DI JAGAD kesusastraan, nama Johann Wolfgang von Goethe tentu sudah
tidak asing lagi. Lahir di Frankfurt, Jerman, 24 Agustus 1748, Goethe
dikenal sebagai pujangga terbesar di antara yang besar dalam sejarah
kesusastraan Eropa. Lebih dua setengah abad berlalu, nama dan karyanya
terus diperbincangkan, tak hanya di Eropa namun juga di Indonesia.
Merayakan 260 tahun kelahiran Goethe, The Habibie Centre (THC)
Jakarta menggelar diskusi publik tentang sosok manusia multi talenta itu
pada pertengahan Ramadhan silam. Topiknya, persinggungan Goethe
dengan ajaran Islam. Topik ini menarik karena menyingkap sisi lain
kehidupan Goethe yang boleh jadi tidak banyak terungkap ke publik Tanah
Air.
Nurman Kholis, peneliti dari Litbang Departemen Agama RI yang menjadi
pembicara utama pada diskusi itu membentangkan sejumlah bukti betapa
Goethe sangat akrab dengan khasanah ajaran Islam. Itu terekam dari
berbagai teks yang pernah ditulis Goethe semasa hidupnya, mulai dari
syair, lakon drama hingga surat-surat yang pernah dikirimkannya ke
berbagai pihak. Kesimpulan Nurman, Goethe meyakini keesaan Allah (tauhid), mengagumi sosok Nabi Muhammad SAW serta memercayai kebenaran al-Quran.
Tentang Nabi Muhammad, Goethe menulis buku kumpulan puisi berjudul Mohamets Gesang (Dendang Nabi Muhammad: 1772). Salah satu petikan syairnya menuliskan: “Juga kalian mari, mari/ Dan kini lebih ajaib dia membesar-meluas/ Seluruh ras menyanjung pangeran ini”. Pada syair lainnya, Goethe menggambarkan indahnya hubungan Nabi Muhammad dan al-Quran: “Dia
seorang Rasul dan bukan penyair, dan oleh karenanya Al-Quran ini hukum
Tuhan. Bukan buku karya manusia yang dibuat sekadar bahan pendidikan
atau hiburan”. Lainnya, Goethe menyatakan: “Apakah Al-Quran itu abadi?/ Saya tidak meragukannya/ Inilah buku dari buku-buku/ Saya meyakini kitab muslim itu”.
Keterpesonaan Goethe bisa terus diperpanjang. “Dan kebenaran itu
pasti bersinar/ Apa yang diakui oleh Muhammad/ Hanya dengan pengertian
satu Tuhan/ Dia menguasai segalanya di dunia ini”. Bahkan, dalam syair yang lain, Goethe terang menyatakan Islam sebagai pilihan hidupnya: “Sungguh
bodoh dalam setiap hal/ Orang memuji pendapatnya sendiri/ Apabila Islam
berarti berserah diri kepada Tuhan/ Dalam Islamlah kita hidup dan mati”. Lainnya, pada sebuah syair yang ia tulis di bulan Februari 1816, Goethe menyatakan: “Puisi ini tidak menolak kebenaran bahwa diri ini adalah seorang Muslim”.
Sebelum Nurman, identitas keislaman Goethe sudah lama bergema di
Eropa. Tahun 1995, Syeikh Abdalqadir al-Murabit, mursyid tariqat syadziliya-darqawiyah
lebih awal menyatakan Goethe adalah seorang muslim. Ulama yang dikenal
sebagai pelopor kebangkitan Islam di Eropa itu menyampaikan hal tersebut
dalam buku berjudul Fatwa on the Acceptance of Goethe as Being a Muslim,
terbit di Weimar, Jerman. Namun, Goethe tidak mendapat pengajaran
khusus tentang shalat, puasa, zakat atau berhaji. Kendati demikian,
Goethe bangga dan penuh emosi menghadiri shalat Jumat. Di lingkungan
muslim Eropa pada masanya, Goethe dipanggil dengan nama Muhammad Johann
Wolfgang Goethe. Fatwa Syeikh al-Murabit juga dipublikasikan dalam
tabloid berbahasa Jerman, Islamische Zeitung Nr. 5/1995 dengan judul “Fatwa uber die Anerkennung Goethes als Muslim”
Kekaguman Goethe pada Islam merupakan hasil pengembaraan panjang.
Saat belajar ilmu hukum di Universitas Leipzig, ia telah tertarik
mempelajari kesusastraan Timur. Hal itu menjadi pintu masuk baginya
mengenal Islam. Goethe membaca, terpesona, lalu memburu manuskrip asli
syair-syair sufistik karya para sufi agung: Rumi, Hafiz, Ferdusi,
Dschami, Saadi, dan Attar. Goethe juga membaca tafsir al-Quran, sejarah
Nabi Muhammad, kitab fikih, hingga kumpulan doa. Ketertarikannya pada
al-Quran terpacu setelah membaca al-Quran terjemahan JV Hammer dalam
bahasa Jerman dan karya G. Sale dalam bahasa Inggris. Hasil pembacaan
itu kelak membuat Goethe mempelajari cara menulis dan membaca aksara
Arab. Setelah kematiannya (1832), Goethe diketahui menyalin sejumlah
ayat al-Quran dengan tulisan tangannya sendiri. Pembaca yang penasaran
bisa menemukan sejumlah dokumentasinya dalam buku yang ditulis Sebastian
Donat (1999) berjudul Goethe, ein letztes Universalgenia? (Goethe, Seorang Serba Bisa yang Terakhir?)
***
Semasa hidupnya, Goethe memiliki banyak minat. Selain sastra, ia juga
mendalami ilmu hukum, arsitektur, kimia, filsafat, geologi, matematika,
meteorology dan militer. Namun, agaknya jarang diketahui publik soal
ketertarikan Goethe pada urusan moneter, khususnya soal penciptaan uang.
Menurut Nurman, lakon Faust yang ditulis Goethe, salah satunya berisi kritik tajam Goethe terhadap kebijakan penerbitan uang kertas di Eropa. Masa Faust digarap, Eropa sedang berada dalam transisi dari penggunaan uang emas menuju uang kertas.
Mengutip penelitian Sebastian Donat, menurut Goethe, penciptaan uang
kertas menggantikan uang emas merupakan hasil rekayasa setan. Dalam Faust
diceritakan, Raja kehabisan uang emas setelah mendanai perang. Dia
lalu meminta bantuan memperoleh dana segar dari dokter Faust yang
bersekutu dengan iblis bernama Mephistopheles. Kepada Raja,
Mephistopheles menawarkan solusi agar mencetak uang dari bahan kertas
saja. Uang jenis itu gampang dibuat dibandingkan uang emas yang harus
ditambang lebih dulu dan jumlahnya terbatas. Praktek penciptaan uang
kertas inilah yang ditentang Goethe.
Selain Faust, Goethe juga menulis 46 buku lain yang berisi
sikap skeptisnya terhadap pemberlakuan uang kertas. Sikap Goethe itu
sejalan dengan Islam. Imam al-Gazali dalam Ihya Ulumuddin
menyatakan, Allah menciptakan emas dan perak agar keduanya menjadi hakim
yang adil. Senada, Syeikh Taqyuddin An-Nabhani menyatakan, satuan
perhitungan dan alat tukar menurut syariah adalah emas dan perak.
Sejarah Islam terang menunjukkan hal ini. Sejak era Rasulullah hingga
Kekhalifahan Usmani, umat muslim menggunakan dinar dan dirham. Dinar
adalah koin emas 22 karat seberat 4,25 gram. Dirham, koin perak 2,9
gram. Keduanya digunakan sebagai alat tukar, penakar nilai, pembayar
zakat, mahar dan investasi.
Meminjam pendapat Goethe, uang kertas merupakan hasil ciptaan setan
maka tidak heran bila penggunaannya yang kini dominan dipakai umat
manusia di dunia menyebabkan pelbagai malapetaka terjadi. Sudah tak
terbilang negara yang hancur perekonomiannya akibat resesi dan inflasi,
yang disebabkan anjloknya nilai tukar mata uang kertas negara tersebut.
Uang kertas, disebabkan terbuat dari kertas, sejatinya tak bernilai. Ia
dipercaya hanya karena diberi cetakan angka di atas lembarannya oleh
otoritas politik. Itu membuatnya rawan spekulasi. Bandingkan dengan uang
emas atau perak yang bernilai ril disebabkan kandungannya. Spekulasi
sulit terjadi. Iris-irislah sekeping koin emas maka setiap serpihannya
masih tetap berharga. Namun, robeklah selembar uang kertas maka ia
segera tidak akan berguna.
Mengemukakan pandangan Goethe tentang uang, kiranya dapat menjadi
renungan bagi umat Islam Indonesia dan dunia saat ini untuk memikirkan
kembali penggunaan uang emas dan perak. Patut didukung, kini koin dinar
emas dan dirham perak telah kembali dicetak dan beredar di Tanah Air
bahkan dunia. Perlahan, kian panjang barisan orang yang menyadari
kelebihan uang berbahan baku emas itu dibandingkan uang kertas. Sifat
emas dan perak yang universal, juga memungkinkan uang jenis ini menembus
sekat-sekat budaya, sosial bahkan bisa diterima penganut agama manapun.
Perdagangan yang adil antar manusia, antar negara, bisa ditegakkan.
Al-Gazali mengatakan, “Dari sekian banyak nikmat Allah, adalah
penciptaan emas dan perak. Dengan mata uang inilah maka dunia tegak”.
Ucapan al-Gazali relevan dengan konteks dunia hari ini. Keadilan
ekonomi sulit ditegakkan bila uang kertas masih diterapkan sebagai alat
tukar. Tengoklah, ironi yang dialami Indonesia. Hutan, tanah, minyak,
isi laut, tambang, hasil bumi lainnya yang dikaruniakan Tuhan kepada
negeri ini ditukar oleh bangsa lain hanya dengan lembaran kertas-kertas
cetakan yang sejatinya tak berharga. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar