is much to be said for the simple untruth as against a complicated untruth, for if the untruth is simple, it seems to me that we have a fair chance of knowing what kind of untruth it is. A known untruth is much better than a lie, and provided that the accounting rituals are well known and understood, accounting may be untrue but it is not lies.......(p55)
Penulis (Grinyer dan Symon) lagi-lagi nampak membingungkan antara mempertahankan modal fisik dengan pengumpulan asset yang sama atau teknologi bisnis. Contohnya ketika mempertimbangkan kepentingan pegawai, mereka menyatakan:
“In the long run, however, the survival of the business and consequently the provision of consumption possibilities to participants in it, usually depends on its success in adapting to the changes in demand, in a dynamic capitalistic economy. Such adaptation would be , we believe, be impeded rather than helped, by the imposition of the physical capital maintenance constrain”t. (Grinyer & Symon, 1990, p 406 ).
Perawatan modal fisik, saya percaya, hal tersebut adalah menjaga kapasitas operasi perusahaan guna memproduksi dengan jumlah yang sama jika tidak mendapatkan income yang lebih baik daripada periode sebelumnya. Hal ini tidaklah berarti bahwa Grinyer dan Symon mempercayai bahwa perusahaan harus menggunakan teknologi dan mesin yang sama. Yang penting adalah kemampuan perusahaan untuk memproduksi produk (baik baru atau lama) yang akan menghasilkan paling tidak income yang sama sebagaiaman periode sebelumnya. Jelaslah, jika hal ini tidak benar, maka tiap distribusi akan menjadi bagian return of capital dan hal ini akan memburuk dari waktu ke waktu sampai pada titik dimana modal akan termakan dan arus income akan menguap atau menghilang.
Grinyer dan Symon (1980) lebih jauh berpendapat bahwa capital maintenance adalah abstraksi yang tidak dibutuhkan dengan menunjuk dasar pengukuran alternative income, mereka menunjuk pada konseo transaction based matching yang digunakan pada akuntansi konvensional dan untuk tujuan akuntansi arus kas, argumen mereka adalah sejak alternative-alternative ini tidak membutuhkan penilaian tapi berdasar pada transaksi, oleh karena itu capital maintenance sebagai konsep tidak dibutuhkan. Penulis nampaknaya melupakan bahwa biaya historis adalah sistem valuasi meski tidak kekinian, berdasar pada sebuah nilai waktu itu. Lebih jauh seluruh gagasan mencocokkan revenue dengan biaya menyiratkan capital maintenance walaupun apa yang dipertahankan adalah biaya historis i.e modal uang, dan bukan modal riil atau kapasitas produksi. Jika capital maintenance tidak diperlukan, maka tidak juga diperlukan untuk mencocokkan revenue dengan biaya, hanya anggap revenue sebagai profit atau income!, hal sama alternatif cash flow bukan ‘alternative’ bagi capital maintenance namun alternative bagi konsep income sendiri untuk mengatasi dampak arbitary allocatioan. Prof Grinyer nampaknya tidak menekankan bahwa inilah  ‘net cash flow (arus kas bersih)’ yang dihasilkan operasi perusahaan. Nilai bersih dalam rangka mengurangi cash outflow yang diperlukan untuk mempertahankan modal.
Faktanya adalah capital maintenance adalah pusat berbagai pengukuran income yang dengan jelas didemonstrasikan oleh Revisine (1981). Menurutnya:
..an income measure is a derivative that unfolds only after one has decided on what capital it is that one wishes to maintain ....p383
Ia melanjutkan dengan mengelaborasi bahwa tiap opsi pengukuran income populer di bangun atas fondasi perbedaan asosiasi capital maintenance i.e biaya historis income (akuntansi income tradisional) mempertahankan modal nominal dolar, biaya income dari kapasitas operasi fisik, dan konsep-konsep ini dapat dikombinasikan untuk menyesuaikan dengan inflasi (income dolar konstan dibawah historical dan current cost)
Dalam Islam, capital maintenance adalah esensial sebagai profit yang diakui hanya setelah modal dikembalikan, konsep ini memiliki dukungan tinggi dalam hadis Rasulullah Saw, yang meruapakan sumber kedua setelah Al-Qur’an
Rasulullah bersabda:
" the believer is likened unto the merchant. Just as the merchant's profit is not complete until his capital is restored, so too are the believer's supererogatory works incomplete until his prescribed duties have been fulfilled" (Udovitch 1970, p 247)
Udovitch (1970) mengutuip contoh ekstrem dalam Mabsut-nya Sarkashi dimana situasi hipotetis di diskusikan oleh ulama’ hukum Islam, jika seorang investor memberikan sejumlah 1000 dirham sebagai modal tetap kepada sekutu pasifnya, profit akan dibagi 50:50, dan sekutu tersebut menghasilkan 1000 dirham lagi. investor ini membagi profit 500 dirham yang didistribusikan kepada investor sementara sekutunya membelanjakan setengahnya namun tetap mempertahankan modal asli 1000 dirham. Partner tersebut melanjutkan berdagang dan kehilangan modal 1000 dirham, distribusi awal menjadi kosong dan partner tersebut harus membayar kembali kepada investor bagiannya sebesar 500 dirham karena menurut ulama’, modal penuh 1000 dirham tersebut belum sepenuhnya dikembalikan kepada investor. 500 dirham yang sebelumnya didistribusikan merupakan return of capital dan ia masih hutang 500 dirham lainnya modal asli investor. Prinsipnya adalah bahwa partner tidak mengambil bagiannya sebelum modal dipertahankan dan dikembalikan kepada investor. Semenjak ia telah mengambil bagian keuntangannya, ia harus mengembalikan modal investor tersebut. Jumlah yang ditahan dalam bisnis bukanlah 1000 dirham modal asli namun 500 dirham dari modal dan 500 dirham dari keuntungan.
Konsep nilai penting dalam menentukan modal dan income, nilai adalah penilaian atau penghargaan baik dalam etika (merefleksikan moral baik dalam objek maupun konsep) atau dalam ekonomi (merfleksikan pilhan, preferensi, kemauan untuk berkorban) (Lee 1985 p12). Valuasi adalah proses merengking atribut-atribut atau preferensi-preferensi ini. Valuasi adalah proses pengukuran pengorbanan atau pilihan yang dibuat dan hal tersebut hanya sementara i.e lampau, sekarang atau nilai masa depan. Hal ini juga dapat menjadi situasional i.e nilai masukan atau keluaran. Valuasi membutuhkan agen penilai (Anderson 1976) yakni asset yang digunakan untuk mengekspresikan nilai asset heterogen lainnya guna memberi nilai tambah bagi penilaian asset bersih keseluruhan. Agen penilai bisaanya adalah uang, meskipun begitu untuk menjadi agen penilai efektif, uang (atau skala pengukuran) memerlukan standarisasi dan bukan variable. Sayangnya, dalam kondisi inflasi, daya beli uang berbeda-beda dan uang menjadi agen penilai yang tidak setabil. Disamping masalah ini dan keinginan untuk memecahkannya, akuntan terus menggunakan uang sebagai agen penilai modal i.e pengukuran kesejahteraan perlu menjadi additive bagi semua asset dan bukan unsur asset heterogen.
1.    Model Pengukuran Income
Ada banyak model pengukuran income yang disebutkan dalam literature-literatur termasuk model akuntansi biaya historis tradisional oleh Ijiri (1971), model penilaian sekarang mengguanakan replacement cost dalam income bisnis Edwards dan Bell (1961), income realisasi menggunakan exit price (nilai realisasi bersih) oleh Chamber (1966) dan Sterling (1970), lebih dekat kepada konsep income ekonomi variable income oleh Solomons (1961), konsep residual Solomon (1965) dan Interested Adjusted Income oleh Shwayder (1970) bagi pelaporan internal dan Earned Economic Income (Grinyer 1985). Untuk menjaga agar diskusi singkat dan terkait dengan pelarangan riba dalam Islam serta konsekuensi agama terhadap model berbasis bunga, Earned Economic Income (yang saya percaya dapat diadopsi sesuai paraturan dalam Islam terkait suku bunga dalam model), income residual dan Interest Adjusted Income tidak akan didiskusikan disini.
            Biaya Historis-Ijiri
            Ini adalah dasar bagi akuntansi income tradisional, income berbeda antara revenue realisasi dan biaya historis i.e pengorbanan dalam arti uang dinilai pada saat akuisisi asset atau jasa pada saat realisasi revenue. Depresiasi adalah ukuran penggunaan asset jangka panjang yang didasarkan pada biaya historis akuisisi asset dan sejalan dengan pengeluaran lain diperbandingkan dengan revenue untuk menghitung income.
Pembela paling gigih konsep ini adalah Yuji Ijiri. Ia mengemukakan bahwa akun biaya historis telah teruji dan telah dipraktekkan berabad-abad, hanya  Ijiri mulai pembelaannya dengan mengutip kutipan berikut:
It is truly remarkable that historical cost accounting has been the principal methodology of accounting over several centuries (p 1)
Dalam pandangannya, akuntansi memiliki dua tujuan yang secara fundamental berbeda i.e. Equity Accounting: untuk melindungi pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan (sekarang dikenal dengan stakeholders) dan Operational Accounting: untuk menyediakan informasi bagi pengembilan keputusan.
Dimana informasi akuntansi operasional harus relevan dan tepat waktu namun hal ini membutuhkan biaya verifikasi dan objektifitas yang sanagat esensial bagi akuntansi modal (equity accounting) dan historical cost sediakan. Ia mengklaim bahwa penilaian biaya historis hanya satu-satunya metode penilaian yang memasukkan, bagian integral struktur prosedur penilaian dalam sistem double-entery system, persyaratan penting akuntansi modal adalah bahwa setiap perubahan aktual yang berasal dari sumber entitias harus dicatat dengan menghubungkan input dan output yang berhubungan yang bisa dilacak dan diidentifikasi tiap kali dibutuhkan. Kiranya keterlacakan ini menuju pada persyaratan verfibelitas dan objektifitas.
Ia lebih jauh menyatakan (p9) bagi kesesuaian fungsi ekonomi, sistem akuntansi tidak hanya memberi kepastian kepada investor bahwa seluruh sumber yang diinvestasikan dapat dikontrol secara baik (fungsi penjaggan) namun juga tiap bagian investor juga dilindungi dari investor lain dan para stakeholder. Ini merupakan tujuan equity accounting dan daerah dimana akuntansi tradisional dikembangkan.
Kita dapat menghubungkan akuntansi modal pada argument awal (p5) penggunaan income sebagai penyelesai konflik kepentingan dalam distribusi income. Ijiri berpendapat bahwa current cost income bisa lebih diperbantahkan dan oleh karena itu tidak sesuai bagi dasar distribusi income daripada historical cost income.
Macneal (1962), dilain pihak secara tajam mengkritisi akuntansi historical cost serta inkonsistensi prinsip-prinsipnya. Ia mengutip kasus penipuan besar-besaran McKesson dan Robbin pada tahun 1938, pada saat akuntansi konvensional digunakan untuk membimbing investor dan kerditur kearah yang salah dengan menyerahkan uang mereka, hal tersebut berangkat dari fakta bahwa akuntan yang berorientasi pada transaksi lebih tertarik pada pemeriksaan dokumen biaya historis dari pada realitas fisik yang terjadi serta penilaian entitas. “teori going concern” bersama dengan desakan akuntan memaksa realisasi sebelum pengakuan profit, yang membawa kearah yang salah, kekeliruan dalam mengintrepretasikan earning dan penipuan berikutnya terhadap investor. Hal ini susah untuk menjustifikasi akuntansi biaya historis berpura-pura melindungi investor dan memecahkan konflik kepentingan sebagaiaman klaim Ijiri.
Meskipun begitu Ijiri, berpendapat bahwa current cost accounting berdasar pada transaksi semu dan ada banyak transaksi yang mungkin semu dengan tujuan untuk mengganti atau membuang sumber daya yang ada (e.g domestic vs. pasar luar negeri, diskon kuantitas dll), hal ini tidaklah cukup bahwa transaksi semu menjadi masuk akal terkait dengan banyaknya transaksi semu yang masuk akal. “dengan tujuan menghindari perselisihan terhadap persoalan income, harus ada bagaimana menentukan transaksi unik yang di kontemplasikan dengan sumber daya yang ada" (p 6), sejak, biaya historis menghindari masalah ini dan mendasari pada transaksi aktual yang dipilih oleh entitas, maka hal inilah yang terbaik untuk menghindari perselisihan yang terjadi. Ia lebih jauh berpendapat bahwa current costs non-additiv i.e. fakta current cost dari dua sumber dapat lebih (kurang) berharga dibanding dengan penjumlahan current cost individual. Ia lebih jauh menandai sangat sulit untuk menspesifikasi dan memverivikasi transaksi semu jika penilaian current cost digunakan terkait dengan fakta akan sangat mudah bagi perusahaan untuk menukar penawaran. Biaya historis dengan bersandar pada transaksi aktual yang bisa diverivikasi itu lebih baik dalam menghindari perselisihan atau konflik kepentingan karena “kontemplasinya sendiri bukalah imbalan atau hukuman terkait dengan isinya karena terlalu lemah atau hubungan legal antara pihak yang berkepentingan” (p8)
Lebih jauh, akuntansi current cost yang merupakan biaya pendirikan dan operasional dapat sangat besar, selama assement biaya tahunan, kalkulasi serta audit dan biaya pemecahan perselisihan (jika auditor ditantang untuk tidak jujur dan menipu). Akuntansi biaya historis, disisi lain dipersiapkan sebagai by-product akuntansi modal dan biaya tambahan publikasi biaya historis pernyataan keuangan lebih sepele dibandingan dengan kesiapan dengan menggunakan current cost.
Meski, Ijiri mengakui kebutuhan untuk menambah tipe informasi, ia percaya informasi yang disedikan oleh biaya historis masih tetap berguna bagi manajemen dan investor. Proses dinamisasi manajemen “membutuhkan studi masa lalu yang hati-hati untuk tujuan prediksi masadepan. Untuk mengganti data current cost bagi data historis itu seperti menyapu bersih seluruh pengalamannya” (p10). Informasi biaya historis berguna ketika untuk menganalisa trend, siklus, dan perbandingan perusahaan dan ketika dibandingkan dengan data current cost. Investor menggunakan data informasi biaya historis dapat juga untuk memperoleh kepastian bahwa mereka tidak di beri informasi palsu tentang keadaan perusaahaan oleh manajemen dengan tujuan menarik dana atau menaikkan harga sahamnya, sebagai biaya historis lebih sedikit kemungkinan untuk terjadinya manipulasi dibanding dengan current cost yang kesemunya tunduk pada peraturan yang ketat dan regulasi pelaporan keuangan dari pada data current cost yang digunakan dalam akuntansi operasional.
Ijiri menyarankan daripada mencari alternative penilaian, akuntan harus mengeksplorasi jalan lain dalam rangka menyediakan informasi yang berguna untuk mengatasi penggantian sistem biaya historis dengan:
a)      Penetapan sistem perekaman dan pencatatan berdasar pada komitmen kontrol kontrak yang lebih baik dan komitmen keuangan lainnya serta menyediakan informasi mengenai kontrak yang luar bisaa dll.
b)      Keinginan untuk melaporkan lebih sering dari waktu ke waktu serta pengungkapan segera fakta-fakta kepada publik e.g merger dan akuisisi, rencana konstruksi, pengenalan proyek baru dll, meski hal ini bertentangan dengan kebutuhan untuk melindungi diri dari pesaing.
c)      Penilaian biaya historis menyediakan data yang (kiranya) lebih mengurangi perselisihan dari pada menyediakannya berdasar metode valuasi lain, dan hal ini merupakan prasyarat esensial akuntansi modal. Akuntansi income telah teruji oleh waktu ‘objektif dan verifiable. Namun akuntansi ini kurang relevan untuk diterapkan dalam pengambilan keputusan bisnis sebagai nilai masalalu adalah tidak relevan kecuali dapat diprediksiikannya arus kas masa depan. Akuntansi income juga dikritik karena tidak memasukkan perubahan pada nilai (i.e goodwill) perubahan Alexander (1977 p60). Ia menyimpulkan bahwa “tidak ada prinsip yang valid yang telah di kembangkan untuk menjamin keterasingan nilai berjalan dan dterminasi income” kecuali alasan yang memungkinkan inklusi tersebut dapat mencegah perbandingan antar periode waktu. Akuntansi income juga telah dikritik karena desakannya terhadap prinsip realisasi yang mengabaikan nilai perubahan jika tidak direalisasikan .
Business income (Edwards & Bell)
Business income berusaha untuk mengoreksi kekurangan dari akuntansi tradisonal income yang muncul terkait dengan prinsip realisasi dan konsep konservatifnya serta persoalan yang mengemuka dikarenakan penggunaan biaya historis sebagai dasar penilaian. Model ini tidak berusaha untuk dibawa kepada akun nilai perubahan agen valuasi i.e uang, walaupun bisnis income ini dapat disesuaikan dengan pengakuan terhadap perubahan-perubahan ini.
Prinsip realisasi menyatakan bahwa revenue tidak dapat diakui sampai pertukaran tersebut secara substansial lengkap e.g barang yang diantar atau kewajiban pelanngan mulai berdampak Akuntansi income tidak mengakui keuntungan ditahan ini sampai terealisasi. Namun sebelum realisasi itu berdampak, nilai asset non moneter dapat berubah pada tingkatan  yang berbeda pada tiap indeks harga. Oleh karena adanya keuntungan (kerugian) tidak direalisasi istilah cost saving oleh Edwards dan Bell terkait fakta jika harga sebuah asset naik atau turun selama periode tertentu, manajemen dengan membeli asset ini sebelumya telah terhindar dari biaya tambahan pembelian yang harus dibayarkan, jika asset tersebut harus dibeli pada periode sekarang. Bisnis income menjadikan current replacement cost sebagai dasar penilainya
Bell (1971) berpendapat bahwa dengan menggunakan current cost:
"....one can recognize is the accounts, all gains of the enterprise as they accrue , as well as when they were realized. Not counting gains when they arise has the unfortunate consequence that when such gains are in fact realized , the gains earned over the full span of time during which the assets were held are attributed entirely to the period in which the gains were realized" (p 20).
            Prinsip realisasi menahan keuntungan ini menurutnya mempunyai dua implikasi:
(1)   Periode akuntansi yang berbeda dengan peristiwa identik akan memberikan perbedaan bentuk keuntungan karena data tiap periode dipengaruhi oleh data masalalu, dan
(2)   Tidak mungkin untuk menentukan kapan menahan aktifitas akan sukses atau sebaliknya, jika keuntungan hanya dilaporkan ketika sudah direalisasikan
Lee (1985) telah menggambarkan income bisnis dengan persamaan berikut:
Yb= COP + RHG + UHG,
Dimana COP = current operating profit measured as revenue - replacement cost of sales and expenses;
RHG= realized holding gains accruing in the current period
UHG= unrealized holding gains representing the change in resource's replacement cost prior to realization.
Business income dapat direkonsiliasikan dengan akuntansi income dengan persamaan berikut (diturunkan dari Lee 1985 p77)
Yb= Ya + UHG -RHG' dimana
Yb dan UHG sebagaimana difinisi diatas, ya = accounting income
RHG’ = realized holding gains accruing in the past period dibawah bisnis income, hal ini harus diakui pada awal periode.
Business income tersebut baik pengukuran terhadap biaya penggantian, dan pengakuan periode income dalam bentuk realisai dan tidak. Hal ini mendikotomikan income kepada current operating profit dan menahan keuntungan pada periode yang sama, baik realisasi maupun tidak realisasi.
Dikotomi ini dikatakan untuk “memfasilitasi penilaian terahadap keputusan masalalu oleh manajemen dan formulasi keputusan masa mendatang i.e (a) keputusan operasional yang melibatkan proses serta penjulan barang berikutnya dan jasa serta (b) menahan keputusan yang melibatkan penahanan sumberdaya beberapa periode sebagai pra-realisasi perubahan nilai” (Lee 1985 p74).
Bisnis income juga bisa dikatakan memiliki relevansi bagi investor dan pihak luar lainnya dimana mereka “Dapat berharap untuk mengevaluasi performa manajerial sehubungan dengan dampak keseluruhan dan secara teripisah dari dua kategori transaksi ini” (ibid p74). Keputusan operasional yang menghasilkan komponen income operasi pendapatan bisnis lebih terkontrol dalam manajemen dibanding dengan yang tidak seluruhnya dalam kontrol manajemen (menahan keuntungan). Hal ini mungkin dapat berguna bagi investor untuk mengevaluasi efektifitas manajemen dalam memabawa urusan perusahaan begitu pula  untuk asesement manajemen.
Meskipun begitu, Prakash dan Sunder (1979) berpendapat menahan dan mengoprasionalkan keputusan itu tidak terpisah namun saling berjalinan. Jika kedua aktifitas tersebut independen, perlu dan cukup bahwa ‘menahan resiko’ asset dapat dipisahkan; i.e sangat mungkin bagi perusahaan untuk menahan asetnya tanpa harus terbebani dengan risiko perubahan harga tertentu. Pendapat yang mengatakan hal ini tidak mungkin bagi perusahaan manufaktur atau perusahaan perdagangan karena produksi tidak “ada batasan waktu” i.e produksi atau perubahan bentuk hanya bisa terjadi melalui interval waktu dan bukan merupakan “momen tanpa  batasa waktu” oleh karena itu tidak mungkin untuk menyimpulkan bahwa semua keuntungan terkait dengan ruang waktu menjadi sebab menahan aktifitas. Lebih jauh, kedua perubahan tersebut dalam bentuk dan penahanan asset merupakan konsekuensi bersama dari keputusan satu produksi. Membuang dua atribut keputusan satu produksi akan menjadi tidak benar.
Maka mereka menyimpulkan, breakdown income yang sesuai bukanlah antara menhan keuntungan dan  profit operasional tapi menahan komponen dan komponen operasional. Penahanan komponen income akan termasuk menahan keuntungan pada asset spekulatif (yang menahan resiko secara terpisah) dan pada asset operasional dengan resiko terpiasah melawan biaya asset spekulatif dan tabungan risko premium pada risiko terpisah dimana manajemen memilih, bukanya menukarnya kepada orang lain.
Kemudian penulis berpendapat bahwa biya dikotomi income harus tidak hanya memasukkan incremental cost dan laporan dikotomi (sesuai yang disarankan oleh Bell 1971), tapi juga kerugian yang dihubungkan dengan prilaku keputusan suboptimal yang dihasilkan dari penggunaan informasi yang terdikotomisasi begitu pula dengan dampak induksi manajemen (p20).
Setelah mendemonstrasikan dikotomi COP-HP dengan mendikotomikan income kedalam sebuah alternative (p17-19), penulis lebih lanjut menyimpulkan dengan menyatakan validitas diskriptif dan fisibilitas implementasi, sementara dibutuhkan, tidak lah cukup untuk merekomendasikan penggantian model income lain, tapi model-model tersebut dinilai berdasar kegunaannya dibanding dengan biayanya.
Keuntungan lain dari income business dapat ringkas sebagaimana dibawah ini:
(1)   Dengan memisahkan, menahan keuntungan dari income operasi, berkonsentrasi pada perawatan modal fisik daripada modal moneter.
(2)   Bisnis income menyediakan informasi akuntansi yang lebih relevan dan berguna dengan pengakuannya terhadap current value dan
(3)   Dapat dikatakan konsep ini dapat dijalankan dalam ruang waktu dan biaya sebagai pembanding terhadap biaya income historis (Dickerson 1965)
(4)   Pengganti biaya income untuk mengukur dan memperkirakan income ekonomi, sejak biaya penggantian didasarkan pada arus income masa depan, “profit bisnis tidak terlalu buruk, sebuah perkiraan biaya tambahan kini pada present value penerimaan bersih (income ekonomi)…(Zeff 1962). Meskipun hal ini ditentang oleh Revsine (1970) yang berpendapat bahwa biaya penggantian tidak akan mendekati income ekonomi dalam kesempurnaan tapi lebih kepada pasar persaingan bebas yang lebih realistis karena harga merubah asset dan arus kas potensial masa mendatang yang dapat berlawanan arus e.g dimana pelaku pasar baru mula-mula menaikkan harga namun menekan pasar dalam jangka panjang dengan supplay produk yang berlebih.
Income terrealisasi
Income terrealisasi adalah ukuran periodik perubahan pada modal equity ketika hal ini diukur dalam  exit value. Dapat dituliskan:
Yr = D+ Rt-Rt-1,
Dimana Yr = realizable income, Rt = ending capital valued on the exit price basis, Rt-1, =opening capital valued on the exit price basis, D = periodic distribution of income
Income teralisasi menggunakan exit price atau nilai realisasi bersih untuk menghargai asset dalam memperhitungkan income. Ada beberapa variasi mengenai hal ini. Harga pasar yang diusulkan pertama kali oleh MacNeal pada tahun 1939 dan pengembangan terakhir oleh Stirling (enterprise income) dan Chambers (Current Cash Equivalent/Continuously Contemporary Income). Lee (1985) mengisitilahkan ini dengan realizable income.
Exit price kini merepresentasikan jumlah kas bagi asset yang dapat dijual atau kewwajiban yang dapat dibiayai kembali (refinance). Hal ini merupakan harga bisnis yang akan direalisasikan jika asset dijual dalam kondisi dipesan daripada paksaan liquiditas dan harga jual pada waktu pengukuran daripada harga jual masa mendatang yang disesuaikan (Belkaoi 1992, p286).
Bersamaan dengan valuasi biaya penggantian, valuasi exit price berdasar income realisasi juga melengkapi prinsip realisasi pengakuan revenue. Keuntungan operasi diakui pada saat produksi dimana menahan keuntungan diakui pada waktu pembelian dan sesudahnya, ketika harga berubah daripada pada saat penjualan.
Argumen exit price adalah konsep ini mengukur konsep ekonomi biaya opportunity i.e niai kas muncul dari penjualan asset sebagai kebalikan penggunaan asset sekarang. Hal ini adalah ekspresi pengorbanan ekonomi dari sebuah entitas yang diekspresikan dengan kemampuan entitas tersebut untuk menjalankan alternative barang dan jasa. Nilai-nilai ini bisa dikatakan relevan bagi pembuatan keputusan menyangkut apakah perusahaan-perusahaan harus melanjutkan untuk menggunakan atau menjual asset dan menginvestasikannya pada hal lain i.e. baik perusaan terus berjalan atau tidak.
Exit price kini dikatakan juga menyediakan informasi yang relevan dan berguna bagi evaluasi adaptasi keuangan dan liquidditas perusahan. Semakin liquid perusahaan semakin bisa beradaptasi pula perusahaan terhadap perubahan kondisi ekonomi. Chambars (1966) mengkritik biaya historis sebagai “ Hanya sebuah masalah sederhana sejarah” dan hanya harga sekarang mempunyai hubungan dengan pilhan suatu tindakan. Ia berpendapat bahwa “tidak ada kesimpulan yang berguna yang dapat ditarik dari praktek masalalu yang mempunyai hubungan terhadap kapasitas sekarang untuk diperasionalkan dalam pasar” dan meniadakan biaya penggantian karena hal tersebut tidak merepresentasikan kapasitas untuk bekerja dipasar dengan kas untuk tujuan adaptasi dengan kondisi yang sekarang terjadi. Ia oleh karena itu mengajukan harga realisasi atau harga pasar sebagai “salah satu property financial yang secara seragam relevan dengan aksi pasar dimasa mendatang” (ibid p 91-2). Lebih jauh Stirlling (1968) mengemukakan exit value mengabaikan entitas yang invalid dan tidak penting sebagai going concern dengan kehidupan tanpa batas yang merupakan dasar model biaya pengganti. Faktanya model income realisasi mengasumsikan bahwa sebuah entitas akan mempunyai kehidupan tanpa batas dalam bentuk keberadaannya.
Chamber (1962) juga berpendapat bahwa exit price kini menyediakan panduan yang lebih baik untuk evaluasi manajer dalam menjalankan fungsinya karena ia membentuk dasar kepuasan untuk menentukan penggunaan dan disposisi asset, yang dianggap sebagai dasar, dimana performance perusahaan dinilai.
Cahmbers (1971) juga mengetengahkan bukti bahwa meskipun dalam praktek akuntansi, penggunaan nilai realisasi itu di praktekkan e.g dalam penilaian persediaan, prasyaratan pengungkapan hukum UK bagi revaluasi tanah dan harga pasar investasi. Demikianlah ia berpendapat bahwa model income realisasi adalah ekstensi logis dari praktek ini.
Terakhir McKeown (1971) telah menunjukkan dalam studi kasusunya ‘perusahaan elektronik’ bahwa exit price dapat dijalankan untuk implementasi biaya dan tujuan (manipulasi risiko) serta estimasi akurat exit value .
Exit price bisa lebih dimengerti dibanding dengan biaya penggantian sebagai nilai realisasi yang mudah untuk diinterpertasikan sebagai nilai pasar.
Dilain pihak, Ijiri (1971) mengkritik biaya kini karena non-bahan tambahannya. Harga bisnis sebagai keseluruhan bukanlah penjumlahan contituen asset. Jika realisasi diprhitungkan maka nilai realisasi  entitas seluruhnya (bersama dengan goodwill dan asset intangible lain yang tidak memilki nilai pemisah) lebih penting untuk diperhitungkan dibanding dengan komponen assetnya.
Bell (1971) berpendapat bahwa exit value tidak usah diperhitungkan karena tidak memberikan informasi relevan untuk mengevaluasi performance melawan ekspektasi i.e melawan rencana operasional dan keputusan yang dibuat oleh manajemen. Rencana dan orang yang mengembangkan perencanaan harus di evaluasi pertama sebelum alternative masa mendatang (i.e opportunity cost) diperhitungkan. Semenjak biaya persediaan penjualan secara terus menerus disesuaikan dengan nilai realisasi, model gross profit-nya  Profesor Chamber akan menjadi nol, dengan demikian hal tersebut tidak menunjukkan pekerjaan yang bagus dalam menenjukkan bagaimana perusahan bergerak dari status ekonominya dari awal sampai akhir tahun.
Profesor Chamber “Current cash equivalent mengasumsikan bahwa sebuah perancanaan bisnis akan selalu menjadi satu memaksimalkan kas asset yang didapat dalam periode jangka pendek, seperti kedaaan perusahaan, tujuan dan cara pembelajarannya nampak tidak dapat dipraktekkan” menurut Bell (1971) bisnis yang sehat bisanya going concern dan tetap pada bisnis untuk waktu tertentu dan tidak secara terus menerus menaksir kembali pilihannya untuk keluar dari bisnsis, kita dapat sebut asumsi professor Chambe sebagai “the fallacy of timeless business exits” ketika bisnis berkomitmen pada usaha tertentu, ia akan memakan waktu sebelum rencana dan operasi tersebut membuahkan hasil. Tidak dapat berfikir terus-menerus untuk keluar padahal baru saja masuk.

Income variable
Perubahan ekspektasi pada kondisi ketidak pastian akan menyebabkan keuntungan dan kerugian yang tak terduga terkait dengan perubahan harapan. Hal ini mengarah pada persoalan redifinisi periode well-offness yang harus dipertahankan menurut konsep Hicks mengenai income. Untuk menghindari hal masalah ini Alexander (1977) menyarankan konsep income variable yang lebih dekat dengan akuntansi income yang mengeluarkan keuntungan dan kerugiaan tak terduga (unexpected)
Ia mendefinisikan income variable sebagai:
"net receipt from an asset over a period plus or minus a pre-determined adjustment factor , namely , the expected change in the ex-dividend value of the asset between the beginning and end of the period on the basis of the expectations current at the beginning of the period (Alexander 1977, p 70)
Variable income = Ra + V1e-Voa,
dimana Ra = Actual Receipts for the period, V1e= expected value of equity at end of period based on expectations at beginning of period and Voa= actual beginning of year equity value.
Meskipun begitu, aplikasi model ini terhadap income bisnis menimbulkan kekomplekkan, contohnya, pemisahan penerimaan bersih antara income dan perubahan komposisi asset. Maka pertanyaanya adalah apa yang dilakukan dengan perubahan ekspektasi antara awal dan akhir periode. Jika perubahan-perubahan ini muncul terkait dengan aktifitas manajerial hal ini harus dimasukkan dalam income tapi kemudian memunculkan pertanyaan bagaimana untuk memisahkan hasil perubahan ekspektasi yang diakibatkan oleh factor eksternal. Maskipun begitu Alexander menyarankan bahwa dibawah harga konstan, keuntungan penjualan adalah perkiraan yang dapat diterima bagi variable income kecuali:
(i)                  Dimana jika terdapat perubahan signifikan pada goodwill sebagai konsekuensi tindakan periode income tertentu atau perubahan yang diharapkan dalam posisi penjualan perusahaan dan
(ii)                Dimana terdapat divergensi matrial produksi dan penjualan
1.    Evaluasi Alternatif
Evaluasi pengukuran income adalah dependen pada tujuan ukuran tersebut digunakan, semua model memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri. Berdasar pada tujuan kriteria tertentu untuk mengevaluasi alternative-alternatif ini dapat dilakukan.
Perbedaan antara alternative asset-valuation dan model income-determinatioan muncul dari atribut pengukuran yang berbeda (historic cost, replacement cost, Net Realizable value and Present and capitalized value) dan unit pengukuran  (dolar konstan atau dolar nominal) yang digunakan. Tiap dasar penilaian memberikan konsep tertentu dari capital maintenance dan konspe income tertentu.
Belkaui (1992) membandingkan model-model tersebut berdasarkan pada apakah mereka menghindari waktu atau unit pengukuran error dan menilai model berdasar pada kemampuan untuk diiterpertasikan dan relvansinya. Timing error dihasilkan ketika perubahan pada nilai yang muncul dalam satu periode diakui dan dihitung pada waktu lain. Hal ini akan menjadi pengakuan perubahan yang lebih disukai yang harus berlangsung pada waktu periode perbuhan muncul sebagai “profit didistribusikan pada seluruh proses aktifitas bisnis” ia menyimpulkan bahwa:
(1)   income biaya historis menyediakan dasar perhitungan pajak dan dividend serta untuk evaluasi performance. Hal ini teruji secara waktu dan versi income yang paling lama diterima oleh akuntan terkait ‘objektifitasnya’, veriviabiltas, praktek dan kemudahan pemahamannya. Namun, income biaya histori memasukkan error pada timing dan measuring-unit. Meskipun begitu hal-hal tersebut ditafsirkan sebagai income uang i.e modal uang dipertahankan tapi tidak relevan karena commend of goods (COG) i.e kemampuan untuk membeli barang dan jasa yang dibutuhkan untuk mempertahankan modal yang tidak diukur.
(2)   Replacement cost accounting (income bisnis); keuntungan operasional kini merepresentasikan “distributable income” atau jumlah maksimum dividen perusahaan bisa bayar dan mempertahankan kapasitas produksinya. Realisasi komponen penahanan keuntungan bisnis income adalah indikator efisiensi penahanan sumberdaya pada poin penjualan dan dapat bertindak sebagai prediktor performance operasional. Penggantian lebih jauh biaya income berisi timing error hanya pada operating profit tapi tidak berisi pengukuran unit error. Income bisnis dapat ditafsirkan sebagai salah satu yang mempertahankan kapasitas produksi perusahaan dan asset ditafsirkan sebagai ukuran commend goods
(3)   Income realisasi (menggunakan NRV) tidak berisi timing error meski berisi pengukuran unit error. Income ditafsirkan sebagai indokator kemampuan perusahaan untuk melequidiasi dan beradaptasi pada situasi ekonomi baru dimana asset ditafsirkan sebagai ukuran commed good pada out put pasar.
Pada kasus Islam dan masyarakat Islam, mereka punya peraturannya sendiri, persyaratan dan prioritas yang sama tapi di banyak hal berbeda dari kapitalis barat. Evaluasi model income dimulai dengan pandangan Islam, tujuan dan prioritas dan apa kata tradisi Isam tentang penilaian dan pengukuran, meski kriteria untuk mengevaluasi model tersebut berbeda, dengan demikian evaluasi model income akan memillki perbedaan samapai sejumkah isu-isu sebelumnya didiskusikan dan kriteria penilaian dibuat:
BAGIAN II: RELEVANSI MODEL PENGUKURAN INCOME BAGI AKUNTANSI ISLAM.
Saya tahu pada bagian II essay ini akan mendiskusikan relevansi model pengukuran income dalam akuntansi Islam. Sebelum saya membahas hal ini, saya akan mendiskusikan terlebih dahulu ontology Islam dan bagaimana akuntansi yang sesuai dengan pandangan Islam. Tujuan dan sifat akuntansi Islam kemudian dibahas beriringan dengan tujuan syari’ah Islam. Saya kemudian akan mendiskusikan kebutuhan dan kenapa penentuan income sangat penting dalam akuntansi Islam (lebih dari ekuntansi konvensional). Terakhir, saya mengevaluasi relevansi model pengukuran income konvensional dan konsep penilaian untuk mempertemukannya dengan tujuan akuntansi Islam.
1.    Ontology Islam, Pandangan Dunia dan Akuntansi Islam
Masyarakat Islam diatur oleh syar’ah (hukum Islam) yang diturunkan dari Al-Qur’an (kalam ilahi) dan hadis (perkataan, ketetapan dan tindakan nabi Muhammad Saw). Tujuannya adalah untuk menegakkan keadilan dan menggalakkan kesejahteraan social melalui kepatuhan terhadap printah Allah. Menurut Al-Ghazali, filosuf muslim ternama abad 11, tujuan syari’ah adalah:
to promote the welfare of the people, which lies in safeguarding their faith, their life, their intellect, their posterity and their wealth.
Menurut filosuf lainnya, Ibnu Qayim al-Jawziyah (Chapra 1992):
the sharia's basis is wisdom and welfare of the people in this world as well as the Hereafter which lies in complete justice, mercy, well-being and wisdom. Anything which departs from justice to oppression, mercy to harshness, welfare to misery and from wisdom to folly, has nothing to do with the sharia
Kita kemudian dapat melihat bahwa penegakkan keadilan, kesejahteraan (baik social dan ekonomi dan melindungi harta milik menjadi tujuan ekonomi Islam dan akuntansi. Hal ini tidak seperti proposal Arrington (1990) untuk menggunakan solidaritas dariapada objektivitas seabagai dasar pengetrahuan akuntansi.
Manusia adalah khalifah Allah (dimuka bumi) dan segala tindakannya diperhitungkan dan akan diadilli dengan mendapatkan ganjaran kebaikan atau hukuman di akhirat kelak atas segeala perbuatannya. Tindakan-tindakan ini apakah dalam prilaku kehidupan politik, ekonomi, hukum atau social dan ilmu alam harus sesuai dengan shari’ah dan kehendak Allah. Al-qur’an mengandung prinsip abadi dan hadis mengandung aplikasi detail prinsip-prinsip tersebut untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Syari’ah diperluas untuk memenuhi kebutuhan dalam waktu dan masyarakat yang berbeda dengan penurunan norma-norma aturan yang berasal dari Qur’an dan hadis. Tidak terkecuali akuntansi.
Penegasan Islam dalam politik, ekonomi dan social pada masyarakat muslim telah melahirkan bank Islam, asuransi dan institusi keuangan lainnya yang dipraktekkan “bebas-riba” Pembiayaan Islam. Hal ini dalam rangka pelarangan riba oleh syari’ah dan telah menghasilkan penggunaan equity-funding/leasing dan teknik installment sale pembiayaan oleh institusi-institusi ini. Dasar kerjasama keuangan dalam Islam adalah partisipasi ekuitas. Teknik ini menitik beratkan pada jumlah yang didapatkan untuk dibagi sesuai dengan persetujuan awal Sebagai tambahan re-institusi formal zakat sebagai sumber utama kesejahteraan sosial dan pendanaan publik dan perintah umum tiap muslim dalam urusan bisnisnya kebutuhan pencarian alternative akuntansi Islam yang dapat mempertemukan kebutuhan organisasi dan masyarakat muslim dimana mereka berada (Ali 1997, Khan 1994)
1.    Tujuan Ekonomi Syari’ah dan Hubungannya dengan Tujuan Akuntansi Islam.


Sirkulasi Kekayaan
Kekayaan harus disirkulasikan secara luas dan tidak dikonsentrasikan kepada beberapa orang saja. Zakat, sadaqah (amal) dan pelarangan riba adalah alat utama untuk memenhui tujuan ini.
Pelarangan Bunga
Bunga adalah jalan pintas mendapatkan kekayaan dan terhindar dari risiko yang dibebankan pada peminjam ini secara total dilarang dalam Islam. Equity berdasar pada prinsip partnership, shareholding diperbolehkan bagi pemodal untuk bergabung dalam bisnis venture dengan pekerja.
Kehidupan sederhana didorong, bermegah-megahan dibatasi e.g lelaki (bukan wanita) dilarang menggunakan sutra atau emas. Orang Islam tidak dapat menggunakan piring atau cawan emas dan perak. Konsumi berlebih lebihan dibenci.
Hukum waris: hanya bisa diserahkan 1/3 kekayaan. Al-Qur’an menyatakan pembagiannya dengan cukup detail. Hal ini untuk menjamin distribusi kekayaan.
Perdagangan Halal
Investasi hanya bisa dilakukan kedalam aktifitas yang tidak dilarang dalam Islam (pelarangan tersebut termasuk judi, alcohol, pornografi dan segala sesuatu yang mempunyai dampak negative bagi masyarakat). Pertanian dan kepegawaian didorong sebagai pekerjaan mulia, dan pendapat dari mengemis dianggap kurang begitu terhormat. (kecurangan atau mengungkan sesuatu dengan informasi yang tidak benar dilarang). Sehingga berdampak pada pengungkapan penuh dan pengukuran serta penilaian yang adil.


Transaksi dan kontrak yang dilarang:
Semua kontrak harus jelas dan kontrak yang mengandung ketidak pastian (gharar) e.g membeli ikan di dalam empang adalah tindakan illegal. Hal ini untuk menghindari kerusakan, konflik dan perselisihan.
Transaksi hutang dan transaksi lainya yang memilki kewajiban dimasa mendatang e.g perkongsian, joint venture harus dicatat dan dipersaksikan. Transaksi spekulatif dilarang. Equitas: harga jual yang adil ditentukan dalam kompetitifitas pasar, tidak ada diskripsi palsu, pasar bebas, dan tidak ada pula monopoli. Kontrak penjaminan konvensional berdasar pada ketidak pastian, spekulasi dan mempunyai unsur perjudian dilarang dan digantikan dengan takaful, skema berdasarkan simpanan untuk saling tolong menolong,
Tujuan Akuntansi Islam
Dari Al-Qur’an, Hadis dan syari’at, tujuan ekuntansi Islam nampak untuk menghindari keraguan dan (perselisihan) antara pihak-pihak yang berkepetingan dengan menjami keadilam dalam akuntansi (Qur’an 11:84-85, 6:152) serta konsekuensi dari transfer modal dan distribusi kekayaan (Qur’an 4:29), disamping menjamin dasar keadilan untuk zakat.
“Hai Orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar…"(Al-Qur'an 2:282).
Meskipun ayat diatas merujuk pada penulisan kontrak hutang, akan tidak jauh untuk memperluasnya pada akuntansi khususnya sejak Littleton (1966, p12) telah menyebutkan bahwa diantara pendahulu akuntansi moderen, kredit dan penulisan adalah dua hal penitng dalam membuat sistematisasi pembukuan. Investor menyerupai kreditur, modal mereka menyerupai pinjaman (liability bisnis bagi pemiliknya), yang harus dibayarkan.
Lebih jauh Islam membuat pemenuhan kepercayaan dan kontrak sebagai tugas yang suci (Qur’an 4:58, 17:34) yang merupakan sebuah hal esensial dalam bisnis modern dimana manajemen terpisah dari pemiliknya.
Dari sudut pandang makro maka kita dapat merangkum bahwa tujuan akuntansi Islam adalah sebagai berikut:
(1)   Untuk menyediakan dasar bagi perhitungan zakat
(2)   Untuk menghindari perselisihan antar anggota melalui bagi hasil, transfer kekayaan dan pengungkapan penuh aktifitas dan nilai-nilai
(3)   Mendorong dan menjamin hanya aktifitas yang Islami saja dilakukan oleh pebisnis dan menjamin pencarian keuntungan bisnis tidak mencederai hak masyarakat (e.g kebersihan lingkungan, praktek kepegawaian yang adil, kontribusi pada kemanusian dll)
1.    Pentingnya ‘Income’ dan Penilaian Dalam Sistem Akuntansi Islam
Dua lembaga kunci yang relevan dengan diskusi kita disini i.e zakat dan pelarangan bunga. Zakat pada dasarnya adalah kekayaan relijius dan pajak pendapatan dan pembayarannya merupakan kewajiban agama. Pengumpulannya harus dilakukan oleh Negara dan di redistribusikan terutama bagi kesejahteraan sosial dan tujuan pengamanan. Perannya sebagai disintensif bagi penahanan kekayaan dalam lingkungan suku bunga nol karena adanya 2,5% pajak kekayaan. Zakat dipungut dari kekayaan dalam bentuk emas atau perak (atau setara dengan uang) dan ternak. Dan juga dipungut dari pemasukan hasil pertanian (5% pendapatan kotor atau 10% bersih) dan pada bisnis yang menguntungkan. Kesemua ini membutuhkan penilaian dan konsep income dalam rangka membentuk kapasitas zakatable.
Pada masa awal Islam, dimana bisnis bukan merupakan intensisive capital dan kekayaan (dan sumber pendapatan) terdiri dari produk pertanian, peternakan atau persediaan dalam perdagangan (e.g rempah-rempah, pakaian, perhiasan dll) zakat dikenakan pada persediaan, hutang, kas (emas dan perak) pada harga pasar. Zakat peternakan serta pertanian berdasar unit numeric dari pada dalam unit moneter i.e zakat didasarkan pada jumlah hewan dengan umur tertentu dari pada mengguanakan nilai persentasi. Dengan demikian, bagi bisnis yang memperdagangkan ternak dengan menggunakan unit numerik untuk mengkalkulasi zakatnya akan memecahkan permasalahan penilaian. Secara jelas hal tersebut adalah sebuah ‘realisasi’ pembayaran dan jika pernyataan akuntansi moneter tetap dipersiapkan, maka zakat yang dibayarkan harus di alihkan pada nilai pasarnya dan terlihat sebagai derma. Terdapat kontroversi apakah asset tetap dikenakan zakat. Ulama Islam konvensional, mendasarkan penilaiannya pada praktek yang dijalankan pada masa Nabi Saw yang menyatakan bahwa asset tetap tidak dikenai zakat. Ini mengikuti nabi membebaskan zakat pada peralatan yang digunakan oleh petani dam pekerja seni pada masanya, jika hal ini benar, maka permasalahan penilaian tidak akan seakut penilaian pada asset tetap yang menimbulkan masalah pada akuntansi konvensional. Namun, parketek bisnis sekarang adalah intensive capital. Lebih jauh teknologi manufaktur dunia terkini dan teknik manajemen biaya modern yang meminimalisir persediaan (just in time, keiretsu, economies of scope, ABC) hampir meniadakan zakat dari bisnis ventura yang menambahkan kebanyakan nilai pada ekonomi dan sumber yang sangat penting dalam pembangunan dan industrialisasi pada negara-negara muslim. Oleh karena itu, dalam rangka sejalan dengan maqasid atau tujuan syari’at dalam menjamin keadilan sosial ekonomi i.e distribusi kekayaan yang sama, beberapa penulis (e.g Khaf 1991, Al Zarqa (1984) diperlukannya pemikiran kembali atas masalah ini.) Khaf (1991, p187) merujuk pada sutdi terdahulunya yang ia tujukkan bahwa zakat di kenakan pada sumber-sumber baru kekayaan dan pendapatan, jumlah zakat yang dikumpulkan dapat dilipat gandakan atau ditambah tiga kali lagi dengan demikian zakat dapat mengurangi angka kemiskinan pada negara-negara muslim dalam jangka waktu tertentu.
Banyak penulis telah menjadikan ketepatan perhitungan zakat menjadi hal yang sangat penting bagi tujuan syari’at (Adnan and Gaffikin, 1997, Gambling and Karim 1991, Baydoun dan Willet 1994). Hal ini nampaknya sangat aneh bagi akuntansi konvensional banyak dari mereka mencari penghiduapan dengan mengkonsultasikan bagaimana menghindar dari pajak meskipun begitu, dibawah pandangan Islam, keridhoan Allah dan akuntabilitas bagi Nya lebih penting dari pada apapun. “Akuntabilitas seperti ini harus dimanifestasikan dalam bentuk bagaiamana seseorang dapat memperhitungkan zakatnya secara tepat” semenjak umat muslim tidak dapat membedakan aktifitas ibadah dari akifitas non-ibadah (Adnan dan Gaffikin, 1997), ketakutan umat Islam pada Allah tidak akan berani mempermainkan zakat (meski ia dapat mencurangi pajak) karena tidak seperti pajak, zakat merupakan kewajiban agama yang akan diperhitungkan Allah pada hari akhir. Lebih jauh jaminan bahwa zakat tidak akan dibelanjakan untuk pemborosan balanja pemerintah atau proyek-proyek mewah, semenjak mustahiq (penerima zakat) terdefinisi secara terinci dalam Al-Qur’an, mendorong orang untuk membayar lebih daripada kurang karena muzaki (pembayar zakat) mengetahui bahwa dananya akan digunakan untuk orang-orang miskin dan kaum papa.
Keuntungan lainnya adalah permasalahan konflik kepentingan, perselisihan, window dressing, kecurangan pengungkapan yang ada pada akuntansi konvensional menjadi lebih terminimalisir sejauh secara manusiawi memungkinkan karena akuntan muslim dan manajer tidak akan mengambil keuntungan seperti itu karena akan merampas hak orang miskin.
Institusi lain yang menjadi bahasan dalam bagian ini adalah pelarangan terhadap bunga (interest). Peran ini telah membuat perbankan konvensional yang merupakan institusi penting bagi perekonomian modern menjadi illegal dalam masyarakat muslim. Namun, ketiadaan bunga, tidak berarti biaya modal menjadi nol dalam masyarakat muslim. Apa yang menjadi illegal adalah penentuan tingkat tetap (fixed rate) pada modal, i.e pengembalian uang tanpa membagi risiko dengan peminjam. Islam membolehkan dan bahkan dikatakan mendorong pembagian keuntungan dan kerugian bersama (baik sekutu aktive maupun sekutu passive). Islam mengakui biaya opportunity dan risiko pada penjualan tidak tunai dan membolehkan perbedaan harga menjadi lebih tinggi dari pada pembayaran tunai. Islam juga membolehkan operational leasing  dan sewa. Namun melarang langsung terhadap bunga berarti, jalan utama bagi pemodal dalam bisnis adalah dengan perkongsian (partnership) serta equity shareholding. Kesemua ini adalah metode sah dalam penentuan income dan penilaian asset bagi distribusi keuntungan. Lebih jauh dalam akuntansi konvensional investor hanya berperan sebagai pemberi dana dari pada partisipan. Sebabi itu berkonsentrasi pada return dari pada selubung bunga dan kapasitas earning Dalam Islam, sebuah bisnis memiliki kewajiban sosial dan moral yang diturunkan dari konsep kepemimpinan dalam Islam. Manusia adalah wali Allah dimuka bumi. Kepemilikan dalam Islam tidaklah absolute tapi kondisional. Oleh karena itu Islam meminta investor bertanggung jawab terhadap tata kelola, aktivitas serta kewajiban (hutang) bisnis. Inilah kenapa pembatasan hutang diberlakukan dan teori entitas perusahaan didisetujui (e.g Khan 1994 p 9). Lebih penting dalam akuntansi konvensional yang mempunyai kesempatan untuk mengenakan bunga pada modal sebagai imbalan karena menggunakannya.
Pencarian institusi perbankan alternative menghasilkan kreasi perbankan Islam dan asuransi Islam (takaful) perusahaan pada Negara muslim dan barat yang membiayai pelanggannya menggunakan metode yang dibolehkan ini. Penciptaan institusi keuangan Islam ini telah menghasilkan mobilisasi dan dari orang Islam serta non Islam (Ali, 1994 p iii) yang diperkirakan telah mencapai 80 Miyar dolar (lihat lembaga perbankan dan asuransi Islam wepage, London) dana-dana tersebut dimobilisasi dalam bentuk ‘al-wadia’ simpanan dengan jaminan pengembalian deposito namun tanpa bunga. Meskipun begitu bank dapat memanfaatkan dana tersebut selama aktifitas pembiayaan bank tidak bertentangan dengan syari’ah e.g judi, industri minuman beralcohol, dll bank diperbolehkan membayar sebagian keuntungannya kepada deposan sebagai pemberian atau bonus.
Tipe deposito lain adalan akun investasi. Disini deposan menyimpan uangnya sebagai investor dan bank sebagai mitranya. Kemudian bank  membagi tiap keuntungan yang didapat dari investasi sesuai dengan porsi yang telah disetujui. Tiap kerugian ditanggung oleh deposan  sementara bank hanya rugi dalam usahanya. Oleh karena itu tidak ada jaminan deposan investasi akan mendapatkan kembali modalnya.
Semenjak bank Islam tidak diperbolehkan menyalurkan dananya berdasar bunga, maka diambillah teknik pembiayaan Islami, meski perbankan-perbanan tersbut lebih banyak meyalurkan dananya menggunakan instrument murbahah (atau cost plus pricing technique), mereka mempraktekkan musyaroka dan mudharobah (kemitraan) yang merupakan intrumen mdal asli yang disarankan dalam literature ekonomi Islam e.g Chapra (1992)
Musyaraka pada dasarnya adalah pembiyaan kemitraan dimana bank berpartisipasi dalam modal dan manajemen bisnis dan membagi keuntungan dan kerugian sesuai dengan proporsi masing-masing.
Mudharobah adalah dimana bank menginvestasikan uangnya kepada seorang entrepreneur yang melakukan bisnis. Keuntungan di bagi antara bank dan pengusaha, tiap kerugian ditanggung deposan, dan pengusaha hanya rugi dari jerih payahnya.
Dapat dilihat baik dalam transaksi musyarakah dan mudharobah memerlukan angka income untuk menentukan distribusi keuntungan bagi deposan. Abdelgader (1990) menemukan ada beberapa masalah pada investigasinya berkenaan dengan penentuan profit dan distribusinya pada Bank Islam Sudan.
1)      Time lag antara deposito dan investasi, keuntungan deposan secara terpisah berdasarkan panjangnya waktu deposito (deposan) padahal investasi tidak dapat berhubungan langsung pada periode pemegang deposito.
2)      Hak deposan (akun tabungan) dan akun investasi untuk manarik dananya tiap waktu padahal investasi belum terliquidasi (cair).
3)      Kebutuhan untuk menjamin keadilan bagi deposan yang telah menarik dananya tapi bagian keuntungannya tidak diketahui sampai teralisasinya investasi
4)      Percampuran berbagai macam dana i.e. tabungan, investasi, dan ekuitas bank sendiri sebagai komparasi divisi keuntungan dari berbagai aktifitas bank.
5)      Permasalahan pengeluaran bank dan pengeluaran ventura: harus sebesar proporsi pengeluaran bank sendiri yang dikenai dari keuntungan investasi?
Semua permasalahan ini menunjukkan bahwa penentuan income dan konsep penilaian adalah penting bagi akuntansi Islam.
1.    Relevansi income konvensional dan Model Valuasi Bagi Akuntansi Islam Teori dan Praktek
Jika kita mengadopsi tujuan berbasis zakat, penghidaran perselisihan dan keadilan sosial-ekonomi (kesejahteraan social) dan akuntabilitas sebagai kerangka dasar akuntansi Islam, terdapat beberapa implikasi serius bagi prinsip-prinsip akuntansi, konvensi, konsep (lihat Adnan & Gaffikin, 1997 dalam review of the literature on Islamic perspective of the accounting concepts and conventions), pengukuran dan peniliaian (Gambling and Karim 1986) serta praktek pelaporan (Baydoun dan Willet (1994), kita akan mendiskusikan implikasi pengukuran dan penilaian income.
Pertanyaan pertama apakah harus ada akuntansi yang berbeda untuk tujuan yang berbeda dan satu laporan income? Menurut Khan (1994 p 17), ‘syari’ah’ mencorong system valuasi yang baik bagi semua tujuan, apakah pemegang saham, pemerintah, investor atau masyarakat umum”. Dengan demikian keuntungan berbeda bagi tujuan berbeda tidak didukung. Alasanya adalah “Perusahaan dalam masyarakat Islam memiliki peran sosial juga, manifestasi paling penting adalah pembayaran zakat. Sehingga akuntansi harus menyediakan informasi bagi pelaku bisnis untuk menentukan kewajiban zakatnya dan membayarnya dengan segera. Dalam sistem perpajakan konvensional, pemerintah dapat memiliki skala prioritas pengeluaran dan promosi ekonomi, industri tertentu yang dapat menghasilkan kebijakan fiskal yang berbeda dan oleh karena itu peraturan tertentu e.g pinjaman modal, expense exemptions, double relief dll. Hal ini tidaklah cocok bagi penghitungan zakat, tujuan penaksiran zakat akan menentukan keadilan pembagian kekayaan dan pendapatan yang didistribusikan bagi orang miskin. Bahkan tingkat zakat telah ditentukan dan tidak dapat dirubah oleh pemerintah.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa basis peniliaian yang digunakan untuk tujuan utama kalkulasi zakat? Atiyah (1984) menyitir hadis: “nilai pada nilai kini (harga pasar) dan kemudian bayarlah zakat” hal ini lebih jauh hal dimaksudkan sebagai nilai realisasi bersih oleh Al Qardawi (1979). Namun demikian hukum zakat tidak banyak membantu untuk penilaian asset tetap pada saat ini bukanlah merupakan subjek zakat dan asset tetap tidak ada dalam masa Nabi dan lama baru tercetus sampai pada revolusi industri. Namun Gambling dan Karim (1991) mendukung konsep Contemporary income-nya Prof  Chamber sebagai modal income yang digunakan umat Islam dan equivalent kas kini yang merupakan jumlah kas atau daya beli yang dapat direalisasikan dalam rangka liquidasi yang dapat diukur dengan mengutip harga pasar asset.
Namun Islam membenci income yang belum didapat dan mengharap kehormatan pekerja, dengan demikian jika kita menggunakan perubahan bersih pada metode penilaian, menggunakan NRV atau CCE, aspek operasional bisnis tidak ditekankan. Lebih jauh cara bagaimana tahun dan assel serta kewajiban diperhitungkan tidak diketahui. Hal ini secara khusus penting dalam akuntansi murabahah dimana pengusaha di beri imbalan atas usahanya. Akankah akuntansi Islam mengabaikan transaksi berbasis-historical cost secara bersamaan bahkan, Ijiri menyatakan, ini mungkinkah ini system terbaik untuk menghindari perselisihan?
Konvensi terkini berkenaan dengan biaya historis dan konservatisme muncul dari kebutuhan bankir dan pemegang saham. Namun konsep tersebut dapat berbeda terhadap ide keseimbangan dan keadilan bagi persamaan transfer kekayaan antar stakeholder berbeda dan ketidak untungan anggota masyarakat karena zakat berdasarar biaya historis yang akan menghasilkan penerimaan lebih rendah dan konsekuensinya transfer pembayaran juga lebih rendah bagi penerima pada saat inflasi dan kenaikan biaya, meski begitu transaksi berbasis biaya historis tetap sangat penting.
Saya menyarankan bahwa perdagangan / akun income laba kotor didasarkan pada biaya historis i.e biaya akan menjadi biaya historis aktual dan penjualan akan menjadi revenue actual.  Untuk penyesuaian persediaan terhadp nilai pasar kini, penyesuaian depresiasi biaya kini harus dibuat dengan mengambil realisasi bersih atau biaya pergantian bersih (dimana NRV tidak tersedia) asset tetap pada akhir periode kurang dari biaya kini pada awal periode. Tidak ada depresiasi biaya histroris dibuat. Final income akan ditambahkan pada modal. Zakat dapat dibayarkan baik pada current value aktiva lancar bersih.
Income variable dan income ekonomi tidak akan sesuai sebagai model income yang berpengaruh pada prediksi aliran kas yang merupakan hitpotesa dan penggunaan suku bunga dilarang dalam Islam begitu pula dengan kesulitan yang didapat.
Laporan akuntansi ‘keuangan’ dapat pula diubah atau diganti. Baydoun dan Willett (1994), contohnya menyarankan bahwa laporan utama harus laporan nilai tambah sebagai lawan dari akun laba rugi, terkait yang disebutkan terakhir fokus distribusional yang lebih sejalan dengan penekanan Islam terhadap tugas kemasyarakatan. Mereka lebih jauh berpendapat bahwa pernyataan nilai tambah menempatkan penekanan besar terhadap sifat co-opertative aktifitas ekonomi dan kurang dari aspek persaingan. Lebih dalam menekankan bagian bagi bermacam-macam kelompok dari pada pemilik perusahaan sebagai kasus dengan akun laba rugi. Meski penulis menyarankan nilai kini pada catatan kaki dalam pengungkapan penuh bunga, namun, dalam padangan kepentingan income bagi zakat dan tujuan distribusi, akun laba rugi (disesuaikan sebagai mana didiskusikan diatas) dan neraca pada nilai kini tetap penting dibawah system Islam.
Terdapat pula kebutuhan untuk memperluas aktifitas dan pelaporan, yang diperhitungkan bagi luasnya peningkatan dan organisasi raksasa yang memakan lebih banyak sumber daya dari pada Negara! Ini di paparkan dalam laporan korporasi (1975). Dibawah kondsi seperti ini, “externalitas” menjadi penting sebagai aktifitas bisnis yang berdampak pada kelompk lain dalam masyarakat dan lingkungan non manusia. Dengan demikian externailitas-externailtas tersebut diperhitungkan. Oleh karena itu akuntasi harus didasarkan pada “akuntabilitas publik” bagi sumberdaya yang digunakan oleh organisasi. Tidak hanya bagi pemilik namun masyarakat seluruhnya. Informasi kualitatif (non-keuangan) yang harus dimasukkan secara potensial auditable dan faktual, tidak masalah bagaimana tidak akuratnya penilaian, dari pada pernyataan dan harapan bagi masa depan, integrasi lingkungan serta akuntabilitas social kedalam tubuh utama akuntansi, bahkan ketika informasi tersebut negative tetap harus dimasukkan

REFERENCES
Abdelgader, Ahmad Eltegani (1990), Islamic Banking- Distribution of Profits: Case Study (Sudan), Unpublished Ph D thesis, University of Hull, 1990.
Adnan, M. A. and Michael Gaffikin (1997), "The Shari'ah, Islamic Banks and Accounting Concepts and Practices" , Proceedings of International Conference I on Accounting, Commerce and Finance: The Islamic Perspective, Sydney Australia, 18-20 February 1997
Al-Qardawi, Yusuf (1979), Fiqh al Zakat (Islamic Law of Zakat), Beirut.
Al-Zarqa, Shaikh Mustafa (1984), "Jawanib min al-Zakat Tahtaju ila Nazar Fiqhi Jadid", Journal for Research in Islamic Economics: King Abdul Aziz University, vol. 2, no. 1, Summer 1984.
Ali, O.A. (1994), in the Introduction to: Development of an accounting system for Islamic Banking, London:The Institute of Islamic Banking and Insurance, 1994
Ali, M. (1977), "Reflections on Islamic Banking", New Horizon: Islamic Banking and Insurance¸ No. 59, Jan. 1977.
Alexander, S.S. "Income Measurement in a Dynamic Economy", (Revised by D. Solomons) in Baxter and Davidson (eds), Studies in Accounting Theory, ICAEW:1977.
American Accounting Association (1977), Statement of Accounting Theory and Theory Acceptance
Anderson, James A. (1976), Studies in Accounting Research No. 12: A Comparative Analysis of Selected Income Theories in Financial Accounting, Sarasota, Florida: American Accounting Association.
Atiyah, M. Kamal (1984), Muhasabah al-Syarikat wal Masarif fil Nizamal Islami ( Bank and Company Accounting according to the Islamic system), Alexandria, Egypt: Dar al Jami'at al Misriyah, 1984.
Baydoun, N. and R. Willet (1994), "Islamic Accounting Theory", paper presented at the AAANZ Annual Conference, 3-6 July 1994: Wollongong, Australia.
Belkaoui, A. R (1992), Accounting Theory : Academic Press, Harcourt Brace Jovanovich, Publishers, 3rd Edition, 1992.
Bell, P.W.(1971), "On Replacement Costs and Business Income," in Stirling, R. (1971) (ed) , Asset Valuation and Income Determination: A consideration of the Alternatives, Kansas: Scholars Book Co., pp19-32.
Boulding, K. (1962), 'Economics and Accounting: the Uncongenial Twins', in Baxter and Davidson (eds), Studies in Accounting Theory, Sweet and Maxwell, 1962 pp 44-55.
Chambers (1966), Accounting, Evaluation and Economic Behaviour, Prentice Hall, 1966
Chambers (1971), "Evidence for a Market-Selling Price based Accounting System" in Stirling, R.R. (1971)(ed), Asset Valuation and Income Determination: A consideration of the Alternatives, Kansas: Scholars Book Co., 1971, pp 74-96
Chapra, U.M. (1992), Islam and the Economic Challenge, Leicester (UK): The Islamic Foundation, 1992.
Davidson, S., D.Green, Jr, C.T. Hongren and G.Sorter (eds.) (1964), An Income approach to Accounting Theory , Englewood Cliffs, N.J., Prentice Hall, 1964.
Dickerson, P.J. (1965), Business Income - A Critical Analysis, Institute of Business and Economic Research, University of California.
Edwards , E. and P. Bell (1961), The Theory and Measurement of Business Income, Berkeley, California: University of California Press, 1961.
Financial Accounting Standards Board (1980), Statement of Financial Accounting Concept No. 3: Elements of Financial Statements, Stamford: Connecticut., 1980.
Fisher, I. (1930), The Theory of Interest, Macmillan , 1930, pp3-35 (reprinted as Income and Capital, in Parker, R.H. and G.C. Harcourt (eds.) (1969), Readings in the Concept and Measurement of Income, Cambridge: Cambridge University Press, 1969, pp 33-53.)
Gambling, T. and R. A.A. Karim (1991), Business and Accounting Ethics in Islam, London: Mansell, 1991.
Goyle, R.N. (1990), "Concept of Maintaining Capital Intact" in P.K. Ghosh, G.C. Maheshwari and R.N. Goyle (eds) in Studies in Accounting Theory, 2nd Edition, 1990, New Delhi: Wiley Eastern Ltd.
Grinyer, J.R. and I.W. Symon (1980), "Maintenance of Capital Intact: An Unnecessary Abstraction?", Accounting and Business Research, Autumn, 1980, pp403-413.
Grinyer, J.R. (1985), "Earned Economic Income- A Theory for Matching", Abacus, September 1985
Hayek, F.A. Von (1941), "Maintaining Capital Intact: A Reply", Economica, Vol. VIII, Numbers 29-32,1941





  

1 komentar:

  1. Halo, aku Mrs. Sandra Ovia, pemberi pinjaman uang pribadi, apakah Anda dalam utang? Anda perlu dorongan keuangan? pinjaman untuk mendirikan sebuah bisnis baru, untuk bertemu dengan tagihan Anda, memperluas bisnis Anda di tahun ini dan juga untuk renovasi rumah Anda. Aku memberikan pinjaman kepada perusahaan lokal, internasional dan juga pada tingkat bunga yang sangat rendah dari 2%. Anda dapat menghubungi kami melalui Email: (sandraovialoanfirm@gmail.com)
    Anda dipersilakan untuk perusahaan pinjaman kami dan kami akan memberikan yang terbaik dari layanan kami.

    BalasHapus