Bukan nilai atau angka yang dikejar. Tapi karya dan tindakan nyata yang Harus di Perjuangkan (A Harry Yoga)
Maret 19, 2012
Sistem Fiskal Islam :Meningkatkan Sinergitas Sektor Riil Syariah dan Keuangan Islam
Sistem Fiskal Islam :Meningkatkan Sinergitas Sektor Riil Syariah dan Keuangan Islam
Ditulis oleh Ali Sakti M.Ec
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ” (At Taubah : 103)
A. Pendahuluan
Kesejahteraan dalam arti luas yang bukan hanya menjamin hubungan sesama manusia tapi juga hubungan dengan Sang Pencipta adalah sasaran utama system ekonomi berperspektif syariah dari sebuah negara dengan menggunakan kebijakan-kebijakan dan institusi-institusi yang dimilikinya.
Faridi menjelaskan sistematika pemeliharaan stabilitas ekonomi menuju kesejahteraan ini dengan mempertimbangkan peran negara didalamnya. Faridi menyebutkan bahwa pelaku terdepan dalam ekonomi adalah sector swasta, baik sector riil maupun sector moneter yang ada didalam interaksi swasta tadi, kemudian negara dengan sector publiknya bertugas melancarkan atau bahkan mengkoreksi keadaan mekanisme di sektor swasta tadi, dan terakhir sector social (yang oleh Faridi disebut third sector atau voluntary sector) berperan sebagai penunjang pemantapan dan kestabilan ekonomi yang telah dilakukan dua sector sebelumnya.
Di sector swasta pasar menggunakan mekanisme pasar bebas berdasarkan prinsip-prinsip syariah, baik pada aktifitas investasi (moneter) maupun pada aktifitas riil (jual-beli). Peran lembaga pengawas pasar, Al Hisbah, tentu saja sangat penting untuk menjaga terselenggaranya aktifitas yang dibenarkan secara syariah di pasar. Sementara sector publik yang dimainkan negara melalui instrumen fiskalnya mendorong peningkatan taraf aktifitas ekonomi. Atau bahkan sector publik tersebut berfungsi mengkoreksi ketika sector swasta tak mampu memainkan perannya secara maksimal dalam aktifitas ekonomi di pasar.
Zakat Sebagai Instrumen Fiskal Utama Negara
Zakat merupakan system dan instrumen orisinil dari system ekonomi Islam. Yang bertugas mendistribusikan kekayaan pada golongan masyarakat yang membutuhkan. Dengan keyakin bahwa pada tiap harta yang didapatkan oleh seseorang terdapat didalamnya hak para fakir miskin dan orang-orang yang kekurangan (8 asnaf).
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf, yang dibujuk hatinya untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk (yang berjihad) dijalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At Taubah: 60)
Meskipun perintah zakat atau mekanisme zakat sudah turun bersama surat-surat Al Qur’an di Makkah (Makiyah), namun pelaksanaan zakat secara efektif dan komprehensif baru dilakukan setelah 18 bulan atau tahun kedua setelah Hijrah. Dengan kata lain zakat baru diimplementasikan di Madinah. Pada masa tersebut sudah menjadi kelaziman para mustahik umumnya memperoleh satu dirham perharinya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Jumlah ini juga yang menjadi rujukan tingkat upah bagi tenaga kerja yang tidak memiliki keterampilan atau keahlian (unskill labor).
Eksistensi zakat dalam kehidupan manusia baik pribadi maupun kolektif, pada hakikatnya memiliki dua alasan utama, yaitu alasan ibadah dan alasan ekonomi. Alasan ibadah mengungkapkan bahwa eksistensi zakat merupakan salah satu variable atau ukuran bagi kepatuhan seseorang pada Allah SWT. Artinya zakat merupakan bentuk ibadah wajib bagi mereka yang berada pada posisi yang baik dilihat dari kepemilikan harta. Sementara alasan ekonomi adalah alasan yang mengungkapkan bahwa zakat merupakan variable utama dalam menjaga kestabilan social ekonomi. Dengan adanya zakat ekonomi akan terus dijaga agar ada pada posisi aman untuk terus berlangsung, sekaligus menjaga stabilitas social pergaulan diantara manusia, antara para pelaku pasar atau antara si kaya dan si miskin.
Prilaku Zakat secara detil sebagai instrumen fiscal telah didiskusikan sedikit banyak pada bab prilaku ekonomi Islam. Dan juga akan disinggung pada bab selanjutnya yang menjelaskan peran negara dalam system ekonomi. Sehingga apa yang akan dibahas pada bab ini, hanyalah ketentuan-ketentuan baku dan beberapa implikasi yang tidak terangkum dalam pembahasan bab terdahulu.
B. Zakat dan Implikasinya dalam Perekonomian
Asumsi awal dari bahasan ini adalah bahwa zakat menjadi system yang wajib (obligatory zakat system) bukan system yang sukarela (volutary zakat system). Konsekwensi dari system ini adalah wujudnya institusi negara yang bernama baitul mal (treasury house). Fungsi pertama dari negara Islam adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup minimal (guarantee of a minimum level of living). Institusi negara yang bernama baitul mal-lah yang memiliki tugas menjalankan fungsi negara tersebut. Dengan tepenuhinya kebutuhan hidup minimal maka masyarakat Islam diharapkan akan menjalankan secara leluasa segala kewajibannya sebagai hamba Allah SWT tanpa perlu ada hambatan-hambatan yang mungkin memang diluar kemampuannya.
Mekanisme zakat memastikan aktifitas ekonomi dapat berjalan pada tingkat yang minimal yaitu pada tingkat pemenuhan kebutuhan primer, sedangkan infak-shadakah dan intsrumen sejenis lainnya mendorong permintaan secara agregat, karena fungsinya yang membantu ummat untuk mencapai taraf hidup diatas tingkat minimum. Karena oleh negara infak-shadaqah dan instrumen sejenisnya inilah yang melalui bitul mal digunakan untuk mengentaskan kemiskinan melalui program-program pembangunan. Jadi zakat dan infak-shadaqah memiliki perannya masing-masing. Pada kondisi ummat yang baik dimana tingkat keimanannya ada pada level yang baik, maka pendapatan negara yang bersumber dari infak-shadaqah sepatutnya lebih besar dari penerimaan zakat.
Jika dikaji lebih jauh instrumen zakat dapat digunakan sebagai perisai terakhir bagi perekonomian agar tidak terpuruk pada kondisi krisis dimana kemampuan konsumsi mengalami stagnasi (underconsumption). Zakat memungkinkan perekonomian terus berjalan pada tingkat yang minimum, akibat penjaminan konsumsi kebutuhan dasar oleh negara melalui baitul mal menggunakan akumulasi dana zakat. Bahkan Metwally mengungkapkan bahwa Zakat berpengaruh cukup positif pada ekonomi, karena instrumen zakat akan mendorong investasi dan menekan penimbunan uang (harta). Sehingga zakat memiliki andil dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara makro.
Tabel 1
Benda Wajib Zakat 2,5%
Benda Wajib Zakat Nishab Kondisi Prasyarat
Emas
Perak
Uang Tunai
Barang Dagangan
Barang Tambang (Minerals) Zakat dikenakan jika barang mencapai batas minimum senialai 200 dirham atau 5 uqiyya perak atau 20 dinar (1 dinar sama dengan 4,25 gram emas dan 1 dirham sama dengan 2,975 gram perak; sehingga nishabnya 86 gram emas atau 595 gram perak) Dibayar setelah mengendap selama satu tahun hijriah. Namun tidak cukup jelas kondisi bagi barang tambang (minerals)
Sumber: Hasanuzzaman
Tabel 2
Benda Wajib Zakat 5% dan 10%*
Benda Wajib Zakat Nishab Kondisi Prasyarat
Barang Pertanian (kurma, gandum, jagung, anggur dll)
Minyak Zaitun Zakat dikenakan jika barang mencapai jumlah produksi 5 wasqs (1 wasqs sama dengan 60 sha’ sama dengan 2,176 kilogram; sehingga nishabnya 652,8 kilogram ) Dibayar pada waktu panen
* 10% pada kasus pertanian yang tidak menggunakan irigasi atau biaya-biaya produksi penambah lainnya. Sebaliknya jika menggunakan itu semua tingkat zakat hanya 5 %.
Tabel 3
Benda Wajib Zakat 20%
Benda Wajib Zakat Nishab Kondisi Prasyarat
Harta Temuan
Harta Terpendam (karun) Tidak ada Dibayarkan ketika saat mendapatkan barang tersebut
Tabel 4
Zakat Ternak
Hewan Nishab Zakat
Kambing/Domba 40 1
Sapi/Kerbau 30 1 Dewasa Jantan
40 2 Dewasa Jantan
Unta 5 1 Kambing/Domba
25 1 Unta Betina Dewasa
C. Zakat & Prilaku Konsumsi
Dalam membahas prilaku konsumsi dari individu muslim, karakteristik zakat sudah nampak terlihat, bahwa zakat merupakan instrumen ekonomi yang vital. Absensi mekanisme zakat dalam perekonomian akan merusak keseimbangan ekonomi, bahkan memiliki pengaruh yang besar pada ketidakseimbangan social.
Secara logika, zakat terkesan memiliki tingkat korelasi yang negatif terhadap angka konsumsi. Hal ini terjadi akibat perhatian bahasan zakat terfokus pada mekanisme pada golongan masyarakat muzakki, padahal boleh jadi golongan yang sangat dominan dalam berurusan dengan zakat adalah golongan mustahik, dimana angka konsumsi mereka sangat bergantung pada distribusi zakat. Dengan kata lain bahwa zakat memiliki korelasi positif pada angka konsumsi.
Model konsumsi secara makro dalam Islam pada hakikatnya tidak berbeda dengan konvensional, yaitu model konsumsi yang ditentukan oleh konsumsi pokok (autonomous) dan konsumsi yang berasal dari pendapatan (income).
C = Co + b Y
Dimana C sama dengan total konsumsi, Co konsumsi pokok, b persentase dari income yang dikonsumsi (marginal propensity to consume; MPC) dan Y pendapatan.
Jika dianalisa lebih spesifik pada sisi mustahik, maka secara jelas bahwa zakat akan meningkatkan agregat konsumsi dasar, yaitu akumulasi Co. hal ini secara logis terjadi akibat akomodasi system terhadap pelaku pasar yang tidak memiliki kemampuan beli atau mereka yang tidak memiliki akses pada ekonomi.
Sementara itu jika dilihat dari sisi muzakki, terkesan bahwa pengenaan zakat akan menekan jumlah konsumsi agregat, karena zakat menurunkan jumlah pendapatan yang dapat dikonsumsi. Sehingga wajar jika ada yang berpendapat kalaupun kenaikan konsumsi golongan mustahik akibat zakat dapat terjadi, namun kenaikan tersebut akan dinetralisir oleh penurunan konsumsi golongan muzakki, sehingga agregat konsumsi relatif tidak berubah.
Perlu diingat bahwa kelebihan harta golongan mustahik memang punya potensi untuk diterjemahkan menjadi konsumsi jika tidak terkena zakat. Namun potensi untuk menjadi konsumsi itu lebih besar jika kelebihan harta (berupa zakat) itu ada di tangan golongan mustahik. Karena kelebihan harta ditangan golongan muzakki relatif untuk pembelian barang-barang sekunder atau mewah, sementara jika harta tersebut ditangan golongan mustahik, hampir pasti harta tersebut akan dibelanjakan untuk barang kebutuhan pokok.
Jika dilihat dari elastisitas barang-barang sekunder dan barang mewah maka elastisitas barang tersebut lebih inelastic dibandingkan barang kebutuhan pokok, bahkan elastisitas kebutuhan pokok cenderung mendekati elastis sempurna. Artinya penambahan permintaan barang sekunder dan mewah tidak cukup responsive terhadap perubahan harga, sementara penambahan barang kebutuhan pokok begitu responsive terhadap perubahan harga. Bahkan pada kasus barang kebutuhan pokok yang memiliki elastisitas sempurna penambahan permintaan barang tersebut tidak dipengaruhi oleh perubahan harga, karena memang kebutuhan pokok berapapun harganya harus dikonsumsi oleh semua konsumen. Jadi jika dilihat dari potensi konsumsi yang akan terjadi, kelebihan harta berupa zakat sangat efektif atau potensial sekali berada di tangan mustahik dari pada muzakki. Sehingga dapat disimpulkan bahwa zakat akan mempengaruhi konsumsi secara positif.
Selain itu diharapkan sebenarnya dalam jangka panjang zakat akan meningkatkan ekonomi dan meningkatkan pendapatan perkapita, sehingga kekhawatiran efek negatif zakat terhadap ekonomi sangat tidak beralasan.
Ada juga beberapa pakar yang berpendapat bahwa Zakat kemudian berpengaruh positif pada MPC, namun hal ini dibantah karena ada asumsi bahwa perekonomian Islam menganjurkan prilaku konsumsi yang berhemat dan tidak bermewah-mewah sehingga MPC ada pada tingkat yang relatif rendah atau wajar.
Jadi dapat dikatakan bahwa pembahasan zakat dan kaitannya dengan makroekonomi tidak dapat dipisahkan dari fungsi utama zakat sebagai variable utama untuk peningkatan sisi permintaan (demand side) dari system ekonomi. Ini juga yang menjadi karakteristik lain dari perekonomian Islam, yaitu perhatian yang sama besar baik pada sisi permintaan maupun sisi penawaran, berikut dengan kelengkapan instrumen-instrumen yang dapat digunakan dalam memastikan keseimbangan diantara keduannya.
Peningkatan angka konsumsi ini selanjutnya secara keseluruhan (agregat) mendorong peningkatan kinerja perekonomian yang otomatis mendukung pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Dengan demikian betullah apa yang sudah ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya:
“…Dan apa yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (Ar Rum: 39)
D. Zakat dan Prilaku Produksi
Seperti yang telah diungkapkan pada bab prilaku ekonomi, bahwa zakat akan memelihara perekonomian, yang pada dasarnya akan berpengaruh baik pada konsumen maupun pada produsen. Pada sisi produksi juga telah dijelaskan bahwa mekanisme zakat pada hakikatnya menjaga transaksi di pasar agar barang hasil produksi terus dapat diserap oleh pasar.
Dengan prediksi fakta seperti ini, maka para produsen yang nota bene sebagai muzakki dalam mekanisme zakat, akan memastikan diri mereka selalu memberikan hak kaum miskin berupa zakat. Dengan melakukan itu berarti para produsen sekaligus menjaga pasar barang-barang hasil produksinya, dan kemudian secara jangka panjang akan mampu mengembangkan usahanya pada tingkat yang lebih baik.
Lebih lanjut Monzer Kahf (1999) , mengungkapkan bahwa zakat memiliki pengaruh yang positif pada tingkat tabungan dan investasi. Peningkatan tingkat tabungan akibat peningkatan pendapatan akan menyebabkan tingkat investasi juga meningkat. Karena ada preseden bahwa zakat juga dikenakan pada tabungan yang mencapai batas minimal terkena zakat (nisab). Dengan tujuan mempertahankan rasio tabungannya maka tentu investasi menjadi salah satu jalan keluar bagi para muzakki, sehingga secara otomatis meningkatkan angka investasi secara keseluruhan.
Disamping itu Kahf juga mengungkapkan bahwa zakat cenderung menurunkan resiko kredit macet, karena salah satu alokasi dana zakat adalah menolong orang-orang yang terjebak hutang. Sehingga secara riil zakat juga kemudian menekan tingkat pengangguran. Dan menurut Kahf peningkatan jumlah tenaga kerja yang aktif di ekonomi melalui dua mekanisme. Pertama, implementasi zakat itu sendiri membutuhkan tenaga kerja dalam pengelolaannya. Kedua, perubahan golongan mustahik yang awalnya tidak memiliki akses pada ekonomi menjadi golongan yang lebih baik secara ekonomi, tentu saja meningkatkan angka partisipasi tenaga kerja.
E. Zakat dan Prilaku Sosial
Zakat dengan institusi amil zakat menjaga hubungan yang baik antara si miskin dan si kaya, tanpa perlu mengorbankan harga diri golongan miskin, disebabkan mekanisme distribusi zakat yang melalui baitul mal. Kerelaan dan keikhlasan golongan kaya (muzakki) dalam menyisihkan sebagian hartanya bagi saudaranya yang kurang mampu (mustahik), memberikan suasana pergaulan social yang hangat dan terpelihara ketenangannya, sehingga tidak akan tercipta suasana yang kurang harmonis diantara keduanya. Begitu juga dengan efek negatif dari kesenjangan yang amat dalam antara kaya dan miskin seperti meningkatnya kriminalitas, kemaksiatan dan segala tingkah laku negatif, akan dengan signifikan tereduksi. Dengan kata lain zakat kemudian memiliki korelasi yang positif dalam menekan baik gejolak social maupun gejolak politik.
Timur Kuran dalam sebuah artikelnya membahas peran dan fungsi zakat ini secara kritis. Kuran berpendapat bahwa data sejarah menunjukkan bahwa zakat lebih berperan sebagai alat politik dari pada alat ekonomi, sebab zakat lebih efektif menjaga kestabilan politik dibandingkan alat peningkat produktivitas dalam sebuah bangunan ekonomi. Namun oleh Monzer Kahf (1992) kecenderungan fungsi zakat tersebut dapat dibantah. Kahf mengatakan bahwa melalui golongan masyarakat penerima (mustahik) dan pembayar (muzakki), zakat memiliki peran dalam mendorong kinerja ekonomi. Menurut Kahf, zakat yang diterima oleh mustahik akan meningkatkan konsumsinya yang tentu kemudian meningkatkan agregat permintaan secara makro. Sementara itu pada pihak muzakki, zakat akan meningkatkan rasio simpanan mereka, dengan asumsi bahwa tiap individu akan mempertahankan tingkat kekayaannya. Jadi peningkatan rasio tabungan, menurut Kahf merupakan kompensasi dari pembayaran zakat. Dan peningkatan rasio tabungan ini memiliki hubungan yang erat dalam peningkatan investasi dari muzakki. Peningkatan output akibat naiknya tingkat konsumsi mustahik membuat muzakki melakukan (keputusan) investasi. Sehingga pada saat yang sama akan meningkatkan pemintaan agregat.
Penanggungan kebutuhan hidup minimal tidak hanya diberikan pada masyarakat Islam saja (meskipun sumbernya bukan dari zakat), masyarakat non-Islam pun dapat memperoleh jaminan tersebut. Hal ini tergambar dari perjanjian pedamaian untuk penduduk Hairah di Irak yang ditulis Khalid bin walid pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a. Dalam perjanjian tersebut jaminan kebutuhan hidup minimal diberikan oleh Baitul Mal kepada setiap orang tua yang tak kuat bekerja, cacat atau fakir-miskin dan dihapuskan kewajiban membayar jizyah sepanjang ia tinggal di negara Islam .
H. Zakat dan Institusi Baitul Mal
Institusi Baitul Mal sebagai bendahara negara atau departemen keuangan negara (treasury house of the state) tentu saja memasukkan zakat sebagai pos penerimaan dalam anggarannya. Keberadaan baitul mal tentu saja merupakan representasi dari Amil sebagai pengelola zakat. Dan dengan format sistem zakat yang wajib, maka mau tak mau kendali pengelolaan zakat tentu saja sangat efektif ada di bawah negara. Ada beberapa alasan mengapa institusi Baitul Mal sangat dibutuhkan dalam meknisme zakat ini.
1. Dilihat dari mekanisme zakat institusi Baitul Mal merupakan konsekwensi dari eksistensi pengakuan pemungut atau pengelola zakat (Amil).
2. Faktor kebutuhan pertanggung jawaban dan profesionalitas dari pengelolaan serta distribusi dana zakat.
3. Negara memerlukan institusi yang profesional dan sistematis dalam menjalankan fungsi negara sebagai penjamin kesejahteraan warganya menggunakan instrumen fiskal, terutama Zakat.
4. Menjaga harmonisasi hubungan golongan masyarakat kaya dan golongan masyarakat miskin. Dalam hal ini penyaluran hak golongan miskin dari golongan kaya tidak langsung, sehingga harga diri kedua golongan, terutama golongan miskin, terjaga dengan baik.
Tentu saja baitul mal tidak hanya menampung zakat saja, tapi semua penerimaan negara ditampung dan dikelola oleh baitul mal, seperti Kharaj, Jizyah, Khums, Ushur dan lain-lain. Baitul Mal bukan hanya mengatur tata-laksana pemungutannya tapi juga mengatur pendistribusiannya. Bahkan ada literatur ekonomi klasik yang menyebutkan pada masa Ali bin Abi Thalib, Baitul Mal juga berfungsi mengeluarkan atau mencetak uang Dinar-Dirham bagi kepentingan negara Islam ketika itu.
I. Perkembangan Kontemporer: Mekanisme Zakat di Indonesia
Walaupun kini Indonesia telah memiliki Undang-Undang tentang zakat yaitu UU No. 38 tahun 1999, tapi tetap saja keberadaan undang-undang tersebut tidak wajib bagi para muzakki. Bahkan terkesan undang-undang tersebut adalah sekedar undang-undang pengaturan lembaga-lembaga amil zakat saja, bukan undang-undang zakat secara umum.
Dari perbandingan bahasan tentang zakat sebelumnya dengan kondisi penerapan yang ada di Indonesia, ada beberapa kelemahan yang memerlukan perbaikan, di antaranya:
1. System zakat yang masih sukarela (voluntary zakat system), terlihat jelas pada pasal 12 ayat 1 UU No. 38 tahun 1999. Sehingga wajar ketika focus sanksi daru UU ini ada pada badan amil zakat (bab VII Pasal 21). Sebaiknya system zakat diusahakan untuk berada pada posisi wajib (obligatory zakat system), sehingga zakat akan berfungsi dengan maksimal menjalankan perannya sebagai instrumen ekonomi.
2. System zakat yang mekanismenya masih di bawah Departemen Agama. Seperti yang telah disebutkan bahwa zakat merupakan instrumen ekonomi, maka efektifitasnya akan lebih terasa ketika ia benar-benar menjadi alat kebijakan ekonomi. Dengan demikian sebaiknya mekanisme zakat ini berada di bawah otoritas ekonomi. Tapi kondisi poin kedua ini menuntut terpenuhinya kondisi pada poin pertama terlebih dahulu.
Kelemahan-kelemahan perundang-undangan ini sebenarnya bersumber dari pemisahan ruang lingkup agama dalam pemerintahan, sehingga secara hokum ketentuan zakat yang memiliki landasan hokum yang khas berbenturan dengan landasan-landasan hokum positif negara yang lain. Sehingga pada tingkat negarapun akan terlihat relatif susah untuk meminta negara berfungsi utama seperti fungsi negara yang disyaratkan dalam perekonomian Islam, yaitu menjamin kebutuhan minimal hidup rakyat melalui mekanisme zakat. Maka tak heran saat ini lembaga amil zakat yang dikelola swasta tidak juga berorientasi atau memprioritaskan pemenuhan kebutuhan minimal hidup rakyat yang menjadi kategori mustahik.
Zakat yang terkumpul saat ini dari seluruh badan atau lembaga amil zakat jauh dibawah potensinya. Mungkin hal ini yang membuat para amil zakat berijtihad untuk mendistribusikan zakat kepada para mustahik dengan pola produktif, artinya para amil zakat mencoba mengusahakan mustahik menjadi muzakki dengan program-program usaha menggunakan dana zakat. Sebenarnya tidak ada yang salah dari keputusan ini, melihat respon masyarakat terhadap zakat. Tapi jika kita lihat kondisi masyarakat Indonesia saat ini, rasanya perlu bagi badan atau lembaga amil zakat tadi mempertimbangkan kembali pola distribusi yang bersifat produktif tadi.
Data-data akhir tentang demografi Indonesia yang menunjukkan tingkat pengangguran, kemiskinan serta kriminalitas yang demikian tinggi, memerlukan sebuah program yang membantu pemerintah untuk menjaga pembangunan ekonomi tidak terhambat atau bahkan di “grogoti” oleh variable-variabel tadi. Jadi kini perlu dipertimbangkan pola distribusi zakat yang murni bersifat konsumtif oleh para badan atau lembaga amil zakat, agar pemenuhan kebutuhan minimal bagi rakyat yang kekurangan dapat membatasi mereka dari tindakan kriminal atau kemaksiatan. Bayangkan saja menurut harian Malaysia tahun 2002, 68% dari wanita tuna susila yang beroperasi di Malaysia adalah warga Indonesia. Atau data yang menunjukkkan berapa banyak berita yang kita dengar orang tua yang menjual anaknya demi sesuap nasi, berapa anak-anak kecil yang harus turun kejalan demi hidup tapi malah menjadi sasaran kejahatan, berapa kasus pembunuhan yang terjadi hanya karena motif nafkah, hutang dan motif-motif kemelaratan lainnya. Hal ini perlu disadari pemerintah, karena dengan mengabaikan fakta-fakta itu, pembangunan tidak akan berjalan pada tingkat yang sepatutnya, sebab selalu direduksi oleh biaya penanggulangan kriminalitas serta kerusakan infrastruktur dan fasilitas pembangunan. Sementara itu pajak konvensional tidak dapat berfungsi seperti zakat dalam hal pemerataan pendapatan dan menjaga kestabilan ekonomi dan politik.
Jadi mekanisme zakat memastikan aktifitas ekonomi dapat berjalan pada tingkat yang minimal yaitu pada tingkat pemenuhan kebutuhan primer, sedangkan infak-shadaqah dan intsrumen sejenis lainnya mendorong permintaan secara agregat, karena fungsinya yang membantu ummat untuk mencapai taraf hidup diatas tingkat minimum. Karena oleh negara infak-shadaqah dan instrumen sejenisnya inilah yang melalui bitul mal digunakan untuk mengentaskan kemiskinan melalui program-program pembangunan. Jadi zakat dan infak-shadaqah memiliki perannya masing-masing. Pada kondisi ummat yang baik dimana tingkat keimanannya ada pada level yang baik, maka pendapatan negara yang bersumber dari infak-shadaqah sepatutnya lebih besar dari penerimaan zakat.
Dalam membahas prilaku konsumsi dari individu muslim, karakteristik zakat sudah nampak terlihat, bahwa zakat merupakan instrumen ekonomi yang vital. Absensi mekanisme zakat dalam perekonomian akan merusak keseimbangan ekonomi, bahkan memiliki pengaruh yang besar pada ketidakseimbangan ekonomi dan sosial. Zakat dengan institusi amil zakat menjaga hubungan yang baik antara si miskin dan si kaya, tanpa perlu mengorbankan harga diri golongan miskin, disebabkan mekanisme distribusi zakat yang melalui baitul mal. Begitu juga dengan efek negatif dari kesenjangan yang amat dalam antara kaya dan miskin seperti meningkatnya kriminalitas, kemaksiatan dan segala tingkah laku negatif, akan dengan signifikan tereduksi.
Beberapa negara yang menerapkan system ekonomi konvensional memiliki instrumen yang berfungsi hampir sama dengan zakat. Beberapa negara (teutama negara barat) menerapkan tunjangan social bagi penduduknya yang tidak memiliki kerja, uzur atau tidak memiliki kemampuan untuk mencari nafkah. Dan sumber pendanaannya adalah berasal dari pajak. Namun karakteistik pajak serta tunjangan social tersebut berbeda sama sekali dengan mekanisme yang ada dalam Zakat. Penjaminan dalam mekanisme zakat merupakan prioritas utama dalam kebijakan ekonomi (ketika zakat tak mampu memenuhi fungsi penjaminan tersebut, maka pemasukan negara dari sumber selain zakat akan digunakan sampai kebutuhan minimal seluruh rakyat terpenuhi). Sedangkan dalam konvensional tunjangan social sangat tergantung pada penerimaan pajak, ketika dana pajak dirasakan tidak mencukupi, maka tunjangan tersebut bukanlah menjadi prioritas yang utama.
Dalam Islam, selain kebijakan dari para pemain atau pihak-pihak sentral ekonomi yang memang diharapkan dapat memberikan kestabilan dan kesejahteraan ekonomi, sistem ekonominya juga diyakini memiliki mekanismenya sendiri dalam menjaga kestabilan tersebut. Eksistensi aturan syariah dan institusi dalam sistem ekonomi diharapkan dapat menjaga perekonomian dari salah laku para pemain ekonomi. Dan berkaitan dengan ini, memang dalam perekonomian Islam ada beberapa mekanisme ekonomi Islam yang tidak akan berjalan dengan maksimal ketika memang bukan negara yang menjalankan, misalnya memastikan terlaksananya mekanisme Zakat dan pelarangan riba.
F. Instrumen Fiskal Sejenis Zakat
Disamping zakat perekonomian Islam memiliki beberapa variabel seumpama zakat yang lebih bebas penggunaanya, seperti infaq, shadaqah, hibah, wakaf, kharaj, jizyah, ushr dan ghanimah. Variabel-variabel ini juga merupakan pemasukan negara bagi program-program pembangunannya.
Dari variabel tersebut kuantitasnya ada yang bersifat sukarela seperti infaq, shadaqah, hibah dan wakaf. Yang bersifat wajib adalah zakat, kharaj, jizyah dan ushr. Sedangkan ghanimah merupakan sebuah hasil yang bergantung pada kemenangan dari sebuah peperangan yang dilakukan oleh negara.
F.1. Kharaj
Kharaj merupakan pajak khusus yang diberlakukan Negara atas tanah-tanah produktif yang dimiliki rakyat. Bahkan pada kasus tertentu Negara memiliki hak untuk menyita tanah yang berpotensi namun ditelantarkan oleh pemiliknya atas dasar alasan kemashlahatan. Besarnya pajak jenis ini menjadi hak Negara dalam penentuannya. Dan Negara sebaiknya menentukan besarnya pajak ini berdasarkan kondisi perekonomian yang ada. Dengan karakteristiknya seperti ini, kharaj dapat menjadi instrumen fiscal yang dapat diandalkan oleh negara untuk mendukung program-program pembangunan negara.
Hasanuzzaman mengungkapkan bahwa pajak tanah ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu pajak Ushr dan pajak Kharaj. Pajak ushr dikenakan pada tanah di jazirah arab, baik yang diperoleh secara turun temurun maupun dengan penakhlukan. Sedangkan pajak kharaj dikenakan pada tanah diluar jazirah arab. Sementara Abu Yusuf berpendapat bahwa setiap tanah yang pemiliknya masuk Islam adalah tanah ushr, dan diluar itu, seperti tanah orang-orang asing yang telah didamaikan penduduknya dan menjadi tanggungan umat Islam, maka tanah itu adalah kharaj.
Dilihat dari jenis kontribusi tanah pada negara, Abu Ubayd mengklasifikasikan tanah menjadi tiga jenis. Pertama tanah yang pemiliknya masuk Islam, yaitu tanah ushr. Kedua tanah yang dikuasai dengan perdamaian atau kesepakatan dengan pajak (kharaj) yang telah ditentukan, yaitu tanah kharaj. Ketiga tanah yang diambil dengan paksa, yaitu yang direbut oleh kaum muslimin.
Quthb Ibrahim Muhammad mengungkapkan bahwa penetapan tingkat kharaj (pajak tanah) harus memperhatikan variable-variabel sebagai berikut:
1. Jenis Tanah: karena tanah yang bagus, maka tanaman akan subur dan hasilnya lebih baik dari tanah yang buruk.
2. Jenis Tanaman: ada yang harganya tinggi dan ada yang harganya rendah, sehingga jenis tanaman ini juga menentukan tingkat pengenaan kharaj.
3. Pengelolaan Tanah: jika biaya pengelolaan tanah tinggi, maka kharaj yang dikenakan tidak sebesar kharaj yang dikenakan pada pengelolaan tanah yang mengandalkan pengairan dari hujan (biaya rendah).
Quthb Ibrahim Muhammad juga memberikan contoh data sejarah bagaimana masa kekhalifahan Umar bin Khattab memberikan standar kharaj di Irak ketika itu.
Tabel 6
Kharaj di Irak Masa Umar bin Khattab
Standard Kharaj
Satu Gantang Gandum Basah 2 Dirham
Satu Gantang Jagung Basah 4 Dirham
Satu Gantang Anggur Basah 5 Dirham
Satu Gantang Kayu Krom Basah 10 Dirham
Quthb Ibrahim Muhammad
Sementara Hasanuzzaman berpendapat bahwa sejarah ekonomi Islam menunjukkan bahwa tingkat kharaj yang umum adalah satu dinar dari setiap empat aroura (ukuran luas tanah ketika itu). Hasanuzzaman juga menunjukkan bagaimana Islam melihat kepemilikan tanah beserta hak pengelolaannya merupakan factor penting dalam ekonomi. Menjadi kesepakatan ekonomi bahwa tanah merupakan factor produksi yang paling produktif, sehingga kepemilikan dan pengelolaannya menjadi perhatian penting dalam ekonomi. Dan Islam memberikan perhatian yang cukup pada kepemilikan dan pengelolaan tanah ini.
Menurut Hasanuzzaman, meskipun Islam mengakui adanya hak kepemilikan pribadi atas tanah namun ada beberapa kondisi yang kemudian membuat seseorang terputus hak kepemilikan tanahnya. Hasanuzzaman memaparkan enam kondisi pengambil alihan atau terputusnya hak kepemilikan tanah tersebut.
1. Pemberian hak kepemilikan dari negara yang bersifat temporer, artinya jika sampai pada masa akhir kesepakatan atau terjadi kondisi tertentu, maka hak kepemilikannya kembali pada negara. Hal ini terjadi ketika Umar bin Khattab r.a menarik kembali hak kepemilikan tanah di Mesir ketika pemiliknya wafat.
2. Negara memberlakukan undang-undang baru (amandemen) dalam pembagian tanah kepada rakyat.
3. Pemilik tidak memberdayakan tanah tersebut dalam beberapa waktu tertentu. Dalam kasus ini Quthb Ibrahim Muhammad mengungkapkan pada masa khalifah Umar bin Khattab ada ketentuan bahwa jika seseorang membuka lahan mati maka lahan tersebut menjadi miliknya, namun jika pemilik tersebut menelantarkan lahan itu selama tiga tahun, maka gugur hak kepemilikan atas tanah tersebut.
4. Pemilik tak sanggup membayar sejumlah uang yang menjadi kesepakatan antara negara dengan pemilik tersebut, sebagai syarat dari keberlangsungan hak kepemilikan. Ini terjadi pada kasus Hilal Bani Muta’an yang melakukan perjanjian dengan Rasulullah.
5. Kepentingan negara yang begitu mendesak untuk mengambil alih hak kepemilikan lahan tertentu. Ini terjadi pada kasus penduduk Najran dan Fadak pada masa Umar bin Khattab.
6. Atas alasan kemashlahatan atau demi kepentingan publik, kepemilikan tanah dapat saja diambil alih oleh negara. Seperti kasus perluasan masjid Nabawi di Madinah.
Untuk masalah pertanahan ini, Quthb Ibrahim Muhammad mengungkapkan bahwa negara juga dapat mengelola tanah yang diberikan hak penjagaan dan perlindungannya oleh rakyat. Tanah petakan dibawah perlindungan negara ini di kenal dengan Al Hima. Penggunaannya tentu saja untuk kepentingan negara atau publik, seperti program pertahanan keamanan, pengentasan kemiskinan dan lain sebagainya.
Dalam konteks perekonomian modern, kharaj juga menjadi sebuah instrumen yang penting dalam penerimaan modal pembangunan. Inovasi kebijakan fiskal menggunakan kharaj sebagai rujukan merupakan sebuah keharusan dalam perekonomian modern saat ini. Misalnya bagaimana menyikapi orang-orang yang tidak memiliki tanah produktif tapi mempunyai pendapatan yang begitu besar, mungkin akan lebih mashlahat jika inovasi kebijakan pajak menganalogikan penarikan pajak menggunakan pendekatan kharaj ini, ketimbang menganalogikan pada zakat. Karena karakteristik pendistribusian kharaj lebih bebas daripada pendistribusian zakat yang terikat pada golongan tertentu.
Namun tentu saja haruslah disepakati interpretasi dalil-dalil syariat yang mengatur tentang kharaj ini serta aplikasinya di perekonomian modern. Sehingga implementasi instrumen ini bagi negara akan maksimal dan tepat sasaran.
F.2. Jizyah
Jizyah (poll tax) merupakan pajak yang hanya diperuntukkan bagi warga negara bukan muslim yang mampu. Berdasarkan banyak literature klasik ekonomi Islam, pajak jenis ini dikenakan pada warga negara non muslim laki-laki. Bagi yang tidak mampu seperti mereka yang uzur, cacat dan mereka yang memiliki kendala dalam ekonomi akan terbebas dari kewajiban ini. Bahkan untuk kasus tertentu Negara harus memenuhi kebutuhan penduduk bukan muslim tersebut akibat ketidak mampuan mereka memenuhi kebutuhan minimalnya, sepanjang penduduk tersebut rela dalam pemerintahan Islam. Hal ini berkaitan erat dengan fungsi pertama dari Negara yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu memenuhi kebutuhan minimal rakyatnya. Jadi pemenuhan kebutuhan tidak terbatas hanya pada penduduk muslim saja.
Quthb Ibrahim Muhammad dan Hasanuzzaman serta beberapa pakar sejarah ekonomi Islam klasik mengungkapkan bahwa jizyah ini rata-rata dikenakan pada setiap laki-laki dewasa non-muslim sebesar 2 dinar. Golongan laki-laki dewasa ini pada hakikatnya adalah golongan non-muslim Dzimmah, yang disebut dzimmi. Secara atimologis dzimmah memiliki definisi perjanjian dan perlindungan, jadi kaum dzimmi adalah mereka yang melakukan perjanjian untuk berlindung di bawah pemerintahan Islam. Ada beberapa pendapat tentang jumlah jizyah yang harus dikenakan pada kaum dzimmi, dapat dilihat pada dua table yang bersumber dari Quthb Ibrahim Muhammad dan Hasanuzzaman. Alasan variasi tingkat Jizyah yang harus dibayar di Mesir tidak diungkapkan secara jelas, padahal pengenaan tingkat Jizyah rata-rata adalah 2 dinar perkepala.
Table 7
Standard Jizyah Masa Umar bin Khattab
Standard Jizyah
Penghasilan Tinggi 48 Dirham
Penghasilan Menengah 24 Dirham
Penghasilan Rendah 12 Dirham
Sumber: Quthb Ibrahim Muhammad
Tabel 8
Tingkat Jizyah di Mesir (103 Hijriah)
Jumlah Wajib Jizyah Jizyah dalam Dinar
95 230
5 7 1/6
7 17
15 38 ½
7 20 ½
5 13
12 25 1/6
14 108 2/3
Sumber: Hasanuzzaman
Menurut Hasanuzzaman, variasi pengenaan tingkat kharaj bagi warga negara kemungkinan besar disebabkan oleh luas lahan yang dimiliki, namun relatif susah menemukan alasan atas variasi tingkat jizyah yang dikenakan pada golongan dzimmi (lihat table tingkat jizyah di Mesir).
Dalam konteks ekonomi kontemporer, mungkin tidak lagi pengenaan jizyah hanya terbatas pada golongan laki-laki non-muslim, tapi juga pada non-muslim wanita yang mampu. Apalagi masa sekarang ini, sudah menjadi kelaziman bahwa wanita juga dapat bekerja dan memperoleh pendapatan yang cukum besar.
F.3. Ushur
Ushur merupakan pajak khusus yang dikenakan atas barang niaga yang masuk ke Negara Islam (impor). Menurut Umar bin Khattab, ketentuan ini berlaku sepanjang ekspor Negara Islam kepada Negara yang sama juga dikenakan pajak ini. Dan jika dikenakan besarnya juga harus sama dengan tariff yang diberlakukan negara lain tersebut atas barang Negara Islam. Jadi ada perbedaan di sini antara Ushur dan Ushr. Ushr sendiri lebih tepat definisinya apa yang telah dijelaskan pada bahasan kharaj di atas. Menurut Hasanuzzaman Ushur (bentuk jamak dari ushr) berasal dari ungkapan pajak sepuluh persen dari nilai barang (ada yang mengungkapkan satu dirham per transaksi yang terjadi) yang dikenakan atas pedagang pada masa sebelum Islam, dan petugas ushur ini dekanal dengan sebutan ashir. Beberapa hadits menyebutkan Rasulullah melarang praktek ashir ini. Meskipun pada masa Umar bin Khattab praktek ini dilakukan kembali, namun asas dan bentuknya tidak sama dengan praktek ashir sebelum masa sebelum Islam. Masih menurut Hasanuzzaman, Abu Ubayd mengungkapkan bahwa praktek ashir telah diganti oleh Rasulullah dengan zakat, sehingga ushur pada hakikatnya dikenakan hanya pada kaum pedagang kafir Harbi; kaum kafir yang menentang dan memerangi Islam dan Dzimmi; kaum kafir yang tidak memusuhi dan memerangi Islam. Besarnya ushur yang dikenakan adalah sepuluh persen bagi pedagang harbi, lima persen bagi pedagang dzimmi dan dua setengah persen bagi pedagang muslim (zakat).
F.4. Infaq-Shadaqah-Wakaf
Infaq-Shadaqah-Wakaf merupakan pemberian sukarela dari rakyat demi kepentingan ummat untuk mengharapkan ridha Allah SWT semata. Namun oleh Negara dapat dimanfaatkan dapat digunakan Negara dalam melancarkan proyek-proyek pembangunan Negara. Pada kondisi keimanan rakyat yang begitu baik maka dapat saja (besar kemungkinannya) penerimaan negara yang berasal dari variabel sukarela ini akan lebih besar dibandingkan dengan variabel wajib, sepanjang faktor-faktor produksi digunakan pada tingkat yang maksimal. Khusus wakaf, dengan karakteristik kepemilikan publik yang permanen atas benda wakaf, maka semakin besar wakaf akan semakin kecil biaya sosial yang harus ditanggung oleh rakyat dalam ekonomi mereka. Sebab wakaf terikat pada fungsi publik yang di syaratkan oleh syariat. Menurut Ahmed Faridi, penerimaan dari pos sukarela ini memiliki korelasi yang positif dengan kondisi keimanan warga negara, semakin beriman warga negara, semakin besar penerimaan negara melalui pos ini dalam membiayai pembangunan negara.
F.5. Ghanimah
Ghanimah merupakan pendapatan Negara yang didapat dari kemenangan perang. Penggunaan uang yang berasal dari ghanimah ini, ada ketentuannya dalam Al Qur’an. Distribusi ghanimah empat perlimanya diberikan pada para prajurit yang bertempur, sementara seperlimanya adalah khums (lihat penjelasan tentang khums). Hasanuzzaman mendefinisikan ghanimah sebagai segala barang bergerak yang direbut oleh tentara muslim dalam sebuah pertempuran. Dalam ghanimah ada beberapa jenis pembagian yang harus menjadi perhatian. Nafal, yaitu penghargaan yang diberikan pada seorang prajurit berupa pembagian harta ghanimah, yang jumlahnya lebih dari rata-rata, dari pemimpinnya, baik pemimpin negara maupun pemimpin lapangan. Pembagan nafal dapat dilakukan meskipun tidak ada janji oleh negara pada awalnya . Salab barang pribadi yang direbut oleh prajurit dari musuh yang dibunuhnya. Dan Safi’ adalah barang pilihan pemimpin yang diambil dari ghanimah untuk dirinya sendiri.
F.6. Khums
Khums adalah satu perlima bagian dari pendapatan (ghanimah) akibat dari ekspedisi militer yang dibenarkan oleh syariah, dan kemudian pos penerimaan ini kemudian dapat digunakan negara untuk program pembangunannya. Dalam alqur’an (Al Anfal: 41) dijelaskan bagaimana penggunaan penerimaan negara dari pos Khums ini.
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang (ghanimah), maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil…” (Al Anfal: 41)
F.7. Fay’
Menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, harta fay’ merupakan pendapatan Negara selain yang berasal dari zakat. Jadi termasuk didalamnya; kharaj, jizyah, ghanimah, ushr dan pendapatan-pendapatan dari usaha-usaha komersil pemerintah (misalkan pendapatan yang berasal dari perusahaan milik pemerintah). Definisi ini lebih mempertimbangkan kondisi ekonomi kontemporer saat ini yang strukturnya cukup berbeda dengan keadaan pada masa Rasulullah dulu.
Abidin Ahmad Salama (1995) menyebutkan bahwa pendapatan negara ada yang bersumber dari Al Mustaglat (government investment). Sumber pendapatan ini termasuk sumber baru bagi negara yang diperkenalkan oleh Walid bin Abdul Malik. Walid mendirikan departemen baru dalam pemerintahannya yang bertanggung jawab terhadap investasi yang dilakukan oleh negara.
Sementara itu Hasanuzzaman mendefinisikan harta fay’ berdasarkan interpretasi masa Rasulullah, yaitu harta kekayaan negara musuh yang telah dikalahkan (di dapat bukan melalui peperangan atau di medan perang), yang kemudian dimiliki dan dikelola oleh negara Islam. Dengan demikian dalam fay ada unsure ghanimah dan bukan ghanimah, sementara dalam ghanimah ada khums (1/5 bagian) dan ada yang menjadi hak mujahidin (4/5 bagian).
F.8. Pajak Khusus
Pajak ini penentuan pemungutannya tergantung kondisi perekonomian Negara, dan menjadi hak prerogative Negara dalam memutuskan besar pajak yang akan dipungut. Misalnya dalam menjalankan fungsi Negara yang pertama, yaitu memenuhi kebutuhan minimal penduduk, ketika zakat dan harta fay’ tidak cukup dalam mewujudkan fungsi tersebut, maka kebijakan selanjutnya Negara dapat mengenakan pajak khusus yang dikenakan pada sekelompok orang kaya diantara masyarakat. Perlu diingat bahwa kebijakan ini sifatnya kondisional atau incidental, ia sesuai dengan keadaan keuangan Negara dalam menjalankan kewajibannya. Artinya pajak menjadi instrumen komplementer dari instrumen yang telah lazim ada dalam perekonomian negara Islam.
F.9. Lain-lain
Penerimaan negara dapat juga bersumber dari variable seperti warisan yang memiliki ahli waris, hasil sitaan, denda, hibah atau hadiah dari negara sesama Islam, hima dan bantuan-bantuan lain yang sifatnya tidak mengikat baik dari negara luar maupun lembaga-lembaga keuangan dunia.
Dari penjelasan instrumen fiscal ini perlu dipahami bahwa setiap instrumen memiliki karakteristiknya masing-masing. Baik pemungutannya (penerimaan bagi negara) maupun penggunaannya (pengeluaran bagi negara). Dilihat dari aturan pemungutannya ada instrumen fiskal yang sifatnya menjadi ketentuan yang mengikat (regulated), maksudnya instrumen tersebut dikenakan pada objek pembayar tertentu dengan sanksi-sanksi tertentu dari negara bagi yang tidak membayar kewajibannya, misalnya instrumen Zakat, Kharaj, Jizyah dan Ushur. Pada Zakat, pemungutannya dilakukan hanya pada masyarakat yang harta wajib zakatnya melebihi batas nisab (batas minimal harta terkena Zakat). Ada juga instrumen yang bersifat sukarela seperti Infaq, Shadaqah dan Wakaf. Sedangkan instrumen yang bersifat kondisional dapat berupa Khums, Pajak, Fay’ dan lain-lain. Instrumen terakhir ini sangat ditentukan oleh kondisi-kondisi perekonomian yang ada di sebuah negara. Misalnya karena kondisi perekonomian mengalami krisis yang cukup lama sehingga sebagian besar rakyat terancam tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya, maka negara boleh secara syariat memungut pajak. Dan pajak tersebut hanya boleh dikenakan pada golongan masyarakat yang kaya.
Begitu juga pada mekanisme penggunaan dana-dana tadi. Ada instrumen yang penggunaan dananya bersifat terikat dan bersifat tidak terikat atau bebas. Penggunaan yang bersifat terikat maksudnya penggunaan yang harus merujuk pada petunjuk yang telah ditetapkan oleh dalil-dalil syariat, misalnya instrumen Zakat, dimana penggunaan dananya hanya terbatas pada delapan golongan masyarakat (mustahik). Sedangkan penggunaan instrumen fiscal yang bersifat tidak terikat artinya akumulasi dana yang bersumber dari instrumen tersebut dapat digunakan untuk hal-hal apa saja dalam pembangunan negara, tergantung pada prioritas pembangunan yang ada. Misalnya dana yang bersumber dari fay’, infaq, shadaqah dan wakaf (yang bersifat mutlak atau tidak terikat).
Kedisiplinan pengelolaan dana dari instrumen fiscal Islam ini terlihat cukup menonjol. Hal ini sebenarnya menunjukkan betapa perekonomian dalam Islam begitu memperhatikan terjamin dan terjaganya segala kepentingan individu dan kolektif yang secara otmatis dapat memelihara kestabilan social masyarakat Islam. Sehingga dalam keadaan tersebut masyarakat secara individu dan kolektif dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai hamba Allah SWT yaitu ibadah secara baik dengan hasil yang maksimal. Secara tidak langsung karakteristik ini menguatkan pendapat bahwa setiap instrumen fiscal memiliki “sasaran tembaknya” masing-masing dalam perekonomian Islam.
Kedisiplinan ini juga yang secara implicit diungkapkan oleh Sahabat Ali bin Abi Thalib r.a ketika menjawab pertanyaan Sahabat Umar bin Khattab r.a berkaitan dengan desakan para sahabat yang lain pada Umar agar menggunakan perhiasan Ka’bah untuk pembiayaan perang. Ali bin Abi Thalib r.a mengatakan:
“Al Qur’an telah diturunkan kepada Nabi SAW dan Harta itu terbagi empat; harta kaum muslimin, maka bagilah antara para ahli waris menurut ilmu fara’idh (ilmu waris); dan harta fay’, maka bagikanlah kepada mereka yang berhak; sedangkan harta seperlima ghanimah (khums), maka bagikanlah kepada apa yang Allah inginkan; dan untuk zakat, tempatkanlah menurut yang Allah kehendaki.”
G. Instrumen Fiskal Islam Versus Pajak Konvensional
Beberapa negara yang menerapkan system ekonomi konvensional memiliki instrumen yang berfungsi hampir sama dengan zakat. Beberapa negara (teutama negara barat) menerapkan tunjangan (transfer) social bagi penduduknya yang tidak memiliki kerja, uzur atau tidak memiliki kemampuan untuk mencari nafkah. Dan sumber pendanaannya adalah berasal dari pajak. Namun karakteistik pajak serta tunjangan social tersebut berbeda sama sekali dengan mekanisme yang ada dalam Zakat. Penjaminan dalam mekanisme zakat merupakan prioritas utama dalam kebijakan ekonomi. Sedangkan dalam konvensional tunjangan social sangat tergantung pada penerimaan pajak, ketika dana pajak dirasakan tidak mencukupi, maka tunjangan tersebut bukanlah menjadi prioritas yang utama.
Dibeberapa negara barat bahkan menempatkan pajak sebagai pos penerimaan utama bagi pembangunan ekonomi negara. Sehingga pajak menjadi instrumen fiscal yang cukup sentral dari ekonomi. Seperti yang telah dijelaskan bahwa instrumen-instrumen fiscal Islam memiliki karakteristik yang cukup khas, berbeda dengan pajak konvensional. Instrumen fiscal Islam terikat dengan penggunaan atau pemanfaatan dan fungsi negara yang telah ditetapkan secara syariat. Misalnya penerimaan yang definitive tidak mengenakan satu instrumen pada semua golongan masyarakat, begitu juga pendistribusiannya diatur secara syariat, sehingga dengan aturan pada pemungutan dan pendistribusian diharapkan terjadi tertib fiscal dalam keuangan negara. Tertib fiscal yang diatur syariah ini diharapkan dapat menghindari terjadinya misalokasi dana atau memperkecil potensi penyalahgunaan oleh aparatur negara.
Dalam banyak literature ekonomi Islam baik klasik maupun kontemporer, pajak yang terlepas dari prinsip-prinsip syariah sangat tidak dianjurkan. Bahkan pada beberapa literature klasik pajak sejenis konvensional sedapat mungkin dihindari. Alasannya cukup sederhana, bahwa pajak jenis tersebut akan menekan pertumbuhan ekonomi, melalui penekanan pada sisi konsumsi dan produksi.
Monzer Kahf berpendapat bahwa tingkat pajak jikapun diberlakukan haruslah pada tingkat yang rendah. Beliau sependapat dengan pemikir ekonomi Islam klasik seperti Imam Malik, Ibn Hazm dan Kattani bahwa menempatkan pajak lebih besar dari tingkat zakat hanyalah dibenarkan jika bertujuan (yang sifatnya darurat) untuk kebutuhan pertahanan negara, menjaga terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat dan memenuhi kebutuhan pembelanjaan yang menjamin kemashlahatan publik. Dan beliau menganjurkan bila memang sebuah negara tidak mampu menerapkan system ekonomi menggunakan konsep Islam, sebaiknya instrumen fiscal beserta pos-pos penerimaan yang lainnya memiliki karakteristik yang sama seperti yang dimiliki oleh system ekonomi Islam, baik pada pemungutannya maupun pendistribusiannya.
B. Peran Negara Dalam Ekonomi Islam
Negara secara definisi berarti sekumpulan manusia yang memiliki pemimpin dan wilayah yang bekumpul karena memiliki visi dan tujuan yang sama. Negara merupakan institusi tertinggi yang menjelaskan, mengatur dan mengawasi interaksi manusia-manusia di dalamnya. Negara kemudian menjadi alat bagi rakyat secara kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan hidup mereka.
Dalam Islam institusi negara tidak lepas dari konsep kolektif yang ada dalam landasan moral dan syariah Islam. Konsep ukhuwah, konsep tawsiyah dan konsep khilafah merupakan landasan pembangunan institusi Islam yang berbentuk negara. Negara dengan konsep tersebut yang juga dilengkapi dengan seperangkat regulasi syariat diharapkan dapat melayani dengan baik dan menyeluruh semua kebutuhan.
Imam Ghazali menyebutkan bahwa agama adalah pondasi atau asas, sementara kekuasaan, dalam hal ini negara, adalah penjaga pondasi atau asas tadi. Jadi ada hubungan yang saling menguntungkan dan menguatkan (simbiosis mutualisma). Di satu sisi agama menjadi pondasi bagi negara untuk berbuat bagi rakyatnya menuju kesejahteraan. Sementara negara menjadi alat bagi agama agar ia tersebar dan terlaksana secara benar dan efisien.
Nejatullah Siddiqi menegaskan bahwa masyarakat tidak akan dapat diorganisir atau diatur menggunakan prinsip-prinsip Islam kecuali menggunakan negara sebagai media. Dalam Islam juga memang ada beberapa ketentuan yang hanya akan efektif dijalankan oleh pemerintahan dari sebuah negara, seperti implementasi mekanisme zakat, ketentuan pelarangan riba dan implementasi undang-undang hudud (hukum pidana Islam).
Pentingnya peran negara dalam efektifitas implementasi prinsip syariah pada setiap sisi kehidupan manusia juga disinggung Yusuf Qardhawy dalam buku beliau yang berjudul Fikih Daulah. Yusuf Qardhawi mengungkapkan bahwa dengan adanya negara, maka diharapkan risalah Islam dapat terpelihara dan berkembang, termasuk di dalamnya akidah dan tatanan, ibadah dan akhlak, kehidupan dan peradaban, sehingga semua sektor kehidupan manusia dapat berjalan dengan seimbang dan harmoni, baik secara materi maupun secara ruhani.
C. Fungsi
Tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang dilakukan Rasulullah Muhammad SAW pasca pembebasan kota Mekah dalam mengatur masyarakat Islam dan penyebaran Islam itu sendiri, merupakan tindakan-tindakan yang lebih terlihat sebagai tindakan politik. Atau dengan kata lain, secara bertahap ketika itu komunitas Islam Madinah-Mekkah sudah diatur dalam kerangka yang bernama negara.
Pada dasarnya ketika itu, apa yang dilakukan Rasulullah SAW adalah menjalankan misi ketauhidan dengan cara mensejahterakan manusia dunia dan akherat di setiap sisi kehidupannya dan menyebarkan ajaran yang rahmatan lil a’lamin sesuai dengan misi yang beliau emban keseluruh penjuru dunia. Maka tak heran dalam fungsinya sebagai kepala negara, Rasulullah berusaha keras memaksimalkan semua upaya agar seluruh umat manusia sejahtera, baik melalui ekonomi, politik, hokum, dan budaya.
Fungsi negara secara politik yang Rasulullah SAW lakukan adalah menjalin hubungan dengan negara lain tanpa meninggalkan misi ketauhidan, yaitu menyebarkan utusan-utusan diplomatic dengan misi menyebar-luaskan ajaran Islam kepada pemimpin-pemimpin negara dunia.
Di sector ekonomi Rasulullah menjalankan mekanisme zakat dan menghapuskan praktek riba dalam aktifitas perekonomian masyarakat. Institusi baitul mal berperan cukup signifikan dalam menjalankan program-program pembangunan negara Islam yang dipimpin Beliau. Bahkan pengaturan kependudukan tak luput dari perhatian negara, seperti hak dan kewajiban warga non-muslim dalam kehidupan bermasyarakat.
Faridi menyebutkan bahwa dalam teori ekonomi modern dikenal dua sector utama ekonomi jika dilihat berdasarkan pelakunya, yaitu sector swasta dan sector publik (pemerintah). Pemerintah dan swasta dalam ekonomi berfungsi menyelesaikan masalah-masalah distribusi di pasar. Keseimbangan harga pertama kali dilakukan oleh sector swasta melalui mekanisme permintaan dan penawaran. Ketika keseimbangan perlu dikoreksi, maka peran sector publiklah yang diharapkan melakukan koreksi tersebut. Dalam perekonomian Islam, menurut Faridi eksistensi sector ketiga (melengkapi dua sector yang telah ada: swasta dan publik), yaitu sector swasta yang tidak dimotivasi oleh keuntungan materi (voluntary sector) menjadi cukup signifikan dalam menjaga keseimbangan makroekonomi.
Secara garis besar fungsi negara yang dikemukakan Dr. Yusuf Qardhawi terbagi pada dua hal.
1. Negara berfungsi menjamin segala kebutuhan minimum rakyat. Fungsi pertama ini bermakna bahwa negara harus menyediakan atau menjaga tingkat kecukupan kebutuhan minimun dari masyarakat. Pada masyarakat yang mampu (golongan muzakki dan non-muzakki/mustahik), negara dapat menjaga tingkat persediaan yang tepat sehingga harga kebutuhan pokok ada pada tingkat yang fair dan terjangkau. Sedangkan pada masyarakat yang tidak mampu (golongan mustahik), negara harus dapat menjamin kebutuhan pokok mereka, artinya negara harus menyediakan kebutuhan pokok secara cuma-cuma pada golongan masyarakat ini. Fungsi ini pada hakekatnya bertujuan untuk menjaga keimanan masyarakat secara umum. Dengan terpenuhinya kebutuhan pokok, maka diharapkan hubungan transcendental manusia dengan Allah SWT tetap terjaga. Aktivitas peribadatan tidak diganggu oleh faktor-faktor eksternal diluar kemampuan masing-masing manusia itu. Jadi ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan pokoknya yang kemudian menjadi hambatan aktivitas ibadah, harus dipecahkan melalui aktivitas kolektif, dalam hal ini masalah tersebut menjadi tanggung jawab negara.
2. Negara berfungsi mendidik dan membina masyarakat. Dalam fungsi ini yang menjadi ruang lingkup kerja negara adalah menyediakan fasilitas-infrastruktur, regulasi, institusi, sumber daya manusia, pengetahuan sekaligus kualitasnya. Sehingga keilmuan yang luas dan mendalam serta menyeluruh (syaamil mutakammil) tersebut berkorelasi positif pada pelestarian dan peningkatan keimanan yang telah dimunculkan oleh poin pertama dari fungsi negara ini. Dengan dengan karakteristik ilmu ini juga diharapkan pertumbuhan dan akselerasi pembangunan ekonomi akan berjalan lebih baik. Dalam arti lebih baik pertumbuhan fisiknya dan kualitas kesyariahan aplikasi-aplikasinya, baik dalam konteks aktivitas individu maupun aktivitas kolektif. Perlu diingat bahwa fungsi ini menjamin masyarakat untuk berperan bukan hanya pemakai system ekonomi tapi juga pembentuk dan pengokoh system ekonomi. Jadi ketika proses pendidikan dan pembinaan tersebut berhasil maka diharapkan juga kekokohan system akan semakin terjaga, yang akhirnya dapat secara maksimal system ekonomi memberikan manfaat pada masyarakat (dalam konteks manusia sebagai pemakai system).
Definisi kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara disini bersifat tidak statis, artinya kebutuhan dasar itu definisi materinya berkembang sesuai dengan kondisi ekonomi dari sebuah negara. Boleh jadi pada masa ini kebutuhan akan sebuah barang masih digolongkan pemenuhan kebutuhan sekunder, tapi pada masa yang akan dating berubah menjadi kebutuhan dasar. Anas Zarqa , mengklasifikasikan kebutuhan dasar menjadi dua kelompok, yaitu kebutuhan untuk hidup (necessary needs) dan kebutuhan yang layak (needs). Dan Zarqa berpendapat sepatutnya negara dapat memenuhi kebutuhan warganya minimal pada tingkat hidup yang layak, bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan untuk dapat hidup.
Dengan demikian dua fungsi tadi secara garis besar adalah bertujuan menjaga dan meningkatkan keimanan dari masyarakat negara. Dengan harapan dengan modal keimanan itulah negara melandasi pembangunan ekonominya. Sehingga secara tak langsung dapat dikatakan bahwa parameter kesuksesan ekonomi dalam perspektif Islam bukan didominasi oleh kemajuan pembangunan fisik, tapi lebih ditentukan oleh seberapa besar kedekatan kolektif dari masyarakat Negara kepada Allah SWT.
Sementara itu menurut Hasanuzzaman , segala fungsi negara ditujukan untuk memastikan bahwa keadilan dan keseimbangan di masyarakat dapat terjaga. Fungsi negara ini menurut beliau terdiri dari:
1. Pembuat kebijakan dan legislasi. Kebijakan dan legislasi yang menjadi wewenang negara diharapkan mampu menekan inefisiensi dan diskriminasi. Kebijakan dan legislasi tersebut memberikan kebebasan dan kesempatan bagi segenap warga negara untuk meningkatkan moral dan spiritual, kesetaraan social dan kemajuan ekonomi mereka.
2. Pertahanan negara. Tugas negara dalam pertahanan negara sudah menjadi keharusan. Dalam hal ini Islam bukan hanya mempertahankan negara secara fisik tapi juga mempertahankan risalah Islam secara normative. Itu sebabnya fungsi ini berkaitan erat dengan fungsi negara dalam memelihara hubungan internasional.
3. Pendidikan dan penelitian. Keutamaan ilmu dan pengembangannya sudah menjadi ketentuan dalam Qur’an dan Sunnah, oleh sebab itu negara menjadi media yang cukup sentral dalam memperlancar aktifitas transfer dan pengembangan ilmu ini. Dengan begitu diharapkan keilmuan yang mapan mampu memberikan efek multiplier bagi pembangunan segala bidang yang dilakukan negara. Dengan kata lain program ini bukan hanya meningkatkan pembangunan baik secara kuantitas dan kualitas, tapi juga memperkokoh kewujudannya.
4. Pembangunan dan pengawasan moral-sosial masyarakat. Sudah menjadi kemestian secara otomatis bahwa negara Islam harus menjaga prinsip-prinsip syariah dalam kehidupan warga negaranya. Pengawasan dan peningkatan moral-sosial masyarakat menjadi tugas negara yang mendasar. Konsep yang digunakan adalah amar ma’ruf nahi munkar (Ali Imran: 104). Fungsi negara untuk kategori ini dimainkan oleh institusi negara yag di sebut Hisbah. Pada topik selanjutnya akan dibahas secara detil apa itu institusi hisbah ini.
5. Menegakkan hokum, menjaga ketertiban dan menjalankan hudud. Sejalan dengan fungsi negara kategori sebelumnya, bahwa usaha negara dalam mewujudkan ketertiban dan kedisiplinan fisik maupun moral, diperlukan penegakkan hokum yang jelas dan tegas yang bersifat mengikat, beserta dengan konsekwensi dan pengawasannya. Dengan demikian warga negara terjamin secara undang-undang hak dan kewajibannya dalam kerangka system syariah.
6. Kesejahteraan publik. Dalam kategori ini, fungsi negara adalah menjadi katalisator bagi warga negara untuk mencapai kesejahteraannya. Negara memaksimalkan pemberdayaan sumber daya yang dimiliki untuk sebesar-besarnya kesejahteraan warganya. Negara kemudian menyediakan fasilitas-fasilitas vital bagi warga, utamanya pangan, pakaian, perumahan, kesehatan dan variable apapun yang menjadi kebutuhan dasar warga. Bahkan jika memang negara sudah mampu membiayai warga yang hendak menikah, maka menjadi kewajiban negara untuk menjalankan tugas itu. Kesemuanya ditujukan untuk menjaga dan meningkatkan kondisi keimanan warga, dengan begitu tidak ada hambatan-hambatan ekonomi yang dapat memposisikan warga negara pada satu kondisi dimana hubungannya dengan Allah SWT terganggu.
7. Hubungan luar negeri. Menurut Hasanuz Zaman, selain bertujuan untuk memelihara hubungan baik dengan negara lain, negara juga dapat menggunakan misi diplomatiknya untuk mengawasi potensi perlawanan atau konspirasi yang ingin menghancurkan negara Islam.
Sedangkan Nejatullah Siddiqi mengklasifikasikan fungsi negara ini menjadi tiga kategori.
1. Fungsi yang menjadi tugas dari syariat. Fungsi negara ini merupakan tugas yang secara spesifik terangkum dalam Qur’an dan Sunnah dan di benarkan oleh para Fuqaha. Fungsi ini tidak tergantung pada perubahan social masyarakat. Contoh dari fungsi negara jenis ini adalah fungsi pertahanan, ketertiban umum, pelarangan riba dan implementasi Zakat.
2. Fungsi turunan dari syariat yang merupakan hasil dari ijtihad berdasarkan situasi kontemporer. Fungsi negara kategori ini bersumber dari analogis argumentasi yang berbasiskan Qur’an dan Sunnah, yang sangat bergantung pada keadaan (tempat dan waktu), misalnya fungsi negara dalam menjaga lingkungan dari masalah-masalah social.
3. Fungsi yang ditugaskan oleh masyarakat melalui mekanisme syura (parlemen) kepada negara. Fungsi negara kategori ini merupakan “permintaan” masyarakat melalui mekanisme yang dibenarkan syariat, dalam hal ini melalui kewenangan syura (parlemen), misalnya fungsi negara dalam menyediakan fasilitas publik, seperti listrik, air bersih dan rumah murah.
Dalam beberapa kajian ekonomi Islam, beberapa pakar ekonomi menyebutkan salah satu fungsi negara yang spesifik adalah mencetak uang beredar resmi negara. Telah disebutkan sebelumnya bahwa pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, negara melalui Baitul Mal mencetak uang Islam pertama kali. Karena memang sebelumnya uang yang digunakan bersumber dari uang negara lain. Ketika itu (sebelum masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib), uang yang digunakan adalah Dinar emas yang berasal dari kerajaan Byzantium dan Dirham perak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar