Maret 19, 2012

Syakhshiyyah I`tibariyyah

Syakhshiyyah I`tibariyyah

Tulisan : Prof. Omar Abdullah



    Merupakan  sesuatu yang sudah tidak dipertentangkan lagi dan juga sebagaimana sejarah telah berkali-kali menginformasikan kepada kita, bahwa "akan datang kepada ummat manusia ini suatu  masa yang pada saat itu mereka akan melupakan cita-cita mereka yang luhur, lalu sebagai gantinya mereka bersungguh-sunguh di dalam menggapai hal-hal yang rendah dan tidak berarti di dalam kehidupan mereka, dan aktivitas akal  dan sosial mereka mengarah kepada yang berlebih-lebihan dan yang sia-sia belaka. Masa ini  bagaikan saat-saat pingsan bagi seorang manusia yang hidup, atau bagaikan saat-saat kebingungan bagi akal pemikiran mereka. Apabila hal ini  berlangsung lama, akibat akhirnya tentulah akan sangat berbahaya.  Bahkan, kejatuhan dan kekalahan yang  menimpa manusia,  yang paling bahaya, berawal  dari masa  yang kacau  ini".  (Muhammad Al Ghazali, 1961 M., halaman 45). Oleh karena itu,  kita semua harus  menjauhkan diri dari kondisi ketidaksadaran ini, dan selalu berupaya untuk memastikan legitimasi muamalat.

    Ummat Islam  pernah mengalami suatu periode tidur yang panjang, yang pada saat itu mereka lupa terhadap apa yang telah diwajibkan Allah Subhanahu Wa Ta`ala terhadap kaum muslimin, namun kondisi ummat pada hari ini  lebih baik daripada kemarin. Hal itu  karena era kebangkitan Islam ini telah mulai meniti jalannya sejak pertengahan  abad ini, walaupun masih dalam bentuknya yang sangat sederhana dan lamban sekali. Namun, kebangkitan ini telah menjadi lebih jelas pada dekade sembilan puluhan dari abad ini. Tidak diragukan lagi bahwa kebangkitan ini telah menjadi terang dan jelas pada prilaku  sejumlah kalangan yang tidak bisa dipandang remeh dari kaum muslimin. Prilaku  mereka yang bersifat individu ini, tercermin pada muamalat  mereka dan keinginan mereka untuk merealisasikan syari`at  Islam di seluruh segi  kehidupan mereka, sekuat kemampuan yang ada. Prilaku  mereka ini  terlihat dengan sangat jelas melalui sejumlah proyek-proyek atau kegiatan-kegiatan yang mempunyai karakter keislaman, seperti berdirinya bank-bank, lembaga-lembaga keuangan, lembaga-lembaga  bantuan sosial kemasyarakatan, dan perusahaan-perusahaan asuransi. Semuanya itu berjalan di dalam ruang lingkup syari`at Islam berdasarkan apa yang dijelaskan oleh sebagian  ulama’ kita,  wallahu a`lam.
     Lembaga-lembaga investasi yang berkarakter Islam ini telah dimulai melalui pendirian bank-bank yang tidak ribawi di negara Pakistan, lalu disusul di  negara Mesir, kemudian  diikuti oleh sebagian dari negara-negara teluk. Aktivitas-aktivitas bisnis yang berlandaskan syari`at itu telah mulai meniti jalannya, dengan bantuan Allah Subhanahu Wa Ta`ala, namun  haruslah ada pengembangan prinsip-prinsip, kaidah-kaidah, standar-standar, dan sistem-sistem akuntasi yang erat kaitannya dengan tuntutan-tuntutan syari`at Islam.  Hal itu karena legitimasi  transaksi keuangan itu pada dasarnya tidaklah berhenti di saat selesai,  bahkan  celupan syari`at ini harus membentang, mencakup  langkah-langkah kegiatan akuntasi mendatang, untuk menyempurnakan transaksi-transaksi tersebut secara syari`at.
     Sesungguhnya legitimasi muamalat itu tidaklah terbatas ruang lingkupnya sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya,  bahkan juga mencakup pihak-pihak yang bermuamalah, di samping segi-segi kegiatan  akuntasi. Yang kami maksudkan dengan pihak-pihak yang bermuamalat itu adalah kedua belah pihak yang bermuamalat. Pihak pertama adalah para sekutu yang membentuk perusahaan  itu, atau para  pemegang  saham. Pihak  kedua adalah orang-orang  yang bermuamalat  dengan mereka. Apabila kita telah sepakat bahwa muamalah itu pada dasarnya telah sah menurut  syari`at, seperti kegiatan jual beli bahan-bahan makanan yang bersih dari setiap hal yang diharamkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta`ala, maka para sekutu itu  diharuskan pula dari kalangan kaum muslimin. Hal itu adalah sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya pada pembahasan ketiga dari bab III bahwa sebagian dari  fuqaha’  kita ada yang memandang tidak bolehnya persekutuan orang  muslim dengan non muslim di dalam modal pokok syirkah. Jika hal ini merupakan perkara  yang berkaitan dengan syari`at, kami setuju dengannya tanpa  mendalaminya. Hanya saja, kami ingin  menambahkan bahwa permasalahan syar`i ini mempunyai dimensi  manajemen dan bisnis yang berkaitan dengan sistem perekonomian, dan selanjutnya dimensi  politik. Dari sisi manajemen dan bisnis,  sesungguhnya keikut-sertaan non muslim itu berimplikasi pada  terwujudnya manfaat-manfaat perdagangan bagi non muslim tersebut. Hal ini  di samping tidak diketahuinya sumber dan karakter harta yang dijadikan saham oleh orang-orang non muslim itu. Hal ini terkadang  bisa mengakibatkan tercampurnya harta yang halal dengan yang haram, yang  selanjutnya akan mengakibatkan rusaknya harta tersebut secara keseluruhan sebagai akibat dari rusaknya sebagian darinya. Manfaat yang terwujud bagi kalangan non muslim dari sisi bisnis  ini bisa jadi akan mempunyai pengaruh dan dimensi   politik yang akan diarahkan  untuk melawan kaum muslimin itu sendiri. Sesungguhnya sebuah pemantauan saja terhadap investasi-investasi orang-orang yang membawa semangat Islam pada negara-negara dan masyarakat-masyarakat yang non muslim merupakan sebaik-baik bukti tentang pentingnya legitimasi  muamalat tersebut dalam maknanya yang luas, yang mencakup ljuga pihak-pihak yang bermuamalat itu sendiri.
     Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas,  tanggung jawab yang paling utama dan  paling besar yang berada dipundak akuntan muslim itu  tercermin pada penerapan prinsip pertama, yaitu legitimasi muamalat. Yakni, dia wajib  memastikan akan kebenaran dan keselamatan transaksi-transaksi tersebut sejak dari dasarnya, dan termasuk juga pengilustrasian dan analisa hasil-hasil, kemudian penafsirannya. Di antara permasalahan-permasalahan yang telah dimaklumi bersama,  akuntan itu kadangkala tidak mengetahui  seluruh permasalahan yang berkaitan dengan muamalat  tersebut. Akan tetapi, hal ini tidaklah lalu membebaskan dia dari tanggung jawab. Dalam keadaan ini, dia wajib  mengkaji dan menanyakannya kepada orang-orang yang berilmu dalam seluruh bidang yang mempunyai kaitan dengan muamalat tersebut. Pada hakikatnya,  hal ini merupakan salah satu permasalahan utama yang menuntut  adanya pengaturan profesi akuntan di dalam masyarakat Islam, dengan cara mempersiapkan kondisi yang kondusif untuk penerapan syari`at Islam secara efektif.


Pembahasan Kedua
Prinsip Kedua
Syakhshiyyah I`tibariyyah

     Pada pembicaraan mengenai prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah (entitas spiritual) ini, yang juga dikenal dengan istilah syakhshiyyah ma`nawiyyah,  kita semua harus hati-hati, karena prinsip ini mempunyai signifikansi dan pengaruh terhadap kegiatan akuntansi dari satu sisi, dan terhadap hasil-hasil dari kegiatan investasi tersebut dari sisi yang lainnya. Sebab,  wajib dibedakan antara  entitas spiritual  sebagai suatu konsep dari satu sisi, dan  pengaruhnya terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban pemilik perusahaan  dari sisi yang lainnya. Demikian  pula wajib  memahami makna syakhshiyyah qanuniyyah dari sisi yang ketiga, dan makna  wihdah  muhasabiyyah (kesatuan akuntansi) pada sisi yang keempat. Pada akhirnya, haruslah mengetahui  pengaruh dari syakhshiyyah qanuniyyah dan kesatuan akuntansi ini terhadap  entitas spiritual tersebut. Point-point ini akan  menjadi topik kajian kita pada pembahasan ini, dengan seizin Allah Subhanahu Wa Ta`ala.

Entitas Spiritual
     Sesungguhnya  yang dimaksud dengan konsep entitas spiritual ini adalah adanya pemisahan kegiatan investasi dari pribadi yang melakukan pendanaan terhadap kegiatan investasi tersebut. Contoh dalam hal ini adalah apabila sekelompok pribadi menginvestasikan bagian tertentu dari harta yang Allah Subhanahu Wa Ta`ala titipkan kepada mereka untuk pendirian suatu lembaga perdagangan, maka  lembaga ini  menjadi terpisah dari para pendirinya, dan memiliki legalitas pribadi yang khusus baginya dan dikenal bahwa dia memiliki syakhshiyyah i`tibariyyah (entitas spiritual). Ini adalah konsep  umum. Akan tetapi permasalahannya tidaklah diambil dengan sifat keumuman ini, secara otomatis dan terus menerus. Hal itu  karena ada segi-segi syari`at dan undang-undang positip yang mempunyai pengaruh langsung terhadap penerapan konsep   ini.
     Sesungguhnya penerjemahan dan pencerminan konsep  syakhshiyyah i`tibariyyah ini terhadap penerapan praktis dari konsep tersebut haruslah mempengaruhi dan terpengaruh secara langsung dan otomatis terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pemilik perusahaan. Di sini, kita harus  membedakan  jenis-jenis  hubungan yang menyatukan para pemilik perusahaan yang  telah menginvestasikan sebagian dari harta yang Allah Subhanahu Wa Ta`ala titipkan kepada mereka. Ada individu yang memiliki –secara lahiriyah-- suatu perusahaan atau kegiatan investasi, dan tidak ada sekutu bersamanya pada kepemilikan yang lahiriyah ini. Ada lagi suatu kepemilikan lahiriyah, yang bersekutu  padanya dua orang atau lebih dalam pendanaan kegiatan investasi tersebut, dan mungkin juga –ini yang seringkali terjadi-- dalam manajemennya. Di samping kedua bentuk kepemilikan yang lahiriyah ini,  ada lagi  jenis ketiga dari jenis-jenis investasi, yakni  persekutuan  beberapa individu, dan pada umumnya   tidak saling mengenal satu dengan yang lain, dalam pendanaan suatu kegiatan investasi tertentu. Tetapi,  mereka  tidak memanajnya sendiri, karena hal itu tidak memungkinkan. Biasanya, dimanaj oleh pihak atau badan khusus yang tidak ikut investasi pada proyek itu sendiri. Terakhir, ada lagi jenis investasi  keempat tasi yang kepemilikan lahiriyahnya kembali kepada  individu tertentu.  Yakni, berbentuk hibah atau waqaf atau yang mempunyai kepentingan umum, akan tetapi  tidak berhubungan dengan individu atau pribadi-pribadi yang  dikenal diri mereka. Kami akan mengkaji bentuk-bentuk kepemilikan lahiriyah yang beraneka ragam itu dalam pembahasan ini, dari segi pengaruhnya dan keterpengaruhannya dengan konsep  syakhshiyyah i`tibariyyah yang pada sebagian negeri-negeri Arab dikenal dengan istilah sykhshiyyah qanuniyyah, hanya saja kami akan mempergunakan istilah syakhshiyyah i`tibariyyah pada buku ini.
     Apabila kita perhatikan  lembaga-lembaga yang bersifat pribadi, yang  mewakili jenis  pertama dari jenis-jenis  sistem  investasi,  kita dapatkan bahwa di sana ada dua permasalahan yang akan mempengaruhi dan  akan terpengaruh dengan konsep syakhshiyyah i`tibariyyah ini. Pertama,  berkaitan dengan harta-harta yang dinvestasikan itu sendiri dan kaitannya dengan harta-harta pribadi tersebut.  Kedua,  berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu, sebagai akibat atau hasil dari kegiatan investasinya.
     Ditinjau dari segi harta yang diinvestasikan,  akan kita dapatkan bahwa harta-harta ini harus tetap  jauh dari tindakan pribadi  pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut. Ini berarti bahwa harta-harta yang diinvestasikan pada  lembaga itu harus dipergunakan pada hal-hal yang ada kaitannya dengan kegiatan  lembaga itu saja,  tanpa dikaitkan dengan kebutuhan-kebutuhan pribadi pemilik  kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut. Maka, tidak diperbolehkan bagi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu untuk melakukan pembelian kebutuhan-kebutuhan untuk pribadinya atau untuk keluarganya atau kaum kerabatnya atau siapa saja, lalu mencatat transaksi-transaksi tersebut  atas tanggungan  lembaga. Hal itu  karena perhitungan-perhitungan lembaga itu  harus dibatasi hanya untuk transaksi-transaksi yang memang dibutuhkan atau diharuskan oleh  karakter kegiatan   lembaga itu, yang tanpa hal itu niscaya lembaga itu tidak mungkin  merealisasikan tujuan-tujuan yang diharapkan dari pendiriannya. Sudah barang tentu, diperkenankan bagi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah ini untuk mengambil dari harta  lembaga itu apa yang dia inginkan, dan membeli apa yang dia sukai dan membelanjakannya  sesuai yang dia kehendaki, dengan catatan bahwa pencatatan jumlah yang telah diambil untuk keperluan pribadi apa pun itu harus dinyatakan  sebagai pengambilan pribadi yang menjadi tanggung jawab pemilik kepemilikan lahiriyah tersebut,  bukan  sebagai  pengeluaran lembaga.
     Pembedaaan antara pengeluaran-pengeluaran pribadi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah ini dan pengeluaran-pengeluaran  lembaga itu sendiri  mempunyai signifikansi,  ditinjau dari pandangan syar`i. Sebab,  dimasukkannya pencatatan pengeluaran-pengeluaran pribadi bagi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu ke dalam  bagian dari pengeluaran-pengeluaran lembaga  akan mengakibatkan –tanpa diragukan  lagi-- bertambahnya pengeluaran-pengeluaran dari kenyataan yang seharusnya terjadi. Pertambahan ini  menggambarkan berlebih-lebihan dalam pengeluaran ketika dibandingkan dengan pemasukan, karena pengeluarann yang berlebih-lebihan tersebut tidaklah seluruhnya dipergunakan untuk merealisasikan pemasukan tersebut. Sebagai akibat dari itu semua, maka penerapan prinsip muqabalah  perimbangan  akan menghasilkan  salah satu dari dua hal, yaitu: Pertama,  Hasil  penerapan prinsip perimbangan itu akan mengakibatkan menurunnya volume keuntungan yang sebenarnya, ini pada sebaik-baik keadaan, yang selanjutnya akan mengakibatkan penurunan  jumlah zakat yang wajib untuk dikeluarkan.  Sedangkan hal yang kedua adalah tergambarkan dalam bentuk adanya  kerugian-kerugian.  Kerugian-kerugian ini bisa jadi seluruhnya bukanlah merupakan kerugian-kerugian yang sesungguhnya,  bahkan sebenarnya tidak ada  kerugian sama sekali. Namun, kegiatan mencampurkan pengeluaran-pengeluaran pribadi tersebut dengan investasi telah menyebabkan tersedotnya keuntungan-keuntungan yang sebenarnya telah ada, dan merubahnya menjadi kerugian. Sebagai akibat dari bercampurnya pengeluaran-pengeluaran itu, hilanglah alokasi bagian untuk zakat, sehingga  mengakibatkan tidak dibersihkannya harta-harta tersebut, apakah hal itu disengaja ataupun tidak disengaja. Oleh karena itu, pencatatan seluruh pengambilan pribadi itu, apakah secara tunai ataukah dalam bentuk barang-barang atau jasa, seluruhnya harus menjadi tanggungan pemilik  kepemilikan yang lahiriyah  tersebut.
     Di saat  penyiapan dan pengilustrasianan perhitungan-perhitungan tahunan pada akhir tahun keuangan selesai, maka penarikan-penarikan pribadi untuk pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut harus disesuaikan  dengan  kondisi yang dihadapi oleh kegiatan investasi  lembaga yang bersifat pribadi. Apabila di sana ada keuntungan-keuntungan yang telah terealisir selama tahun keuangan tersebut,  jumlah keseluruhan dari penarikan pribadi untuk pemilik   kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut dipotong dari keuntungan-keuntungan yang telah terealisir.  Kemudian, pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu berhak untuk berbuat terhadap keuntungan-keuntungan yang masih tersisa, apakah dengan mengambilnya secara keseluruhan, ataukah sebagiannya saja, ataukah dengan cara menambahkannya kepada pokok modalnya. Adapun apabila hasil-hasil   kegiatan  lembaga perorangan tersebut selama tahun keuangan yang telah berlalu itu tergambarkan dalam bentuk kerugian, maka   pengambilan-pengambilan pribadi untuk pemilik kepemilikan yang bersifar lahiriyah itu harus dikompromikan  dengan modal pokoknya,  yakni modal pokoknya itu dipotong sesuai dengan besarnya jumlah penarikan yang bersifat pribadi tersebut. Kami akan membahas kondisi-kokndisi ini dengan contoh-contoh penerapannya pada seri kedua dari Serial  Referensi Para Akuntan dan Auditor,  bi`aunillah.  


Telah kami katakan sebelumnya pada pembahasan ini bahwa ada dua permasalahan yang akan mempengaruhi dan terpengaruh dengan konsep syakhshiyyah i`tibariyyah ini. Pertama, berkaitan dengan harta-harta yang diinvestasikan itu sendiri dan kaitannya dengan harta-harta pribadi tersebut.  Hal ini telah kita bicarakan pada bagian  yang telah lalu. Sedangkan yang kedua,  berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut, sebagai akibat atau hasil dari kegiatan investasinya. Hal ini akan kita bicarakan di sini.
     Dari segi hak-hak dan kewajiban-kewajiban pribadi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah ini, topik ini akan dibahas dari dua sisi, yaitu:  Pertama,  hak-hak pribadi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu. Kedua, kewajiban-kewajiban pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut. Hak-hak pribadi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu adalah  tidak  ditentang  dalam pengambilan seluruh keputusan yang mempunyai kaitan dengan karakter kegiatan tempt menginvestasikan  harta yang Allah Subhanahu Wa Ta`ala titipkan padanya, atau sebagian darinya. Hak pengambilan keputusan-keputusan ini diiringi oleh hak yang lain, yaitu hak menguasai  seluruh keuntungan yang dihasilkan dari kegiatan tersebut, dan tidak ada hak bagi orang lain untuk menyertainya dalam keuntungan-keuntungan yang telah dihasilkan itu. Adapun dari sisi kewajiban-kewajiban pribadi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu, maka  kita dapatkan bahwa kewajiban-kewajiban itu berkaitan erat dengan hak-hak yang telah kita jelaskan   tersebut.
     Karena  pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu memiliki hak  pengambilan seluruh keputusan yang berkaitan dengan karakter kegiatannya, dan memiliki hak untuk berbuat terhadap  seluruh keuntungannya secara sendirian,  untuk selanjutnya  dia akan menanggung resiko seluruh hasil-hasil  yang terwujud sebagai akibat dari keputusan-keputusannya tersebut. Apabila keputusan-keputusan itu menimpakan kerugian kepada  lembaga perseorangan tersebut,  kerugian-kerugian itu harus terefleksi kepada  pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu sendiri. Yaitu,  dengan  ditutupnya kerugian tersebut melalui pemotongan  modal pokok yang diinvestasikan, dan  khusus bagi  pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu, sebagai akibat dari tanggung jawabnya terhadap kondisi akhir yang dihadapi oleh lembaga yang di dalamnya dia berkuasa penuh  dalam pengambilan keputusan. Kadangkala, permasalahannya tidaklah berhenti sampai di situ saja, yakni kadang-kadang kerugian-kerugian itu melampaui modal pokok yang dikhususkan untuk investasi pada  lembaga tersebut,  bahkan menyedot keseluruhannya, sehingga di sana tidak ada lagi sisa-sisa harta yang cukup untuk menutupi hutang-hutang  lembaga yang secara lahiriyah dimiliki oleh individu tersebut. Dalam keadaan seperti ini, pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu harus bertangung jawab secara pribadi dan mutlak terhadap hasil-hasil  kegiatan  lembaganya, dan dia harus menutupi seluruh hutang-hutang yang berakibat pada  lembaganya itu dengan harta pribadinya, yang bisa jadi masih tersimpan atau diinvestasikan pada bidang yang lain.
     Dari yang telah kami sebutkan sebelumnya itu, kita bisa memperhatikan bahwa tidak ada perbedaan antara hak-hak serta kewajiban-kewajiban pribadi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban  lembaganya yang bersifat perseorangan itu. Keduanya adalah  pribadi yang satu, yakni diperbolehkan bagi pihak  ketiga untuk menuntut individu pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut secara pribadi, sebagai akibat atau hasil dari muamalatnya  dengan lembaga yang pada dasarnya kembali kepada individu tersebut. Demikian  juga, diperbolehkan bagi individu pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu sebagai, pihak pertama, untuk mengadakan tuntutan --dalam kapasitasnya sebagai pribadi-- tehadap pihak  ketiga, sebagai akibat  dari hubungannya dengan  lembaga, sebgai pihak  kedua, yang pada dasarnya kembali kepada pihak  pertama. Namun, sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya, di sana terdapat perbedaan dari sisi pencampuran harta, yakni tidak diperbolehkan mencampurkan pengeluaran-pengeluaran pribadi  pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut dengan pengeluaran-pengeluaran yang khusus bagi kegiatan investasi, pada lembaga-lembaga yang bersifat individual.
    Penerapan prinsip syakhshisyyah i`tibariyyah  terhadap lembaga individual di dalam permasalahan yang seperti  ini merupakan  sesuatu yang telah disepakati secara syar`i, dan tidak ada perselisihan di seputarnya di kalangan para ulama’, semenjak berdirinya negara Islam pada tahun 622 M. Dan undang-undang positip, dalam segala bentuknya, pada sistem-sistem yang tidak Islami dalam segala jenisnya, juga telah menempuh metoda ini. Hal ini  tampak jelas secara khusus semenjak dimulainya sistem usaha investasi, pada permulaan abad XVIII, yakni investasi-investasi pada saat itu  telah mengambil karakternya yang pribadi, sebelum munculnya revolusi industri.
     Kepemilikan individu itu mengikat  pribadi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut dengan lembaga atau kegiatan investasinya, maka  perkara syakhshiyyah i`tibariyyah  tidaklah berdiri sebagai  batas pemisah antara keduanya. Oleh karena itu, penghitungan apa-apa yang menjadi milik pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu pada  waktu tertentu, diakibatkan oleh  penerapan perimbangan akuntansi berikut ini:
Aset-aset – kewajiban-kewajiban = hak-hak pemilik kepemilikan lahiriyah                                                                                                                                                                                                                                                            .

         Dengan izin Allah Subhanahu Wa Ta`ala, kami akan membahas tentang perimbangan ini, pembentuk-pembentuk dan penerapan-penerapannya pada seri kedua Serial Referensi  Para Akuntan dan Auditor.

     Adapun jenis yang kedua dari jenis-jenis bentuk sistem  investasi tersebut adalah apa yang dikenal dengan istilah syarikat syakhshiyyah (syirkah-sysirkah  pribadi).  Namun, wajiblah dibedakan antara dua bagian utama dari syirkah-syirkah ini. Demikian  juga bahwa masing-masing dari kedua bagian ini memiliki syirkah-syirkah  yang berbeda-beda. Kedua bagian yang utama tersebut adalah syirkah-syirkah  sistem Islam dan syirkah-syirkah sistem non-Islam.
     Sebelumnya telah kita bicarakan tentang ruang lingkup  akuntansi pada pembahasan ketiga dari bab III. Yakni, dalam bab tersebut  telah kita kemukakan  penjelasan secara ringkas mengenai syirkah `uqud atau sebagaimana  juga dikenal dengan nama syirkah ikhtiyariyyah, untuk membedakannya syirkah ijbariyyah. Dan telah kami jelaskan pada saat itu bahwa syirkah-syirkah yang  dikenal di dalam sistem Islam tersebut adalah syirkah `inan, syirkah mufawadlah, 'syirkah wujuh, syirkah a`mal atau syirkah abdan, dan terakhir syirkah mudlarabah. Demikian pula telah kami isyaratkan pada saat itu mengenai adanya beberapa perbedaan  pendapat dalam hal fiqhnya,  yang  tentu saja tidak akan kita bahas pada kesempatan sekarang ini karena tidak termasuk dalam topik pembahasan kita saat ini.
     Sesungguhnya yang menjadi kepentingan kita dalam pembahasan sekarang ini adalah prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah ditinjau dari segi hubungannya dengan syirkah-syirkah sistem Islam, yaitu syirkah-syirkah yang tumbuh dan berjalan di bawah naungan negara Islam, dan tidak ada seorang pun yang menggugat akan kebolehan pendirian dan pembentukannya, walaupun ada juga yang mempermasalahkan sebagian dari sisi-sisinya yang lain, terutama  para pendiri syirkah tersebut. Di sini, dan sebagaimana halnya  lembaga-lembaga individual, harus dibedakan antara dua permasalahan yang utama, yang keduanya akan mempengaruhi dan terpengaruh dengan konsep syakhshiyyah i`tibariyyah ini. Kedua permasalahan tersebut adalah: Pertama, hal-hal yang khusus  berkaitan dengan harta-harta yang diinvestasikan, yaitu harta-harta syirkah  dan hubungannya dengan harta-harta pribadi para sekutu dalam syirkah tersebut. Kedua, hak-hak dan kewajiban-kewajiban para sekutu, ditinjau dari segi hubungan mereka dengan syirkah tersebut dan hasil  kegiatan-kegiatannya.
     Ditinjau dari segi harta-harta yang diinvestasikan, yaitu harta-harta syirkah  yang dijadikan saham oleh para pendiri syirkah, dan hubungannya dengan harta-harta pribadi milik para sekutu yang membentuk syirkah itu, maka  kita akan mendapatkan bahwa harta-harta itu –sebagaimana halnya  lembaga individual-- harus  tetap jauh dari jangkauan para sekutu  untuk tujuan-tujuan pribadi mereka. Pada syirkah `inan misalnya,  tidak diperkenankan bagi setiap sekutu untuk mencampurkan hartanya dengan harta syirkah dan juga dengan harta yang selainnya, karena hal itu akan mengandung pengharusan hak-hak pada harta tersebut. Ini  bukanlah termasuk  perdagangan yang diperbolehkan. Juga tidak diperkenankan bagi setiap sekutu untuk mengambil harta dengan  suftajah (bill of exchange) atau memberikan harta dengan suftajah, karena hal itu mengandung bahaya atau kemudlaratan yang dia tidak diizinkan;  tidak diperbolehkan baginya untuk meminta pinjaman terhadap harta syirkah; serta tidak diperkenankan baginya untuk menyatakan suatu pengakuan terhadap  harta syirkah. (Ibnu Qudamah, 1403 H./ 1983 M., juz  V, halaman 130--131)
     Apa yang kami sebutkan di sini mengenai permasalahan syirkah `inan  berlaku juga terhadap syirkah wujuh. Sebab, asas syirkah wujuh itu adalah "dua orang berserikat pada apa-apa yang mereka beli dengan modal kredibilitas pribadi mereka dan kepercayaan para pedagang terhadap mereka, tanpa harus  memiliki modal pokok sedikit pun….Imam Malik dan Imam Syafi`i berkata bahwa (dalam syirkah wujuh)  dipersyaratkan penyebutan syarat-syarat perwakilan, karena syarat-syarat perwakilan itu dipertimbangkan  dalam syirkah tersebut, seperti penentuan jenis, dan syarat-syarat perwakilan lainnya, … sedangkan syirkatul `inan  mengandung makna perwakilan …. Kedua sekutu (dalam syirkah wujuh), pada tindak-tanduk, hak-hak, kewajiban-kewajiban, persetujuan-persetujuan,  dan penolakan-penolakan keduanya, dan lain-lainnya,  setaraf dengan dua sekutu  pada syirkah  `inan…." (Ibid, halaman 122--123)
         Demikian  juga bahwa syirkah mudlarabah itu hukumnya seperti hukum syirkatul `inan dalam hal bahwa setiap yang diperkenankan bagi salah seorang di antara mereka untuk melakukannya, itu berarti  diperkenankan pula bagi pihak yang lainnya untuk melakukannya; dan apa-apa yang dilarang salah seorang dari mereka untuk melakukannya, itu berarti  dilarang pula bagi pihak yang lainnya untuk melakukannya. Apa-apa yang diperselisihkan pada syirkah `inan tersebut,  pada syirkah mudlarabah juga diperselisihkan;  dan apa-apa yang diperbolehkan untuk menjadi modal pokok syirkah tersebut, berarti diperkenankan pula untuk menjadi modal pokok syirkah mudlarabah; dan apa-apa yang tidak diperkenankan padanya, tidak diperkenankan pula di sini sebagaimana yang telah kami jelaskan." (Ibid, halaman 136)
     Adapun syirkah mufawadlah, yang menduduki tingkat pertama dalam menghadapi berbagai  macam perbedaan pendapat fiqhiyyah tentang  kebolehannya, maka sangat sulit  terjun ke dalam perdebatan-perdebatan fiqhiyyah untuk menguatkan salah satu pendapat dari pendapat yang lainnya, karena ini bukan  bidang spesialisasi kami. Akan tetapi karena dia memang telah ada, dan untuk tujuan-tujuan prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah, serta secara umum, maka “yang tampak dalam pandangan kami bahwa diperbolehkannya syirkah mufawadlah ini dengan pengertian  seperti yang dipahami oleh madzhab Maliki dan Hanbali adalah lebih kuat, dan bahwasanya tidak dipersyaratkan padanya kecuali seperti apa yang dipersyaratkan pada syirkah `inan", ('Ali Ahmad Al Qulaishi (A), 1414 H. / 1993 M., halaman 21). Dari sini dapatlah kami ambil suatu kesimpulan bahwa batasan-batasan yang kami kemukakan sebelumnya mengenai syirkah `inan  berlaku juga untuk syirkah mufawadlah ini.
     Adapun mengenai syirkah a`mal atau abdan --yang juga perselisihkan  dalam hal kebolehannya, di samping dalam hal hakikatnya ketika dibolehkan-- sesungguhnya  berkaitan dengan persoalan kegiatan itu sendiri, dan persoalan harta bukanlah asas atau dasarnya. Hal itu karena hakikatnya adalah pembagian hasil kegiatan, yakni “dua orang atau lebih bersekutu dalam apa yang mereka hasilkan dengan tangan-tangan mereka, seperti persekutuan para pengrajin untuk bekerja pada kerajinan mereka, atau mereka bersekutu dalam apa yang mereka hasilkan dari kegiatan-kegiatan yang diperbolehkan. Madzhab Hanafi mendefinisikannya dengan mengatakan,  persekutuan dua orang pengrajin yang  sama dalam keahliannya, atau mungkin saja berbeda, untuk mengerjakan suatu kegiatan pekerjaan, dan hasilnya dibagi di antara mereka.” (Ibid, halaman 24) Selanjutnya,  kita dapatkan bahwa di sana tidak ada  modal pokok yang tetap atau aktif, yakni kegiatannya itu terbatas pada pekerjaan saja, dan pembagian hasilnya berdasarkan apa yang telah disepakati. Maka di sini, sebagai suatu kaidah umum, tidak ada tempat bagi percampuran harta-harta pribadi tersebut dengan yang khusus untuk syirkah.
     Adapun permasalahan yang kedua berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para sekutu, dilihat dari segi hubungan mereka dengan syirkah dan hasil-hasil kegiatannya, yakni hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai suatu syakhshiyyah i`tibariyyah (entitas spiritual) dan  di bawah naungan syirkah-syirkah sistem Islam. Di sini kita dapatkan bahwa prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah ini tidak dapat diterapkan dan tidak bisa memisahkan syirkah itu dari para sekutunya, lain halnya pada saat bercampurnya harta-harta pribadi dengan harta-harta perusahaan seperti yang telah kita kemukakan  sebelumnya. Sesungguhnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban syirkah terhadap pihak lain sebenarnya  juga merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para sekutu terhadap pihak  lain. Demikian pula, kerugian syirkah itu  merupakan kerugian bagi para sekutu itu sendiri, dan keuntungan-keuntungannya  merupakan keuntungan bagi para sekutu itu sendiri. Hal itu  karena  wadl`iyyah wadl dlaman (jaminan) merupakan salah satu keharusan syirkah. Oleh karenanya, dikaitkanlah hal itu kepada para sekutu sebagaimana halnya keuntungan…." (Ibnu Qudamah, 1403 H. /  1983 M., juz V, halaman 128) Hal ini dapat diterapkan kepada seluruh -syirkah yang telah kami isyaratkan sebelumnya, yang berada di bawah naungan sistem Islam.
    

Dari sini, dapatlah kami simpulkan bahwa dalam hal  yang berkaitan dengan syirkah harta yang bebas (ikhtiyariyyah) yang berada di bawah naungan sistem Islam,  para sekutu itu bertanggung jawab terhadap  kewajiban-kewajiban perusahaan, pada kondisi ketidak-mampuannya, untuk menutupi hutang-hutangnya, sebagaimana  mereka itu berhak untuk memperhatikan piutang-piutang syirkah  pada pihak  lain. Keberadaan para sekutu di sini serupa dengan keberadaan seorang pedagang individual.
     Adapun di bawah naungan sistem-sistem  non Islami, kita dapatkan bahwa keadaan  syirkah yang seperti ini, yang dikenal dengan istilah syarikatul asykhash, secara umum mirip dengan apa yang berlaku di bawah naungan negara Islam sejak zaman Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Hanya saja ada beberapa pengecualian apabila akad syirkah di antara para sekutu itu ada pernyataan bahwa seseorang atau beberapa sekutu  tanggung jawabnya atau tanggung jawab mereka terbatas, sesuai dengan apa yang dia atau mereka serahkan  dari modal pokoknya. Apabila kesepakatan yang seperti ini terdapat secara jelas di dalam akad pendirian syirkah tersebut, hal itu akan diikuti dengan suatu ketentuan, yaitu  individu yang seperti ini, yang memiliki tanggung jawab  terbatas,  tidak berhak untuk mengatur syirkah dan tidak berhak untuk mengadakan akad atas nama syirkah.  Sekutu seperti ini dinamakan  sleeping partner atau passive partner.      
    Demikian  juga, sebagian fuqaha’  “memandang bahwa masalah ketidakmandirian jaminan keuangan  sekutu  pada syirkah yang berada dibawah naungan sistem Islam tidak lain hanyalah suatu bentuk sistem perundang-undangan yang dihasilkan melalui proses ijtihad. Oleh karena itu, dibenarkan untuk berubah sesuai dengan tuntutan-tuntutan muamalat dan perkembangannya, perubahan hukum-hukumnya, serta keaneka-ragamannya, selama hal itu  bisa mewujudkan kemaslahatan, dan tidak mengakibatkan  suatu bahaya atau kemudlaratan. Dari segi yang lain,  syari`at Islam tidaklah mengingkari akan hal itu, dan di dalam Al Qur’an dan As Sunnah tidak terdapat keterangan-keterangan yang melarang bahwa jaminan keuangan diwajibkan kepada  selain pribadi-pribadi alami , yakni ditetapkan untuk syirkah-syirkah dan lembaga-lembaga." (Husein Husein Syahatah, 1993 M., halaman 65). Pendapat ini, walaupun logis masih bersifat  umum serta  membutuhkan tambahan pembahasan dan penelitian. Namun perlu diingat,  permasalahan ini berkaitan dengan sisi-sisi syari`ah, bukan logika pemikiran. Dari itu semua, dapatlah kami ambil suatu kesimpulan bahwa pada hal-hal yang berkaitan dengan syirkah-syirkah, "apakah yang berbentuk mudlarabah atau amwal, terdapat kemungkinan untuk diterapkan kaidah pemisahan jaminan keuangan, dan bahwasanya syirkah itu memiliki syakhshiyyah i`tibariyyah (entitas spiritual) yang tersendiri, selama di dalam hukum-hukum syari`at tidak didapatkan keterangan yang mengingkari akan hal itu.  Berdasarkan itu semua,  sekutu itu  akan bertanggung jawab terhadap pihak  lain, sebatas modal  yang telah dia serahkan,  dengan syarat  hal itu tertera secara jelas pada akadnya, dan mungkin juga terdapat kesepakatan yang berbeda dengan   hal itu. Dalil bagi semua hal itu adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta`ala:
 "…kecuali melalui jalan perniagaan yang terjadi secara suka sama suka di antara kalian…" (An Nisa’:29)
Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam:
"Orang-orang beriman itu (diperlakukan) berdasarkan kesepakatan-kesepakatan  mereka, kecuali kesepakatan yang menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal. " (Ibid, halaman 66).
  
      Di sini kita dapatkan, referensi yang kami kemukakan tersebut mengisyaratkan bahwa syirkah itu, "apakah yang berbentuk mudlarabah atau amwal, terdapat kemungkinan untuk diterapkan kaidah pemisahan jaminan keuangan, dan bahwasanya syirkah itu  memiliki syakhshiyyah i`tibariyyah  tersendiri." Sesungguhnya kami mempunyai pandangan yang berbeda dengan apa yang terdapat di dalam referensi tersebut dalam hal syarikat asykhash (usaha-usaha pribadi). Adapun dalam hal syarikat amwal,  kami akan mengulasnya pada waktu mendatang. Penyebab dari perbedaan kami dengan apa yang terdapat di dalam referensi tersebut adalah syarikat asykhash itu  hanyalah berdiri  atas dasar hubungan pribadi dan kepercayaan individual. Sehingga, apabila syirkah ini menghasilkan keistimewaan-keistimewaan melalui hubungan-hubungan pribadi dan kepercayaan orang-orang yang berperan di dalamnya, maka tidak diperkenankan untuk melemparkan tangung jawab hubungan-hubungan pribadi dan kepercayaan individual tersebut kepada entitas spiritual. Berdasarkan hal itu, maka dapatlah kami simpulkan  bahwa prinsip entitas spiritual itu tidak boleh diterapkan terhadap syarikat asykhash pada sistem-sistem non Islam. Bahkan, para  sekutu itu senantiasa  bertanggung jawab terhadap hasil-hasil hubungan mereka yang didasarkan pada hubungan-hubungan pribadi dan kepercayaan individual. Hal itu  agar   tidak menimbulkan   suatu bahaya kepada pihak lain,  akibat dari hubungan para sekutu tersebut dengan pihak-pihak lain, yang didasarkan pada  hubungan-hubungan pribadi dan kepercayaan individual; serta agar tidak menyerahkan tanggung jawab kepada  entitas spiritual yang bisa jadi tidak  memungkinkan untuk memenuhi hak-hak pihak  lain. Pandangan kami ini merujuk kepada bahwa hubungan antara syirkah tersebut dengan para sekutu atau para pemiliknya adalah hubungan yang di dasarkan pada kepemilikan bersama. Maksudnya adalah ketiadaan kepemilikan bersama ini akan mengakibatkan  tidak adanya syirkah tersebut. Berdasarkan hal  itu,  sesungguhnya entitas spiritual itu tidak ada pada syarikat asykhash, karena manusialah yang mengatur hubungannya dengan Rabbnya, hubungannya dengan manusia lain, dan hubungan di antara sesama  mereka.  Oleh karena itu,  tanggung jawabnya terbatas pada diri manusia itu sendiri, dan diwajibkan atasnya, serta dilekatkan kepada dirinya, bukan kepada yang selainnya.
     Adapun jenis yang ketiga dari jenis-jenis bentuk sistem investasi adalah apa yang dikenal dengan istilah syirkah musahamah.  Syirkah musahamah ini tumbuh sebagai akibat dari kebutuhan terhadap modal   besar yang tidak dapat dipenuhi oleh para  sekutu yang jumlahnya terbatas itu. Syirkah musahamah  adalah suatu syirkah (perusahaan) yang biasanya para penyandang dananya adalah sekelompok manusia yang jumlahnya sangat besar, tidak saling mengenal di antara sesama mereka, dan yang menyatukan mereka adalah faktor keuntungan, bukan faktor kepercayaan. Bentuk perusahaan yang seperti ini belum pernah dikenal oleh negara Islam dahulu. Pertumbuhannya dalam bentuk yang kita kenal sekarang ini kembali kepada abad XIX, yakni perusahaan-perusahaan yang seperti ini tersebar luas di Inggris, dan pengaturannya  berdasarkan pada undang-undang perusahaan. Sebab yang mendorong sejumlah besar manusia tersebut untuk mendirikan atau menanam saham setelah mendirikan perusahan-perusahaan yang seperti ini, kembali kepada tanggung jawab yang terbatas bagi para penanam saham. Hanya saja, hal ini tidaklah berarti bahwa setiap syirkah musahamah itu dia mempunyai tanggung jawab yang terbatas, karena syirkah musahamah itu bisa kita bagi ke dalam dua bagian, yaitu: Pertama, syirkah  musahamah yang mempunyai tanggung jawab  tidak terbatas (unlimited company). Syirkah ini jumlahnya  sedikit dan terbatas ruang lingkupnya. Kedua, syirkah musahamah yang terbatas tanggung jawabnya (limited company). Syirkah ini tersebar secara luas. Demikian pula, syirkah  musahamah yang terbatas ini terbagi dua pula, yaitu: pertama, syirkah musahamah yang terbatas tanggung jawabnya secara umum; kedua,  syirkah musahamah yang terbatas tangung jawabnya secara khusus. Adapun syirkah musahamah  terbatas yang bersifat umum itu adalah suatu perusahan yang saham-sahamnya beredar secara umum dan bebas di pasar-pasar  khusus atau bursa saham.  Kebebasan peredaran saham-saham ini kadangkala, pada sebagian keadaan, terikat pada  apa yang tertera pada akte  pendirian perusahaan dan peraturan  pokoknya. Syirkah-syirkah musahamah terbatas yang bersifat umum ini, pada negeri-negeri yang berbahasa Inggris, kadangkala dikenal atau dinamakan dengan  Public Company atau Listed Company. Nama yang terakhir itu mengisyaratkan peredaran  saham-sahamnya di bursa saham. Adapun syirkah musahamah  terbatas yang bersifat khusus,  dalam seluruh sisi-sisinya  mirip syirkah musahamah terbatas yang bersifat umum, dengan pengecualian dalam jumlah anggotanya dan karakter kegiatannya. Hal itu  karena jumlah anggota syirkah musahamah  terbatas yang bersifat khusus itu sangat terbatas, dan berbeda antara  satu negara dan negara yang lainnya. Jumlah yang terbatas ini haruslah saling mengenal di antara sesama mereka.Tidak diperkenankan bagi syirkah musahamah  terbatas yang bersifat khusus ini untuk go public. Juga tidak diperkenankan,   menjual saham-sahamnya tanpa seizin atau persetujuan para pemegang saham yang lain  apabila salah seorang dari pemilik saham tersebut ingin  menjual saham-sahamnya, atau jika manajemen perusahaan itu berpikir untuk mengeluarkan  saham-saham baru. Demikian juga,  kegiatan syirkah  musahamah terbatas yang bersifat umum seperti ini hendaknya terbatas, yakni tidak diperkenankan baginya untuk melakukan suatu kegiatan-kegiatan tertentu yang membutuhkan investasi-investasi yang besar. Perusahaan-perusahaan yang seperti ini dikenal dengan  istilah Private Company atau Proprietory Company, yang kadangkala  setelah namanya ditandai dengan rumus Pty. Ltd.
     Di samping perbedaan-perbedaaan ini, sesungguhnya di sana ada perbedaan-perbedaan lainnya, yang terpenting di antaranya adalah adanya kebolehan undang-undang, sebagaimana halnya di Australia, bagi syirkah  musahamah terbatas yang bersifat khusus ini untuk meniadakan dari dirinya sebagian dari tuntutan-tuntutan perundang-undangan, seperti mengaudit perhitungan-perhitungannya, dengan syarat  peniadaan ini haruslah berdasarkan keputusan dari sekelompok umum para pemegang saham, dan  disebutkan   pada daftar keuangan. Begitu pula,  undang-undang membolehkan auditnya  dilakukan oleh para anggotanya, yang hal itu biasanya terlarang pada syirkah  musahamah terbatas yang bersifat umum, dengan syarat  hal itu harus  dipaparkan secara jelas pada daftar keuangan. Kami  akan membahas mengenai syirkah-syirkah  ini beserta dasar-dasar akuntansinya dengan rinci dan memadai, pada seri IV dari Serial Referensi Para Akuntan dan Auditor, dengan seizin Allah Subhanahu Wa Ta`ala. Adapun di sini,  kami rasa cukup sampai di sini saja pembahasan kita, sesuai dengan tujuan  pembahasan ini.Yakni, kami melihat bahwa apa yang telah kita kemukakan tersebut telah memenuhi  tujuannya.
     Telah kami sebutkan sebelumnya bahwa syirkah  musahamah tersebut tidaklah dikenal pada masa negara Islam dahulu, sehingga  pendirian atau kemunculannya itu telah menimbulkan perdebatan pada banyak kalangan.  Sebelum kami menunjukkan  perdebatan tersebut,  kami harus menyebutkan bahwa dzimmah (jaminan) itu adalah "suatu diskripsi  syar'i yang menjadikan  manusia pantas untuk  menerima  kewajiban dan haknya, apakah yang berbentuk ibadah maupun yang bukan ibadah. Dengan pengertian ini, maka tidaklah akan tergambarkan keberadaannya, kecuali pada diri  manusia yang hidup." (Ali Al Khafif, 1962 M., halaman 22--23). Berdasarkan pengertian dzimmah tersebut, sebagian kalangan memandang bahwa "walaupun para fuqaha’ kaum muslimin belum pernah mendefinisikan atau menjelaskan mengenai  istilah syakhshiyyah ma`nawiyyah atau i`tibariyyah,  sesungguhnya mereka telah menjelaskan  maknanya, tatkala mereka membahas tentang dzimmah,  menjelaskan tentang maknanya,  dan  menjadikannya berada pada diri seorang manusia yang hidup. Tetapi, mereka  kemudian terpaksa mengatakan adanya dzimmah bagi apa-apa yang tidak berakal seperti waqaf, masjid, baitul mal dan lain-lainnya, tatkala mereka mendapatkan bahwa banyak dari muamalat tidak  berjalan dengan baik, kecuali jika ada padanya suatu dzimmah  yang  terpisah." (Abdul Aziz Azzat Al-Khayyath, 1403 H. /1983 M., juz I, halaman 213).
    Adapun perdebatan yang kami isyaratkan di atas terfokus pada persoalan ada atau tidak adanya legitimasi tanggung jawab  terbatas bagi syirkah tersebut. “Sebab,  yang dinamakan syirkah, di dalam literatur kajian fiqh Islam, mempunyai  tanggung jawab yang tidak terbatas" (Lembaga Fatwa dan Pengkajian, 1406 H. / 1986 M., halaman 24). Namun, sebagian kalangan memandang bahwa diperbolehkan juga pendirian syirkah  musahamah yang memiliki tangung jawab yang terbatas. Pada kenyataannya,  kami belum mendapatkan referensi-referensi kajian fiqh yang memandang diperbolehkannya hal tersebut. Namun, salah seorang pakar fiqh dan hadits memandang bahwa " merupakan suatu ketentuan dan ketetapan syari`at bahwa pihak yang menuntut dan dituntut  bisa jadi bukanlah seorang manusia. Maksudnya adalah bisa jadi dia itu berupa suatu badan atau lembaga di dalam istilah kita sekarang ini. Bisa jadi, dia itu berupa baitul mal, atau badan wakaf, atau suatu institusi pendidikan, atau rumah sakit. Berdasarkan hal itu, kita mungkin pernah mendengar suatu riwayat yang menyatakan bahwa baitul mal itu adalah pewaris bagi orang-orang yang tidak mempunyai ahli waris.  Hal ini  berarti bahwa warisan tersebut merupakan suatu hak yang telah pasti baginya. Demikian juga  dikatakan bahwa baitul mal itu wajib memberi nafkah kepada orang-orang yang tidak mempunyai keluarga dari kalangan fakir miskin. Ini berarti bahwa hal itu merupakan suatu kewajiban yang harus diembannya. Oleh karena itu, diperbolehkan  memberikan wasiat kepada masjid-masjid dan yang selainnya dari yayasan atau lembaga-lembaga umum. Hal ini secara jelas bermakna terdapatnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban badan-badan atau  lembaga-lembaga tersebut. Dengan demikian, terdapat syakhshiyyah ma`nawiyyah yang telah dikenal oleh  fiqh Islam, walaupun dia belum mengenal  ungkapan  yang baru ini." (Muhammad Yusuf Musa, 1958 M., halaman 221).
    Berdasarkan gambaran ini, salah seorang penulis akuntansi pernah berkata bahwa "dimungkinkan untuk menerapkan kaidah pemisahan jaminan keuangan, dan bahwa  syirkah  itu memiliki syakhshiyyah i`tibariyyah tersendiri, selama di dalam syari`at tidak terdapat keterangan-keterangan yang mengingkari akan hal itu.  Berdasarkan hal itu, syarik  (sekutu/patner) itu  bertanggung jawab terhadap pihak  lain sebatas  modal  yang telah dia serahkan, dengan syarat bahwa hal itu  tertera secara jelas di dalam akad".  (Husein Husein Syahatah, 1993 M., halaman 66). Di sini, kita perhatikan bahwa pembicaran ini adalah mengenai 'syirkah-syirkah,  tetapi kata syrarik (sekutu/patner) yang kami ambil dan letakkan di atas itu berasal dari kata-kata Ustadz Dr. Husein Husein Syahatah. Dari situ, tampak bahwa keterangan itu menyatukan antara syirkah-syirkah  yang dikenal di dalam sistem Islam dan syirkah-syirkah yang dikenal dengan  istilah syirkah musahamah, selama akadnya menjelaskan bahwa tanggung jawabnya terbatas. Kecuali, jika pengarang tersebut tidak bermaksud demikian,  dan  dia mencantumkan kata syarik  di sini secara tidak sengaja, dan  mungkin saja yang dia maksudkan adalah musahim (pemilik saham). Demikian juga,  terdapat suatu pernyataan yang menunjukkan tentang bolehnya syakhshiyyah i`tibariyyah itu, yang selanjutnya tentang terpisahnya jaminan keuangan bagi syirkah  musahamah yang mempunyai tanggung jawab terbatas.   Pernyataan tersebut adalah: "Pada prinsipnya, fiqh Islam tidaklah menolak  pemikiran tentang adanya syakhshiyyah i`tibariyyah bagi badan-badan atau kegiatan-kegiatan yang independen, dan bersifat kontinyu, seperti syirkah-syirkah.” (Lembaga Fatwa dan Penelitian, 1406 H. /1986 M., halaman 31). Sebagian kalangan menegaskan  pandangan Lembaga Fatwa dan Penelitian tersebut, dan bahkan memperluasnya untuk mengatakan  bahwa "merupakan suatu kewajiban, sesuai dengan tuntutan-tuntutan kemaslahatan umum,  kita  memberikan kepada syirkah  tersebut syakhshiyyah i`tibariyah,  sesuai dengan  jenisnya,  sehingga  dia memiliki tanggung jawab tersendiri dan wujud tersendiri pula, dan juga  memiliki  nama, tempat dan kebangsaan. Hal itu berimplikasi  pada suatu tanggung jawab; dan di dalam syari`at, baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah, memang tidak ada keterangan yang melarangnya. Sementara itu, adat , kemaslahatan, dan keadaan  menuntut  keberadaannya, agar muamalah-muamalah manusia tersebut dapat  berjalan dengan baik." (Abdul Aziz Azzat Al Khayyath, 1403 H. / 1983 M., juz I,  halaman 221)
     Apabila kita bisa menerima --berdasarkan uraian tersebut di atas-- bolehnya pendirian syirkah-syirkah yang mempunyai tanggung jawab terbatas tersebut, baik yang bersifat umum maupun khusus, dan selanjutnya tentang  terpisahnya tanggung jawab keuangannya dari tanggung jawab para pendirinya, maka  menurut pandangan kami, haruslah ada keterangan yang tegas dan jelas mengenai keadaan tanggung jawab yang terbatas ini pada seluruh publikasi, korespondensi, dokumentasi, dan produk-produk perusahaan. Hal itu  karena setiap yang keluar atau muncul dari syirkah/perusahaan itu, baik yang berupa perkataan, atau perbuatan, atau produk-produk, kesemuanya itu harus mengisyaratkan bahwa  perusahaan ini mempunyai tanggung jawab yang terbatas, sehingga  orang-orang yang berhubungan dengan perusahaan tersebut dapat menyadari akan permasalahan ini, dan meletakkan hal itu di dalam perhitungan dan pertimbangan mereka, di saat mereka akan mengambil keputusan-keputusan apa saja yang berhubungan dengan muamalah mereka dengan perusahaan yang mempunyai tanggung jawab  terbatas ini.

     Pada tulisan-tulisan yang sebelumnya, kita telah membicarakan mengenai syirkah  musahamah yang mempunyai tnggung jawab terbatas, dan mengenai kebolehan penerapan prinsip syakhshyiyyah i`tibariyyah  terhadapnya. Dan kita pun telah menyimpulkan bahwa pandangan yang lebih kuat mengisyaratkan akan sesuainya atau dapat diterapkannya prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah ini terhadap syirkah  musahamah. Berdasarkan gambaran tersebut, maka  dua permasalahan yang berkaitan dengan keterpisahan  harta-harta yang diinvestasikan dari satu sisi, dan yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para penanam atau pemilik saham dari sisi yang lain,  lebih utama untuk dapat diterapkan daripada syirkah-syirkah  yang lain.
         Dari segi  harta-harta yang diinvestasikan pada syirkah  musahamah tersebut, baik yang bersifat umum maupun khusus, dan sebagai akibat dari ketidakterlibatan  para  pemilik saham di dalam  manajemen pada sebagian besar syirkah-syirkah, khususnya pada syirkah  musahamah yang bersifat umum, dan sekalipun  sebagian para  pemilik saham menjadi angota dewan manajemen perusahaan atau anggota eksekutif perusahaan, baik yang bersifat khusus maupun umum, maka  harta-harta syirkah musahamah tersebut harus selalu jauh dari jangkauan para  pemilik sahamnya, bagaimanapun  keadaannya. Yakni, tidak diperkenankan bagi setiap  pemilik saham,  bagaimanapun juga tingkat  kepemilikan sahamnya atau fungsi  manajerialnya pada syirkah musahamah tersebut,  mengambil manfaat dari harta-harta syirkah musahamah  itu untuk tujuan-tujuan khusus pribadinya.
     Adapun dalam hal yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para  pemilik saham tersebut, dilihat dari sisi hubungan mereka dengan syirkah  musahamah itu, baik  yang bersifat umum maupun khusus, dan hubungan mereka dengan hasil-hasil kegiatan syirkah, yakni  hak-hak dan kewajiban-kewajibannya  sebagai suatu syakhshiyyah i`tibariyyah (entitas spiritual), maka  kita dapati bahwa persoalannya di sini  lebih jelas darpada keadaan yang terdapat pada perusahaan-perusahaan individual dan perusahaan-perusahan  lainnya yang bukan syirkah  musahamah, yang telah kita perbincangkan sebelumnya. Sesungguhnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban syirkah  musahamah itu  selalu khusus dan tersendiri baginya, tidak sama dengan hak dan kewajiban  para  pemilik sahamnya. Dari segi hak-hak syirkah  musahamah tersebut, kita dapati bahwa perusahaan itulah yang menuntut akan hak-haknya melalui manajemennya, atau melalui orang-orang yang melakukan penyelesaian  di saat melakukan penyelesaian, yang hal  itu tidak ada hubungannya dengan para  pemilik saham. Lain halnya jika kita lihat pada perusahaan-perusahaan individu dan perusahaan-perusahaan yang bukan syirkah  musahamah. Sebagaimana juga bahwa kewajiban-kewajiban syirkah  musahamah tersebut terhadap pihak  lain  selalu menjadi tangung jawab syirkah  musahamah itu sendiri, bukan tanggung jawab para pemilik sahamnya. Para  pemilik saham tersebut tidaklah diminta untuk menutupi kewajiban-kewajiban perusahaan tempat  mereka menanam saham, kecuali sebatas modal yang masih masih  belum disetorkan. Adapun apabila  pemilik saham itu ternyata telah melunasi seluruh  modal  yang tercatat baginya, maka dia tidaklah bertanggung jawab sama sekali mengenai hutang-hutang perusahaan, bagaimanapun juga karakternya dan  bagaimanapun juga besarnya.
     Masih ada  persoalan lain yang menuntut  kejelasan, yaitu yang khusus berkaitan dengan keuntungan-keuntungan perusahaan yang telah terealisasikan. Sebagai akibat dari dapat diterapkannya prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah secara mutlak terhadap syirkah  musahamah, baik  yang bersifat khusus maupun umum, maka  keuntungan-kentungan yang telah dapat direalisasikan oleh perusahaan itu selama satu tahun keuangan, sebagaimana yang digambarkan oleh daftar keuangan pada akhir tahun keuangan, menjadi milik khusus syirkah  musahamah tersebut. Hal ini berarti bahwa tidak ada hak bagi para  pemilik sahamnya terhadap keuntungan-keuntungan yang telah terealisasikan itu, kecuali sebatas  yang telah ditetapkan oleh dewan manajemen syirkah  musahamah tersebut untuk dibagikan kepada para  pemilik sahamnya. Apabila dewan manajemen tidak menetapkan adanya pembagian  dari keuntungan-keuntungan yang terealisasikan tersebut, karena  adanya kebutuhan-kebutuhan perusahaan terhadap keuntungan-keuntungan itu, dan karena  keterkaitan keuntungan-kentungan itu dengan aset-aset yang tidak tunai, yang selanjutnya  menimbulkan adanya kesulitan atau kemustahilan untuk merubah aset-aset tersebut menjadi uang tunai, maka  para  pemilik saham tersebut tidak dapat  menuntut perusahaan agar membagikan  bagian tertentu dari keuntungan-keuntungan tersebut kepada mereka. Adapun jika dewan  manajemen telah menetapkan bagian  tertentu dari keuntungan-kentungan itu untuk dibagikan dan telah mengumumkan hal itu dengan sarana apa pun yang bisa dipercaya dan dipertanggungjawabkan, seperti melalui daftar keuangan, atau surat menyurat secara langsung kepada para  pemilik saham, maka para  pemilik saham   berhak untuk menuntutnya, dan  syirkah  musahamah tersebut mempunyai kewajiban terhadap para  pemilik sahamnya. Keuntungan-keuntungan yang telah diputuskan pembagiannya tersebut akan tampak pada sisi kewajiban-kewajiban perusahaan dalam  buku-buku catatan dan daftar-daftar keuangannya, sampai  selesai penyerahannya kepada para  pemilik sahamnya.
     Sampai di sini, selesailah ulasan kita   tentang tiga buah bentuk dari macam-macam bentuk sistem investasi, dan masih ada  jenis yang keempat dari padanya, yaitu khusus mengenai hibah-hibah, waqaf-waqaf dan yang untuk kemaslahatan-kemaslahatan umum, dan yang serupa dengannya yang bisa dikategorikan sebagai  bentuk yang keempat ini. Dan inilah satu-satunya bentuk dari bentuk-bentuk sistem investasi yang padanya terdapat Ijma` 'Am (kesepakatan menyeluruh), dari sisi tinjauan fiqh, mengenai dapat diterapkannya prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah  terhadapnya. Hal itu mencakup masjid-masjid, waqaf-waqaf sosial, lembaga-lembaga pendidikan, dan lain-lainnya yang hukumnya dikategorikan dalam ruang lingkup hal-hal tersebut, seperti perkumpulan-perkumpulan, yayasan-yayasan / lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi lainnya yang mencari keuntungan dalam menginvestasikan harta-hartanya. (Muhammad Kamal `Athiyyah, 1409 H / 1989 M., halaman 98; dan  Husein Husein Syahaatah, 1993 M., halaman 66).
     Setelah kita mengulas tentang  keempat bentuk sistem  investasi tersebut, dalam hal yang berkaitan dengan konsep syakhshiyyah i`tibariyyah, maka sekarang kita harus membahas tentang  apa yang dimaksud dengan syakhshiyyah qanuniyyah dan wihdah muhasabiyyah yang kadangkala dinamakan dengan nama syakhshiyyah muhasabiyyah --kami memandang bahwa yang lebih utama adalah penggunaan istilah wihdah muhasabiyyah-- agar  tidak rancu bagi para pembaca, konsep keduanya dan hubungan keduanya dengan syakhshiyyah i`ibariyyah, setiap kali mereka menemukan istilah-istilah ini.

Syakhshiyyah Qanuniyyah        
    Syakhshiyyah Qanuniyyah (legal entity) itu adalah suatu  ungkapan mengenai   entitas yang terpisah, yang memungkinkannya untuk menuntut pihak  lain secara langsung dalam sifatnya sebagai suatu pribadi, sebagaimana dimungkinkan pula bagi pihak lain  untuk menuntutnya secara langsung pula, dalam sifatnya sebagai suatu pribadi. Apabila kita perhatikan keempat bentuk sistem investasi terdahulu, untuk mengetahui sejauh mana kesesuaian syakhshiyyah qanuniyyah tersebut terhadap setiap sistem tersebut  berdasarkan definisi  yang telah kami sebutkan sebelumnya, maka kita dapati beberapa perbedaan yang mendasar di antara bentuk-bentuk sistem tersebut.
    Dengan memperhatikan muassasat fardiyyah (sole proprietorship/ lembaga-lembaga individual), telah kami katakan sebelumnya bahwasanya tidak ada perbedaan apa pun antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban pribadi pemilik perusahaan  dari satu sisi, dan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perusahaan itu sendiri dari sisi yang lainnya. Yakni, kedua pihak  membentuk satu pribadi atau satu badan  dilihat dari segi hak dan kewajibannya. Sebab, jika harta perusahaan itu tidak mencukupi untuk menutupi hak-hak pihak lain, maka dimungkinkan bagi pihak yang lain itu untuk menuntut haknya kepada pemilik perusahaan, yang hal itu pada dasarnya  merupakan kewajiban-kewajiban perusahaan. Demikian juga,  apabila pemilik perusahaan secara lahiriyah tersebut ternyata tidak sanggup menutupi hutang-hutang pribadinya, maka dimungkinkan bagi pihak pengadilan untuk menghentikan kegiatan lembaga investasinya, guna menutupi hak-hak pihak lain. Sebaliknya, apabila ada   piutang  perusahaan pada pihak lain, dan pihak  itu tidak melunasi hutang-hutangnya yang telah jatuh tempo itu kepada perusahaan tersebut, maka pemilik perusahaan tersebut, dalam sifatnya sebagai pribadi, berhak menuntut pihak  tersebut agar menunaikan apa yang menjadi tangung jawabnya terhadap perusahaan.   
    Apabila kita perhatikan, sekarang, apa-apa yang telah kami jelaskan pada bagian terdahulu,  akan kita dapatkan bahwa syakhshiyyah qanuniyyah  perusahaan yang bersifat individu ini larut atau menyatu dengan pemiliknya, dan tidak terpisah dengannya. Demikian pula, syakhshiyyah qanuniyyah pemilik perusahaan individual tersebut  mencakup  perusahaannya dan tidak terpisah darinya. Ketercakupan  perusahaan individual dan pemiliknya tersebut hanyalah terbatas pada  lingkup hak dan kewajiban masing-masing. Berdasarkan hal  tersebut, maka bagi  perusahan-perusahaan yang bersifat individual tersebut hanya terdapat satu syakhshiyyah qanuniyyah saja, yakni  lembaga individu dan pemiliknya secara lahiriyah tersebut, keduanya mewakili  satu badan ditinjau dari segi undang-undang. Keduanya tidak  mungkin  dipisahkan untuk  mendapatkan  hak-hak dan menunaikan kewajiban-kewajiban.
    Adapun pada bentuk yang kedua dari bentuk-bentuk sistem investasi, yaitu syirkah asykhash   yang dikenal oleh sistem Islam –yaitu syirkah `inan, syirkah mufawadlah, syirkah wujuh, syirkah abdan atau a`mal, dan terakhir syirkah mudlarabah, dan yang serupa dengannya yang terdapat di dalam sistem non Islam, yang dikenal dengan nama syirkah tadlamun--  maka permasalahan ini menurut pandangan kami serupa dengan apa yang terdapat pada lembaga-lembaga individual. Sebab, syirkah-syirkah ini (partnership) berdiri atas dasar perkenalan  pribadi, dan inti hubungan di antara para sekutu adalah adannya saling kepercayaan. Yakni, setiap individu dari pihak-pihak yang berada di dalam syirkah investasi ini sudah barang tentu   tidak akan mau menanggung resiko kerugian harta atau usaha, kecuali jika didasarkan pada kepercayaan terhadap  kebenaran tindak-tanduk pihak-pihak  syirkah yang lain. Karena aktivitas atau kegiatan pada syirkah asykhash di sini berdiri atas dasar tindak-tanduk pribadi,  para investor dan orang-orang yang mengatur  lembaga mereka tersebut, apakah secara bersama-sama ataukah secara individu, wajib  bertanggung jawab secara bersama-sama terhadap  hak-hak dan kewajiban-kewajiban  lembaga mereka itu. Berdasarkan itu semua, dapatlah kita simpulkan suatu pernyataan bahwa para pemilik lembaga dan lembaga mereka,  pada syirkah asykhash,  membentuk satu syakhshiyyah qanuniyyah, dan  tidak diperkenankan memisahkan antara keduanya.
     Akan tetapi, di sana terdapat satu kondisi yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguh, yaitu   apabila salah seorang di antara para sekutu tersebut ada yang memberikan saham hanya  modalnya  saja, tanpa ikut serta dalam manajemennya, dan akad syirkah tersebut telah menetapkan bahwa individu yang seperti ini tanggung jawabnya  hanya sebatas apa telah dia serahkan dari modal pokoknya. Pada  kondisi yang seperti ini, maka individu atau pribadi yang seperti ini tidaklah dianggap bertanggung jawab terhadap  kewajiban-kewajiban perusahaan, kecuali sebatas  apa yang telah dia sahamkan dari modal pokoknya. Namun, pada keadaan seperti ini, dipersyaratkan harus ada  keterbukaan  mengenai batasan-batasan tangung jawab ini di dalam publikasi, korespondensi, dan dokumentasi  perusahaan.  Ini di samping pentingnya keterbukaan mengenai karakter tanggung jawab atas nama perusahaan atau lembaga tersebut. Penyebab dari pentingnya keterbukaan itu adalah memberikan terlebih dahulu kepada pihak  lain  bentuk tanggung jawab yang dipikul oleh para penyandang dana lembaga tersebut. Sesungguhnya keterbukaan  yang menyeluruh ini akan mendorong pihak lain untuk berkerja sama dengan lembaga ini,  sementara dia telah mengetahui  tanggung jawab lembaga dan tanggung jawab para pemilik lembaga tersebut didalamnya. Selanjutnya, dia akan mengetahui terlebih dahulu antisipasinya,  di saat terjadi hal-hal yang tidak diharapkan.
    Pandangan kami yang terdapat pada paragraf sebelumnya, tampak berbeda dengan apa yang terdapat di dalam  keterangan yang menyatakan bahwa syirkah-syirkah syakhshiyah adalah "akad-akad yang akan menumbuhkan aktivitas-aktivitas atau kegiatan-kegiatan investasi yang terus menerus atau hampir terus menerus, yang  di dalamnya beberapa pihak saling bersekutu di dalam modalnya. Akad-akad  tersebut  mendirikan suatu kegiatan  perdagangan yang mempunyai syakhshiyyah i`tibariyyah  dan tanggung jawab yang tidak terbatas". (Lembaga Fatwa dan Pengkajian, Jumadil Ula 1406 H. / Januari 1986 M. , halaman 9). Sesungguhnya sebab dari perbedaan itu terletak pada bahwa keterangan dari Lembaga Fatwa dan Pengkajian tersebut menjelaskan bahwa di sana terdapat syakhshiyyah i`tibariyyah, dan pada saat itu juga syakhshiyyah i`tibariyyah  ini menghadapi tanggung jawab yang tidak terbatas. Sesungguhnya,  tidak mungkin tergambarkan adanya syakhshiyyah i`tibariyyah yang tidak terpisah dari para penyandang dananya, secara undang-undang. Sebab, fungsi syakhshiyyah i`tibariyyah adalah menuntut terhadap lembaga atau perusahaan, dalam sifatnya sebagai suatu pribadi, agar supaya terpisah dari para pemilik lahiriyahnya. Di samping  itu, sesungguhnya tidak diperkenankan bagi para pemilik lahiriyah lembaga atau perusahaan tersebut  menuntut pihak  lain dalam sifatnya sebagai pribadi. Sebagai tambahan dari itu semua, para pemilik  lembaga atau perusahaan tersebut tidak memiliki kekuasaan  terhadap modal pokok lembaga atau perusahaan tersebut,  mereka tidak dapat  mengambil darinya  untuk penarikan-penarikan  pribadi, dan mereka tidak dapat melakukan suatu tindakan terhadap modal pokoknya secara pribadi.
    Berdasarkan sebab-sebab ini, maka  tidaklah mungkin  tanggung jawab para pemilik lahiriyah tersebut tidak terbatas. Hal itu dikarenakan bahwa tanggung jawab itu haruslah setara dengan hak-hak yang diberikan, sebagai imbalan atas tanggung jawab itu. Demikian juga,  tanggung jawab itu haruslah diikuti oleh adanya suatu kekuasaan. Karena kekuasaan individu bagi para pemilik lahiriyah tersebut tidak ada di dalam syirkah-syirkah i`tibariyyah, maka  hak-hak individu itu juga  tidak ada, sebagai akibat dari tidak adanya kekuasaan untuk menghasilkan hak-hak tersebut. Selama keduanya itu tidak ada, maka di sana tidaklah diperkenankan adanya  kewajiban yang tidak terbatas.
     Sesungguhnya kewajiban-kewajiban itu, baik yang bersifat individu maupun kolektif, haruslah diiringi dengan hak-hak yang disepakati. Di atas itu semua, tanggung jawab itu haruslah sebanding  dengan hak-haknya. Sebagai kaidah yang umum, harus tidak ada pemaksaan  kewajiban tanpa diiringi dengan hak yang sebanding dengannya, apakah hal itu dalam bentuk keuangan, atau adab, atau yang serupa dengan itu. Hanya saja, pandangan kami yang berbeda dengan pandangan yang kami isyaratkan pada paragraf  sebelumnya  tidaklah mutlak, akan tetapi terbatas. Sebab dari pembatasan kami terhadap pemikiran kami itu adalah  mungkin saja terdapat syakhshiyyah i`tibariyyah  yang terpisah dari para pemilik lahiriyah tersebut disertai  tidak terbatasnya tanggung jawab para pemilik lahiriyah itu, apabila terwujud  beberapa persyaratan tertentu, yang di antaranya adalah:
Pertama,  apabila karakter  kegiatan syakhshiyyah i`tibariyyah  itu menuntut tanggung jawab yang seperti itu.
Kedua,  hendaknya terdapat kemaslahatan umum karena tidak adanya pembatasan tangung jawab itu.
Ketiga, hendaknya ketiadaan pembatasan tanggung jawab itu bukannya bersifat mutlak tanpa adanya batasan,  tetapi harus tertentu dan teratur.
Keempat, haruslah ada  pengetahuan terlebih dahulu,  yang tegas dan jelas pada diri orang-orang yang ingin  menanamkan sahamnya pada proyek-proyek seperti ini, mengenai tanggung jawab yang tidak terbatas bagi syakhshiyyah i`tibariyyah  tersebut.
Apabila persyaratan-persyaratan tersebut dapat diterapkan, kami memandang tidak ada halangan bagi tidak adanya pembatasan tanggung jawab tersebut.
     Di seputar bentuk sistem investasi  yang ketiga, yang dikenal dengan istilah syirkah  musahamah,  sesungguhnya topik ini tampak lebih jelas bagi kita, dan undang-undang positip pun  telah menetapkan  permasalahan ini. Hal itu karena syirkah musahamah  dianggap telah mempunyai syakhshiyah i`tibariyyah yang terpisah dari para pemiliknya. Dengan demikian, syirkah tersebut  telah mempunyai syakhshiyyah qanuniyyah  yang terpisah pula dari pribadi-pribadi para pemilik syirkah tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka  syirkah  musahamah, baik yang umum (public company) maupun yang khusus  (private or  proprietory company),  benar-benar mempunyai syakhshiyyah qanuniyyah yang terpisah  dari pribadi-pribadi yang memegang saham-saham modalnya. Sebagai akibat dari bentuk syirkah ini, maka syakhshiyyah qanuniyyah yang terpisah milik syirkah itu  membolehkan kepada pihak lainnya, dan ini mencakup juga para  pemilik sahamnya, untuk menuntutnya. Demikian juga, diperkenankan  bagi syirkah itu untuk menuntut mereka, tanpa  mempengaruhi kondisi hukum  pihak-pihak  lain yang mempunyai hubungan perjanjian atau bukan perjanjian dengan syirkah.
     Adapun bentuk yang keempat dari bentuk-bentuk sistem investasi itu, seperti waqaf-waqaf, lembaga-lembaga pendidikan dan yang serupa dengan itu, baik yang bertujuan mencari keuntungan maupun tidak,  hal itu termasuk syakhshiyyah qanuniyyah yang terpisah, sebagai akibat dari pandangan yang sebelumnya, yakni  berdasarkan fiqh, bahwasanya bentuk ini mempunyai syakhshiyyah i`tibariyyah, terpisah dari para pendirinya. Bentuk ini termasuk lebih jelas dilihat dari segi penerapan konsep syakhshiyyah qanuniyyah.


Wahdah Muhasabiyyah 
   Sekarang mari kita bicarakan tentang wahdah muhasabiyyah (kesatuan akuntansi). Sebagaimana yang telah kita temukan di saat  membahas tentang  konsep syakhshiyyah i`tibariyyah, kemudian syakhshiyyah qanuniyyah, bahwa ternyata di sana ada interferensi di antara konsep-konsep ini, maka pembahasan  tentang wahdah muhasabiyyah ini juga tidak terlepas dari interferensi tersebut. Kalau  kita  perhatikan, banyak kalangan yang mempergunakan istilah syakhshiyyah muhasabiyyah, namun yang mereka maksudkan adalah wahdah muhasabiyyah (kesatuan akuntansi). Sesungguhnya kami memandang bahwa istilah syakhshiyyah muhasabiyyah itu tidaklah tepat, karena istilah itu mengandung beberapa kerancuan yang di antaranya kadang-kadang berkaitan dengan penafsirannya, ini dari satu sisi, dan dari sisi yang lain hubungannya dengan tempat-tempat yang lainnya. Berdasarkan gambaran tersebut, maka  kami lebih menyukai penggunaan istilah wahdah muhasabiyyah sebagaimana yang akan kami terangkan di sini.
     Sesungguhnya konsep mengenai wahdah muhasabiyyah  itu adalah kerangka dasar  yang menentukan ruang lingkup kegiatan akuntansi, ditinjau dari sisi apa yang harus dimuat oleh buku-buku akuntansi, dan apa yang harus diangkat oleh laporan  keuangan, baik berbentuk data keuangan yang sudah dikenal, ataupun yang lain. Oleh karena itu,  permasalahan yang harus dikaji untuk menentukan wahdah muhasabiyyah  itu adalah masalah kebutuhan terhadap informasi keuangan. Selama telah tertentu kebutuhan tersebut, akan menjadi mudahlah penentuan kerangka dasarnya. Kebutuhan terhadap informasi keuangan itulah yang akan terealisir pada akhirnya, yang diungkapkan dalam laporan keuangan. Berdasarkan gambaran tersebut, maka apabila wahdah muhasabiyyah itu telah tertentu ruang lingkupnya, maka ruang lingkup tersebut tersebut akan ditetapkan oleh kebutuhannya. Dari gambaran yang sebelumnya itu, maka wahdah muhasabiyyah  itu akan menjadi tertentu sebagai akibat dari kebutuhannya. Kebutuhan ini terbagi dua, yaitu  yang mempunyai karakter  umum, dan yang mempunyai karakter khusus. Di samping itu semua,  adalah suatu hal yang  mungkin bahwa di sana terdapat wahdah muhasabiyyah yang lebih dari satu bagi suatu perusahaan itu sendiri, di samping juga merupakan sesuatu yang mungkin adanya satu wahdah muhasabiyyah saja bagi beberapa macam perusahaan. Kami akan menjelaskan permasalahan ini secara ringkas pada lembaran-lembaran mendatang.
     Kita akan memulai pembicaran mengenai wahdah muhasabiyyah ini pada perusahaan-perusahaan, baik yang mempunyai karakter individual, atau yang bukan individual seperti syirkah-syirkah yang ada di dalam sistem Islam, syirkah-syirkah yang ada di dalam sistem non-Islam, dan  syirkah  musahamah dalam segala bentuknya, atau  yang berkaitan dengan dengan hibah-hibah, waqaf-waqaf, dan  kemaslahatan umum. Berkaitan dengan perusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga yang seperti ini, apakah yang bersifat mencari keuntungan maupun  tidak, maka kita dapati  bahwa setiap perusahaan, atau lembaga, atau syirkah, atau kemaslahatan, atau masjid,  pada dasarnya merupakan suatu wahdah muhasabiyyah yang sempurna dan integral. Adapun yang dimaksud dengan kesempurnaan dan keintegralan wahdah muhasabiyyah bagi setiap perusahaan dan lembaga yang telah kami sebutkan  itu adalah adanya keharusan memegang buku-buku akuntansi khusus bagi setiap perusahaan atau lembaga secara tersendiri, dan buku-buku akuntansi ini mencerminkan  hasil dari kegiatan wahdah muhasabiyyah  itu selama periode waktu tertentu, serta posisi keuangan  bagi wahdah muhasabiyyah itu sendiri pada akhir periode. Dalam  keadaan demikian, maka  masjid, atau organisasi sosial, lembaga pribadi, atau syirkah tadlamuniyyah', atau syirkah  musahamah, atau kemaslahatan pemerintahan, kesemuanya itu dikategorikan sebagai suatu wahdah muhasabiyyah yang berdiri sendiri. Kadangkala, dia pun dinyatakan mempunyai sifat  sempurna dan integral,  karena  seluruh transaksi yang khusus tentang wahdah muhasabiyyah ini telah dicakup oleh buku-buku wahdah muhasabiyyah. Demikian juga buku-buku wahdah muhasabiyyah ini dinyatakan integral  karena  mengungkapkan tentang seluruh perusahaan, atau lembaga, atau syirkah, atau kemaslahatan, atau waqaf. Kesempurnaan dan keintegralan ini,  harus sejalan, karena  pada akhirnya, keduanya akan mengungkapkan tentang  kegiatan dan posisi wahdah  itu dengan cara yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperkirakan dari  penggunaan informasi keuangan yang dihasilkan oleh wahdah muhasabiyyah, yang sebelumnya telah ditentukan kerangka dasarnya, untuk dapat memenuhi  tujuan ini, yaitu memenuhi  kebutuhan tertentu. Sampai sekarang, kalau kita perhatikan bahwa kebutuhan yang teralisir itu adalah yang mempunyai karakter umum, bukan yang khusus. Hal ini adalah yang telah kami isyaratkan sebelumnya dengan  informasi keuangan yang mempunyai tujuan umum, yaitu  ketika membahas tentang para pengguna informasi  keuangan, pada pembahasan kedua dari bab IV.
     Di samping kebutuhan yang mempunyai karakter umum ini, seringkali  timbul kebutuhan terhadap informasi keuangan yang  bersifat khusus. Sesungguhnya kebutuhan terhadap informasi  yang bersifat khusus itu akan mengantarkan kepada penentuan kerangka dasar  lain yang khusus, yang akan terlaksana dengan adanya penentuan dan pendefinisian  mengenai wahdah muhasabiyyah. Informasi khusus ini kadang-kadang  berimplikasi pada  penyempitan atau perluasan ruang lingkup  wahdah muhasabiyyah berdasarkan  kebutuhan  terhadap informasi keuangan. Ruang lingkup wahdah muhasabiyyah akan menjadi sempit apabila kebutuhan terhadap informasi  itu  terbatas pada ruang lingkup yang lebih kecil dari keadaan yang sesungguhnya dari ruang lingkup wahdah muhasabiyyah yang berdiri sendiri, bersifat sempurna dan integral, dan  mewakili syakhshiyyah i`tibariyyah  yang berdiri sendiri. Misalnya, adalah apabila wahdah muhasabiyyah itu  menjadi suatu bagian saja dari syakhshiyyah i`tibariyyah. Ruang lingkup wahdah muhasabiyyah ini akan menjadi luas apabila kebutuhan terhadap informasi  keuangan itu melampaui ruang lingkup wahdah muhasabiyyah yang berdiri sendiri itu, bersifat sempurna dan integral,  dan  mewakili syakhshiyyah i`tibariyyah  yang berdiri sendiri, misalnya adalah apabila wahdah muhasabiyyah dalam keadaan ini menjadi beberapa syirkah
    Dari pembahasan yang telah lalu, dapatlah kita lihat bahwa wahdah muhasabiyyah itu kadangkala bisa menjadi syakhshiyyah i`tibariyyah  secara keseluruhannya. Ini khusus terhadap informasi keuangan yang bertujuan umum.  Hasil dari wahdah muhasabiyyah ini menjadi laporan  keuangan yang  sempurna dan integral, yang  mencerminkan hasil  kegiatan selama periode waktu tertentu, dan posisi keuangan pada akhir periode waktu itu. Laporan keuangan ini tergambar di dalam perhitungan laba rugi yang menggambarkan  hasil  kegiatan selama periode waktu tertentu yang biasanya satu tahun keuangan. Demikian juga, tergambar di dalam neraca umum, atau sebagaimana juga dinamakan dengan Qa’imatul Markazil Mali (daftar posisi keuangan) yang akan mencerminkan kondisi keuangan  wahdah muhasabiyyah pada saat tertentu, yaitu pada akhir periode yang dicerminkan dalam perhitungan laba rugi.
    Wahdah muhasabiyyah ini kadangkala juga bisa menjadi bagian tertentu atau bagian-bagian tertentu dari syakhshiyyah i`tibariyyah, dan ini khusus terhadap informasi  keuangan yang bertujuan khusus. Di sini kita akan mendapatkan bahwa informasi keuangan yang  khusus bagi wahdah muhasabiyyah yang parsial ini tidak bersifat  sempurna dan integral, karena hanya mengungkapkan sebagian atau beberapa bagian saja dari syakhshiyyah i`tibariyyah yang sempurna dan integralitu. Pada keadaan yang seperti ini, kadangkala wahdah muhasabiyyah itu merupakan manajemen produksi atau manajemen penjualan, atau manajemen penggudangan. Bahkan, wahdah muhasabiyyah ini kadangkala sedikit demi sedikit menjadi sempit. Misalnya,  yang tadinya adalah manajemen produksi secara keseluruhannya, lalu mulai  dibatasi   menjadi manajemen bagi produksi tertentu saja dari hasil-hasil produksi keseluruhannya. Informasi keuangan yang seperti ini memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, namun mempunyai signifikansi yang besar  untuk pengambilan keputusan-keputusan manajemen. Biaya ini dibenarkan oleh  kebutuhan manajemen  dalam membuat   kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada informasi keuangan yang rinci dan detail tersebut. Seringkali,  laporan  yang rinci ini  selalu bersifat intern dan rahasia, dan  tidak diperkenankan bagi pihak lain yang berada di luar syakhshiyyah i`tibariyyah tersebut untuk mendapatkannya. Akan tetapi, kerahasiaan ini kadangkala luntur sedikit demi sedikit apabila informasi  keuangan ini  diminta oleh pihak pemerintah atau pribadi-pribadi tertentu, apakah mereka itu dari kalangan biasa, ataukah orang-orang yang memang berpengaruh, yang mempunyai signifikansi  khusus dan pengaruh yang besar terhadap syakhshiyyah i`tibariyyah.
    Di samping kedua jenis wahdah muhasabiyyah yang telah lalu,  masih ada lagi jenis yang ketiga, yang mempunyai sifat khusus dan umum secara bersamaan. Juga  mempunyai sifat kesempurnaan, tetapi tidak objektif. Wahdah muhasabiyyah inilah yang digambarkan dengan masuknya sejumlah syakhshiyyah i`tibariyyah dalam ruang lingkupnya. Sebagai contoh, ada lima buah syirkah atau perusahaan yang bergerak dalam bidang-bidang yang berbeda-beda, atau bidang-bidang yang integral , yang keseluruhannya didanai oleh satu syirkah atau perusahaan, atau  bagian yang tidak bisa diremehkan dari modal  perusahaan-perusahaan individu ini berasal dari satu perusahaan. Pada keadaan yang seperti ini, dan pada keadaan-keadaan yang serupa dengannya, maka perusahaan yang memegang atau menguasai modal perusahaan-perusahaan tersebutlah yang akan menyiapkan qowa’im maliyyah (daftar keuangan / neraca umum) yang terpadu bagi seluruh perusahaan-perusahan itu, termasuk di dalamnya perusahaan pemegang modal tersebut, atau yang kadangkala dinamakan sebagai perusahaan induk. Pada kondisi yang seperti ini, kita dapatkan bahwa wahdah muhasabiyyah itu, dalam rangka menutupi kebutuhan perusahaan induk tersebut terhadap keuangan yang bersifat khusus,  mengungkapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya kepada perusaaan-perusahaan tersebut. Apabila kita perhatikan dari segi bentuk lahirnya,  akan kita dapatkan bahwa wahdah muhasabiyyah ini lebih  sempurna dan integral daripada wahdah muhasabiyyah yang khusus bagi satu syakhshiyyah i`tibariyah.  Pada hakikatnya, permasalahannya tidaklah demikian.  Sebab, laporan  keuangan  wahdah muhasabiyyah ini, yang mencerminkan  seluruh syakhshiyyah i`tibariyyah  yang terdapat di dalam ruang lingkupnya,  hanyalah laporan kumpulan yang bersandar kepada laporan pribadi  tiap-tiap syakhshiyah i`tibariyyah. Laporan  keuangan  wahdah muhasabiyyah yang seperti ini, yang mencakup  beberapa syakhshiyyah i`tibariyyah, memberi manfaat di dalam pembuatan  kebijakan-kebijakan yang umum dan dapat mengeluarkan  perkiraaan-perkiraan keuangan yang umum pula, namun  tidak mungkin  dihilangkan,  bahkan dipisahkan dari manfaat-manfaat dan pentingnya wahdah muhasabiyyah yang tergambarkan pada satu syakhshiyyah i`tibariyyah.

Pembahasan Ketiga
Prinsip Ketiga
Istimrariyyah

     Prinsip Istimrariyyah (kontinuitas)  dapatlah kita definisikan, yaitu prinsip  yang  keberadaannya dapat memberikan pandangan bahwa  perusahaan itu  akan  terus menjalankan kegiatannya sampai waktu yang tidak diketahui, dan likuidasinya merupakan masalah pengecualian, kecuali jika terdapat indikasi yang mengarah kepada kebalikannya.
    Berdasarkan pendefinisian kita terhadap prinsip istimrariyyah (kontinuitas) itu, maka dapatlah kita simpulkan beberapa hal berikut ini:
1. Umur perusahaan tersebut tidaklah tergantung pada umur para pemiliknya, yakni para pemiliknya itu tentu akan berjalan menuju ketiadaan. Ketiadaan mereka itu tidaklah  menghentikan kehidupan di muka bumi ini, bahkan kehidupan ini akan terus berjalan, dengan atau tanpa adanya mereka.
2. Prinsip kontinuitas itu merupakan bagian dari fitrah manusia yang Allah Subhanahu Wa Ta`ala ciptakan  manusia  atas dasar fitrah tersebut. Yakni, manusia itu akan selalu beramal dan berkerja keras, padahal dia mengetahui bahwa dia itu akan tiada suatu saat nanti, dan  dia akan menjumpai Rabbnya, cepat ataupun lambat. Akan tetapi,  itu semua tidak menghalanginya untuk  terus berusaha guna memenuhi apa yang dia butuhkan untuk hari esok dalam kehidupannya, dan juga masa depan  orang-orang yang menjadi tanggungannya,  sepeninggalnya.
3. Prinsip kontinuitas itu, dalam kaitannya dengan usaha investasi, merupakan suatu kaidah yang umum. Sedangkan likuidasi adalah suatu pengecualian. Pengecualian ini haruslah diiringi oleh petunjuk-petunjuk yang menginformasikan akan hal itu. Biasanya, ada periode waktu tertentu antara awal munculnya petunjuk-petunjuk itu, satu demi satu, dan terjadinya likuidasi serta tiadanya kegiatan investasi tersebut. Tiadanya kegiatan ini kadangkala terjadi karena adanya faktor-faktor yang sebenarnya mungkin untuk diatasi, atau yang memang tidak mungkin untuk diatasi, atau dari kedua-duanya. Faktor-faktor ini kadangkala intern atau ekstern atau keduanya. Terlepas dari itu semua,  sesungguhnya permasalahan sebab-sebab tidak adanya kontinuitas  itu termasuk di luar dari ruang lingkup pembahasan kita ini. Dan kami akan mengkajinya pada seri ke tiga  dari Serial Referensi Para Akuntan dan Auditor insya’ Allah.  
4. Sebagai akibat dari prinsip  kontinuitas ini, maka  seluruh transaksi-transaksi, dan tindakan-tindakan manajemen, baik yang intern maupun ekstern, haruslah  menjadikan prinsip ini sebagai pelajaran, mulai dari penentuan asas pendanaan kegiatan investasi  sampai  pengukuran hasil-hasil akhir dan pengilustrasian hasil-hasil kegiatan dan neraca yang menentukan  hak-hak dan kewajiban-kewajiban.
5. Sesungguhnya penerapan prinsip kontinuitas ini haruslah memperhatikan  faktor-faktor pasar, baik dari segi penambahan, pengurangan, perluasan, penyempitan dan yang serupa dengan itu dari faktor-faktor yang mempunyai hubungan secara langsung dengan kelangsungan kegiatan.

    Kelangsungan kegiatan investasi ini termasuk salah satu jalan kehidupan yang diakui oleh syari`at Islam dalam banyak kesempatan. Coba kita perhatikan mengenai permasalahan al ardlul mayyitah (lahan mati) yang di dalamnya tidak ada kehidupan disebabkan oleh ketidakpedulian atau karena  sebab yang lain. Syari'at Islam telah mememberi motivasi untuk untuk kelangsungan kehidupan lahan mati  tersebut   serta  menjauhkannya dari kehancuran. Kita bisa melihat hal itu pada beberapa hadits Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, yaitu:

"Barangsiapa menghidupkan lahan yang mati, maka lahan itu menjadi miliknya; dan apa-apa yang dimakan oleh `Afiyah (binatang) daripadanya, maka itu semua menjadi sedekah baginya." (Dikeluarkan oleh Imam Ad Darimi, Ibnu Hibban dan Ahmad dari beberapa jalan melalui Hisyam bin `Urwah dari `Ubaidillah)
Syaikh Al Albani berkata, “Sanad ini tidak mengapa  untuk mutaba`at.’ [Muhammad Nashiruddin Al Albani (A), 1399 H. / 1969 M., juz VI, halaman 4].
Abu `Ubaid berkata, "Al `Afiyah itu adalah dari binatang buas, burung, dan manusia, dan segala sesuatu  yang mengelilinginya." Juga sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam:
"Barangsiapa yang menghidupkan  lahan mati  yang bukan milik seseorang, maka tanah itu akan menjadi miliknya." Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya. (Ahmad bin Ali bin Hajar Al' `Asqalani, 1407 H. / 1986 M., juz V,  halaman 18)
Umar Ibnul Khaththab radliyallahu `anhu  pun pernah mengambil keputusan dengannya. (Abu `Ubaid, 1406 H. / 1986 M., halaman 298). Sesungguhnya hadits-hadits ini dan juga yang lainnya, tidak lain hanyalah  suatu gambaran mengenai motivasi  syari`at Islam untuk kelangsungan kegiatan-kegiatan investasi yang dibenarkan, yang berada di bawah naungan syari`at Islam.
     Sesungguhnya prinsip kontinuitas itu merupakan suatu persyaratan bagi pengembangan harta, karena tujuan setiap kegiatan investasi itu adalah mengembangkan harta pokok yang dengannyalah dimulai kegiatan investasi itu. Pengembangan ini tidak akan terjadi, kecuali dengan adanya kelangsungan perdagangan tersebut. Hal itu  karena “perdagangan itu merupakan suatu upaya mencari penghasilan dengan mengembangkan harta melalui proses pembelian barang dengan harga yang murah, lalu menjualnya dengan harga yang lebih mahal, apapun juga jenis barang tersebut, apakah berupa tepung, atau hasil pertanian, atau hewan, atau pakaian dan lain sebagainya., Kadar pertambahan itu  dinamakan keuntungan…. Sesungguhnya makna perdagangan itu adalah pekembangan  harta…." (Ibnu Khaldun, 779 H., halaman 437)
     Oleh karena itu, dapatlah kita merasakan dari pembahasan yang telah lalu bahwa prinsip kontinuitas itu bukanlah sesuatu yang baru,  dan prinsip ini juga  sesuai dengan fitrah manusia. Prinsip ini tampak  lebih jelas pada permasalahan zakat. Hal itu adalah karena zakat itu baru akan menjadi suatu kewajiban di saat sempurnanya persyaratan  zakat di tangan si pemilik harta, yaitu haul (berlalunya masa  satu tahun). Kaidah  hauliyyah yang akan kami  ulas  pada bab VIII delapan dari buku ini  merupakan salah satu kaidah yang telah tetap dan pasti untuk menerapkan prinsip-prinsip akuntansi secara umum, dan prinsip kontinuitas secara khusus. Pentingnya kontinuitas ini bagi penerapan kaidah hauliyah  tampak jelas dari sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam:
 "Tidak ada kewajiban zakat pada suatu harta, sampai berlalu padanya haul ‘periode selama setahun’." (Ibnu Rusyd Al Hafid, juz I:197). Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Ahmad dan Baihaqi. (Ahmad bin Ali Al `Asqalani, (A), tanpa tanggal, juz VI, halaman 165).
Demikian pula,  segi penerapan prinsip kontinuitas dari sisi syari`ah tampak dalam hal bahwa "orang-orang yang tidak terikat waktu dalam membeli dan menjual, yaitu orang-orang secara khusus dinamakan dengan mudir (manajer), maka hukum orang-orang yang seperti ini di sisi penguasa,  jika telah sampai kepada mereka haul   sejak dimulainya usaha dagang mereka, harus menghitung  barang-barang dagangan yang ada di tangan mereka tersebut, kemudian ditambahkan kepadanya uang tunai mereka yang ada serta piutang mereka yang  diharapkan dapat diambil apabila mereka tidak mempunyai utang yang sebanding dengannya…." (Ibid, halaman 196). Dari keterangan tersebut, kita bisa melihat dua ungkapan penting yang mengisyaratkan tentang prinsip kontinuitas, yaitu: Pertama, ungkapan "sejak dimulainya usaha dagang mereka", yakni di sini ada isyarat  mengenai permulaan usaha dagang, dan tidak ada isyarat mengenai berakhirnya akibat adanya asumsi kelangsungannya. Saat berakhirnya perdagangan itu tidak tercantum, atau minimal tidak diketahui pada saat itu. Kedua,  ungkapan "diharapkan dapat diambil". Ungkapan ini sendiri mengisyaratkan tentang kontinuitas,  yakni diharapkan penerimaan piutang pada waktu mendatang. Kedua ungkapan tersebut, secara bersama-sama mengisyaratkan tentang  penerapan prinsip kontinuitas untuk mendapatkan zakat, yang selanjutnya kontinuitas di dalam kegiatan investasi yang akan membentuk tempat-tempat penghasil zakat.    
     Di samping hal-hal yang telah kita paparkan tersebut, kami ingin  mengisyaratkan bahwa di samping prinsip kontinuitas itu sesuai dengan fitrah manusia yang dia diciptakan di atasnya, juga  mencerminkan karakter dari kegiatan-kegiatan  investasi tersebut. Secara umum, setiap kegiatan investasi itu tidak mungkin  muncul, hasilnya yang diharapkan, kecuali setelah berlalu beberapa waktu. Oleh karena itu, kegiatan investasi itu harus mengokohkan dirinya pada pasar-pasar tempat dia bersaing  dengan pihak-pihak yang lain, untuk mendapatkan bagian yang terbesar dari para konsumen barang atau jasa, dan harus  mengembangkan barang atau jasa tersebut agar  sesuai dengan perkembangan selera dan tuntutan  para konsumen. Agar kegiatan investasi itu mampu  merealisasikan hal itu, dia harus selalu berkelanjutan, sehingga terwujudlah tujuan-tujuan yang diharapkan dari pendiriannya.

Pembahasan Keempat
Prinsip Keempat
Muqabalah

     Sesungguhnya prinsip muqabalah (matching) itu adalah suatu cermin yang  memantulkan hubungan sebab akibat antara dua sisi,  dari satu segi, dan mencerminkan juga hasil atau  dari hubungan tersebut dari segi yang lainnya. Sebab, setiap sesuatu yang terjadi, pasti karena adanya suatu tindakan yang mendahuluinya, yang didasari oleh  tujuan tertentu. Dan untuk selanjutnya,  kedua kejadian tersebut harus saling dikaitkan, guna mengetahui  pengaruh-pengaruh yang diakibatkan oleh keduanya. Sebab, tujuan dari kegiatan investasi tersebut, secara umum, adalah  menghasilkan keuntungan. Akan tetapi, terhadap kaidah ini ada pengecualian-pengecualian, yakni faktor keuntungan itu  bukanlah tujuan itu sendiri. 
    Di samping mencerminkan tujuan dari kegiatan investasi itu, prinsip muqabalah ini juga  mencerminkan adanya hubungan sebab akibat antara kedua sisi tersebut. Yakni,  keberadaan salah satu dari  keduanya itu merupakan  akibat dari yang satunya, atau terjadinya sesuatu itu  disebabkan oleh  adanya tindakan yang sebelumnya. Di samping sebagai cermin yang  memantulkan setiap tujuan kegiatan dan hubungan di antara perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan, prinsip muqabalah ini juga  memantulkan hasil atau akibat dari hubungan-hubungan di antara perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan sesuai dengan  tujuan yang telah digariskan. Untuk selanjutnya, prinsip muqabalah ini  akan menolong pihak manajemen dalam menetapkan apakah tujuan-tujuan itu telah terealisir ataukah belum, berdasarkan  hasil-hasil yang telah ditinggalkan oleh seluruh bidang kegiatan selama  periode tertentu. Berdasarkan itu semua, pihak manajemen pun menganalisa  hasil-hasil  yang telah  dicapai, baik hasil-hasil itu negatip maupun positip, dan baik  diharapkan maupun tidak diharapkan.
     Apabila kita perhatikan setiap kegiatan investasi, apakah yang bertujuan  mencari keuntungan ataukah yang selain itu, kita akan mendapatkan bahwa di sana terdapat hubungan sebab akibat yang mungkin dapat  dikumpulkan dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah hubungan antara pengeluaran-pengeluaran dan pemasukan-pemasukan. Kelompok kedua  tergambarkan dalam hubungan antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Hubungan-hubungan ini haruslah dikaitkan  antara satu dan yang lainnya, untuk dapat mengeluarkan hasil-hasil  dari hubungan-hubungan tersebut. Hal itu karena pengkaitan  pengeluaran-pengeluaran yang dibenarkan dengan pemasukan-pemasukan yang dibenarkan tersebut di dalam ruang lingkup prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah  dan prinsip kontinuitas, haruslah menimbulkan  hasil tertentu, dan hasil ini bisa jadi berupa keuntungan   atau kerugian. Demikian pula, pengkaitan hak-hak yang dibenarkan dan kewajiban-kewajiban yang dibenarkan itu, yang berimplikasi pada pengeluaran-pengeluaran dan pemasukan-pemasukan yang dibenarkan sesuai dengan  prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah  dan prinsip kontinuitas tersebut, haruslah menimbulkan hasil tertentu, dan  hasil itu bisa jadi berupa penambahan atau pengurangan terhadap modal  kegiatan investasi itu. Hasil akhir dari pengkaitan (muqabalah) pengeluaran-pengeluaran dengan pemasukan-pemasukan itu timbul akibat dari hal-hal yang terjadi selama periode muqabalah,  namun hal itu bisa jadi berbeda di saat pengkaitan antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Hal itu  karena hasil yang timbul dari  pengkaitan  hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu bisa jadi sumbernya adalah periode itu sendiri, yang karenanya  pula terjadi muqabalah antara pengeluaran-pengeluaran dan pemasukan-pemasukan. Juga bisa jadi sumbernya itu adalah periode-periode yang sebelumnya atau sesudahnya.
     Hasil-hasil akhir pengkaitan  hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu akan sama dengan hasil akhir pengkaitan  pengeluaran-pengeluaran dengan pemasukan-pemasukan, selama di sana tidak ada  faktor-faktor, sebelum atau sesudah periode muqabalah antara pengeluaran-pengeluaran dan pemasukan-pemasukan itu, yang telah mempengaruhi  waktu pengilustrasian hak-hak dan kewajiban-kewajiban tersebut. Atau dalam ungkapan yang lain, keuntungan-keuntungan atau kerugian-kerugian yang telah terjwujud dari kegiatan investasi untuk  periode waktu tertentu itu --yang biasanya untuk satu tahun keuangan--   itulah yang akan tercermin pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban perusahaan, apabila di sana tidak ada  faktor-faktor lain, di luar  periode kegiatan investasi itu, yang telah mempengaruhi  hasil-hasil akhir tersebut. Hal itu misalnya jika ada  kerugian-kerugian yang tertumpuk dari tahun yang lalu atau dari beberapa tahun yang lalu dari periode kegiatan investasi. Yakni,  jika hal itu benar terjadi, lalu periode kegiatan investasi yang sekarang berhasil mendapatkan keuntungan-keuntungan, maka  keuntungan-keuntungan dari periode sekarang ini harus dipergunakan untuk menutupi kerugian-kerugian dari periode-periode yang sebelumnya. Pada keadaan ini,  niscaya akan kita dapatkan bahwa muqabalah  pengeluaran-pengeluaran dengan pemasukan-pemasukan beserta hasil akhirnya yang digambarkan dalam perhitungan laba rugi  tidak akan tergambarkan di dalam neraca umum. Hal itu  karena perhitungan laba rugi  itu akan menampakkan keuntungan yang sebenarnya terjadi, sementara neraca tersebut tidak akan menunjukkan adanya keuntungan-keuntungan itu, karena keuntungan-keuntungan itu dipergunakan untuk menutupi kerugian-kerugian periode atau beberapa periode yang sebelumnya.
    Demikian juga halnya  apabila ada  kerugian-kerugian yang terjadi selama periode penggilustrasian perhitungan laba rugi. Kerugian ini kadangkala  tidak tampak dengan sendirinya di dalam neraca umum, dan terkadang sama sekali tidak  tampak pada neraca umum. Keadaan  pertama, yakni  kerugian-kerugian periode itu tidak tampak dengan sendirinya pada neraca umum,  akan terjadi apabila di sana ada kerugian-kerugian periode sebelumnya yang ditambah dengan kerugian-kerugian periode sekarang ini. Adapun keadaan yang kedua, yakni kerugian priode tersebut terkadang tidak tampak pada neraca umum, akan terjadi apabila di sana ada keuntungan-keuntungan yang telah  terkumpul dari satu tahun atau beberapa tahun sebelumnya. Sudah barang tentu,  penggambaran  neraca umum pada kedua keadaan ini haruslah menjelaskan mengenai perimbangan-perimbangan tersebut, sehingga pihak lain dapat mengetahui  perjalanan permasalahan-permasalahan yang ada, dan agar  dimungkinkan baginya untuk mengambil  keputusan-keputusan  berdasarkan laporan-laporan atau informasi-informasi yang lengkap dan jelas.
     Berdasarkan  peran yang dimainkan oleh prinsip muqabalah  ini, maka  prinsip ini dan penerapan-penerapannya hanyalah melayani dua sisi utama. Ada juga  sisi-sisi lain yang terwujud darinya, namun  hanyalah cabang-cabang saja. Sisi pertama, yang dikategorikan sebagai batu sudut bagi sisi yang kedua, adalah mengetahui  hak  pemilik usaha individual, atau  hak para sekutu(patner)  pada syirkah-syirkah asykhash, dan hak para pemilik saham pada syirkah-syirkah amwal, dalam  perkembangan atau pertumbuhan yang muncul pada harta-harta yang diinvestasikan. Adapun sisi yang kedua adalah mengetahui  hak Allah Subhanahu Wa Ta`ala dalam zakat yang wajib dikeluarkan untuk membersihkan pertumbuhan atau perkembangan yang terwujud melalui penerapan prinsip muqabalah tersebut. Pada bab VIII dari buku ini, kami akan menjelaskan  kaidah-kaidah praktis  yang lazim untuk penerapan prinsip muqabalah  ini.
     Sesungguhnya penerapan prinsip muqabalah  dan kaidah-kaidah yang  harus dijadikan sebagai acuan  untuk merealisasikan prinsip ini mempunyai akar di dalam negara Islam. Prinsip ini telah diterapkan,  dan telah disusun kaidah-kaidahnya, baik yang umum maupun yang khusus, sejak masa Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Yang bisa kami sebutkan di antaranya adalah sebuah hadits Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam:

“Barangsiapa yang menghidupkan sebuah lahan mati, maka tanah itu menjadi miliknya, dan keringat (orang) yang zhalim  tidak berhak (terhadapnya)." [Abu `Ubaid, 1406 H. / 1986 M., halaman 298]. Dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud dan Tirmidzi. [Muhammad Nashiruddin Al Albani (A), 1399 H. / 1979 M., juz  v, halaman 353--356]
“Dalam  menafsirkan perkataan Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam "dan keringat (orang) yang zhalim itu tidak berhak terhadapnya", Hisyam bin `Urwah berkata bahwa orang zhalim itu adalah seseorang mendatangi lahan mati milik orang lain, lalu menanaminya…." (Ibnu Qudamah, 1403 H. / 1983 M., juz VI, halaman 148)
    Dari sini kita bisa melihat, pertama, adanya  syarat kepemilikan, kemudian pengeluaran, lalu pemasukan. Apabila tidak ada kepemilikan secara lahiriah bagi seseorang, lalu orang itu melakukan suatu kegiatan, atau mengeluarkan suatu harta berdasarkan apa yang bukan miliknya, maka  tidak ada hak baginya melakukan pengkaitan (muqabalah) antara biaya yang telah dikeluarkannya dan apa yang dihasilkan dari biaya yang telah dikeluarkannya itu; dan untuk selanjutnya, hasil dari pengkaitan  itu bukanlah merupakan haknya. Dalam keadaan yang seperti ini, orang yang telah mengeluarkan biaya atau melakukan kegiatan tersebut memiliki dua pilihan, yaitu: dia meminta kembali biaya yang telah dikeluarkannya itu atau dia meminta upah atas kegiatan yang telah dilakukannya. Kaidah tentang prinsip muqabalah ini mengacu pada hasits berikut ini :
    "Ada seorang laki-laki menanam  kurma di sebuah tanah (mati) milik seseorang dari kaum Anshar, dari suku Bayadlah. Kemudian,   keduanya bertengkar dan meminta keputusan kepada Nabi Muhammad  shallallahu `alaihi wasallam. Maka, beliau  pun akhirnya memutuskan bahwa tanah itu adalah milik orang Anshar tersebut, dan memerintahkan kepada laki-laki itu agar mencabut pohon kormanya. Perawi hadits tersebut berkata, "Sungguh aku melihat laki-laki itu memotong akarnya dengan kampak, dan  kurma itu adalah kurma yang tinggi." (Abu `Ubaid, 1406 H. /1986 M., halaman 299).
    Dari hukum yang telah diputuskan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam itu, kita bisa memperhatikan bahwa karena  tidak terpenuhinya syarat muqabalah  tersebut, Beliau  tidak memutuskan kepada laki-laki, yang berbuat aniaya itu, untuk membiarkan korma tersebut, kemudian mengkaitkan apa yang telah dikeluarkannya denan  dengan apa yang telah  dihasilkan. Namun, Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam  meminta kepadanya agar mengambil kembali apa yang telah dikeluarkannya, yang dalam hal ini adalah pohon korma itu. Adapun keadaan yang kedua, yakni berupa  usaha, bukan berupa  biaya atau pengeluaran, Rasulullah saw juga pernah memutuskan tentang hal ini dengan ucapannya:
"Barangsiapa yang menanam di  tanah milik suatu kaum tanpa seizin mereka, maka dia berhak terhadap  biaya yang telah dikeluarkannya, dan tidak ada hak baginya terhadap dari tanaman itu walau sedikit pun." [Ibid, halaman 299--300].
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Tirmidzi. [Muhammad Nashiruddin Al Albani (A), 1399 H. / 1979 M., juz V, halaman 350--351]. Kita perhatikan di sini bahwa hukum-hukum tersebut muncul pada kegiatan-kegiatan investasi yang mempunyai karakter pertanian. Dalam kegiatan-kegiatan yang lainnya,  kita dapat mengqiyaskan kepadanya


     Di antara faktor-faktor  lainnya, yang membenarkan dan mengharuskan akan adanya prinsip muqabalah ini --di samping pengukuran pertumbuhan dan selanjutnya penentuan  pos-pos  zakat dan ukurannya-- yang wajib diterapkan  pada setiap akhir tahun keuangan adalah prinsip kontinuitas. Hal itu  karena tidak  mungkin mengukur hakikat  hasil  yang telah dicapai oleh  setiap kegiatan investasi itu, kecuali pada akhir usia  kegiatan tersebut. Usia suatu kegiatan itu tidaklah diketahui, dari satu sisi,  juga  para pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriah  ini ingin  mengetahui  tingkat dan besarnya pertumbuhan, dari sisi yang lain, maka  haruslah ada penghentian sementara terhadap kegiatan itu agar pengukuran hasil-hasilnya mudah dilakukan.

Akan tetapi, pengukuran ini tidak juga mudah, karena  tidak dihabiskannya seluruh biaya, yakni biaya  yang masih tersisa dipergunakan  untuk periode-periode mendatang sebagai akibat dari prinsip kontinuitas. Oleh karena itu, di sini  kita dapatkan  adanya hubungan  langsung antara prinsip kontinuitas dan muqabalah  tersebut, yakni keduanya itu mempunyai karakter mushthana`ah. Yang kami maksudkan dengan karakter mushthana`ah  prinsip kontinuitas itu adalah pembagian kehidupan mendatang yang diharapkan bagi  kegiatan investasi menjadi beberapa periode yang teratur  dalam jangka waktunya, akan tetapi tidak diketahui jumlahnya,  yaitu jumlah periode-periode mendatang yang dihasilkan oleh prinsip kontinuitas.
     Kami telah mengisyaratkan pada  paragraf yang sebelumnya bahwa biaya-biaya yang  telah dipikul oleh kegiatan investasi itu tidaklah dihabiskan seluruhnya selama  tahun saat terealisasinya  pemasukan. Demikian juga, pengeluaran-pengeluaran selama tahun saat terealisasinya  pemasukan itu, terkadang tidak seluruhnya  ditanggung oleh kegiatan investasi pada tahun keuangan itu sendiri, yakni bisa jadi dari tahun atau beberapa tahun yang sebelumnya. Hal itu  karena setiap pengeluaran yang ditanggung oleh  kegiatan investasi itu ada yang mempunyai hubungan secara langsung dengan pemasukan yang  dihasilkan, dan ada yang mempunyai hubungan secara  tidak langsung. Pengeluaran-pengeluaran yang mempunyai hubungan secara tidak langsung akan menghadapi  beberapa kesulitan dalam penentuannya, baik jenis maupun jumlahnya, pada saat dilakukan muqabalah  dengan pemasukan-pemasukan. Lain halnya dengan pengeluaran-pengeluaran yang bersifat langsung. Pengeluaran-pengeluaran yang tidak langsung ini harus diukur secara cermat  untuk mengetahui bagian yang harus dikaitkan dengan pemasukan-pemasukan yang telah terealisir. Kecermatan ini merupakan suatu keharusan, agar tidak terjadi pengabaian terhadap apa-apa yang  harus diperhitungkan, atau agar  tidak terjadi sikap berlebih-lebihan terhadap apa-apa yang harus diperhitungkan,  untuk menyempurnakan  muqabalah  yang adil tersebut. Sebab, pengabaian terhadap apa yang harus diperhitungkan tersebut mengakibatkan tidak adanya kecermatan yang logis, yang selanjutnya  akan mengakibatkan sikap  berlebih-lebihan di dalam menyatakan keuntungan yang terealisasi. Sikap berlebih-lebihan ini  mengakibatkan  terambilnya  bagian yang tidak sedikit dari modalnya dengan anggapan  bahwa itu semua merupakan bagian dari keuntungan. Apabila terjadi tindakan yang seperti ini,  perusahaan tersebut akan mendapati dirinya tidak mampu menghadapi kewajiban-kewajibannya, dan niscaya akan terhenti kegiatannya sebagai akibat dari tidak adanya kecermatan  yang logis dalam pengukuran hasil-hasil melalui penerapan prinsip muqabalah  tersebut. Demikian juga,  berlebih-lebihan dalam penghitungan pengeluaran-pengeluaran, apakah yang langsung maupun yang tidak langsung, akan mengakibatkan terhapusnya sebagian dari keuntungan-keuntungan. Terkadang, mengakibatkan  kerugian-kerugian,  tetapi bukan kerugian yang hakiki. Barangkali, tidak ada seorang pun yang mengetahui bahwa hal itu adalah kerugian-kerugian yang tidak hakiki, dan  kerugian-kerugian di atas kertas saja,  sebagai akibat dari ketidakcermatan  dalam penentuan atau pengukuran pengeluaran-pengeluaran atau dalam kedua-duanya. Jika terjadi tindakan yang seperti ini,  perusahaan itu kadangkala juga mendapati dirinya tidak mampu  menghadapi kewajiban-kewajibannya, sebagai akibat dari takutnya pihak  lain untuk bermuamalah dengannya,  karena  adanya kerugian-kerugian tersebut, yang terkadang hanya imajiner  atau  terkadang berlebih-lebihan.
     Prinsip muqabalah ini dikategorikan sebagai prinsip-prinsip yang paling sulit  diterapkan. Hal ini pada dasarnya kembali kepada kaidah-kaidah penting yang wajib diikuti,  dari satu sisi, dan dari sisi yang lain kembali kepada standar-standar  khusus  yang wajib  diperhatikan guna terwujudnya manfaat  yang diharapkan dalam hal pengambilan manfaat dari informasi keuangan, berdasarkan syarat-syarat kualitatif  yang telah kami jelaskan sebelumnya pada pembahasan pertama, bab IV  dari buku ini. Di samping pentingnya bersikap cermat dalam penentuan dan penghitungan pengeluaran-pengeluaran, maka wajib juga bersikap cermat dalam penentuan dan penghitungan pemasukan-pemasukan. Sebab, berlebih-lebihan dalam penentuan dan penghitungan pemasukan-pemasukan itu, juga akan mengakibatkan munculnya keuntungan-keuntungan imajiner. Demikian juga, lalai dalam penentuan dan penghitungan pemasukan-pemasukan itu akan mengakibatkan munculnya kerugian-kerugian yang imajiner. Kedua-duanya itu merupakan dua permasalahan yang tidak disukai, sebagaimana yang telah kami isyaratkan ketika membahas tentang  berlebih-lebihan dan lalai dalam penghitungan pengeluaran-pengeluaran.

Soal-Soal Ulangan Bab VII

1. Terangkan maksud dari pernyataan bahwa aqidah kaum muslimin dan Ahlul Kitab itu adalah satu, karena  mengandung tauhid, iman kepada  seluruh Rasul, seluruh Kitab Allah  dan apa yang dikandungnya mengenai permasalahan hari akhirat dan  adanya balasan terhadap yang baik maupun yang buruk; dan bahwasanya perbedaan yang ada hanyalah  dalam persoalan hukum syari`at. Perkuatlah keterangan Anda dengan contoh-contoh yang realistis.
2. Jelaskanlah mengenai legitimasi muamalat sebagi suatu prinsip yang utama, yang menjadi acuan seluruh prinsip-prinsip akuntansi yang lain, dan menjadi dasar penentuan  kaidah-kaidah akuntansi yang harus dijalankan di dalam masyarakat Islam. Dukunglah penjelasanmu itu dengan ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi.
3. Jelaskanlah  ungkapan berikut ini:
 "Sesungguhnya legitimasi muamalat itu tidaklah terbatas ruang lingkupnya. Dia mencakup apa yang dicakup oleh  pihak-pihak yang saling bermuamalat, yaitu para sekutu  yang membentuk suatu syirkah  atau para pemegang  saham dari satu sisi, dan orang-orang yang bermuamalat  dengannya, pada sisi yang lainnya". Penjelasan Anda itu haruslah secara terperinci dan jelas, disertai  pemberian contoh-contoh yang memadai untuk mencerminkan kejelasan pandangan yang Anda katakan.
4. Terangkanlah apa yang dimaksud dengan syakhshiyyah i`tibariyyah disertai penyebutan akibat-akibat yang timbul dari  pendirian suatu syirkah atau lembaga  yang mempunyai  syakhshiyyah i`tibariyyah tersebut.
5. Terangkanlah tentang diperbolehkannya memberikan sifat syakshiyyah i`tibariyyah kepada lembaga-lembaga  perdagangan yang bersifat individu.
6. Terangkanlah mengenai diperbolehkannya mengkategorikan syirkah asyhkash  di bawah naungan sistem Islam sebagai suatu syirkah  yang mempunyai syakhshiyyah  i`tibariyyah.
7. Terangkanlah mengenai sejauh mana kemungkinan pengkategorian syirkah  musahamah sebagai suatu syirkah  yang mempunyai tanggung jawab terbatas, disertai  penjelasan mengenai sebab-sebab yang bisa memperkuat akan hal itu, dan bagaimana pandangan Anda sendiri terhadap pendapat-pendapat  yang ada itu.
8. Terangkanlah  perbedaan antara syakhshiyyah i`tibariyyah dan syakhshiyyah qanuniyyah dalam kaitannya dengan  lembaga-lembaga individu,  syirkah-syirkah asykhash dalam naungan sistem Islam, syirkah-syirkah asykhash dalam sistem-sistem non Islam, dan  syirkah  musahamah.
9. Terangkanlah mengenai kemungkinan adanya wahdah muhasabiyyah lebih dari satu, yaitu dalam hal yang berkaitan dengan satu syakhshiyyah i`tibariyyah, disertai   contoh-contoh yang memadai terhadap apa yang Anda terangkan.
10. Terangkanlah apa yang dimaksud dengan perkataan bahwa diperbolehkan  adanya satu wahdah muhasabiyyah bagi beberapa syakhshiyah i`tibariyyah, yang masing-masing darinya mempunyai syakhshiyyah qanuniyyah  sendiri-sendiri.
11. Terangkanlah mengenai ungkapan berikut ini secara terperinci disertai   contoh-contoh yang memadai terhadap apa yang tertera pada keteranganmu:
"Sesungguhnya prinsip kontinuitas itu adalah suatu prinsip yang keberadaannya dapat memberikan pandangan bahwa perusahaan itu akan terus kegiatannya sampai waktu yang tidak diketahui, dan bahwa likuidasinya merupakan  suatu pengecualian, kecuali jika terdapat indikasi yang mengarah kepada  kebalikannya."
12. Jelaskanlah  apa yang dimaksud dengan hadits Nabi shallallahu `alaihi wasallam: "Tidaklah ada kewajiban zakat pada suatu harta, kecuali jika telah berlalu padanya haul (periode selama satu tahun)." ditinjau dari hubungannya dengan prinsip kontinuitas.
13. Terangkanlah mengenai prinsip kontinuitas itu dalam kapasitasnya  sebagai salah satu prinsip akuntansi, seraya diperkuat keterangan Anda tersebut dengan hadits-hadits Nabi shallallahu `alaihi wasallam yang Anda pandang sesuai dan tepat, atau dengan pandangan-pandangan para ulama’ kita terdahulu.
14. Terangkanlah  ungkapan berikut ini secara terperinci, seraya diperkuat keterangan Anda tersebut dengan contoh-contoh yang sempurna dan lengkap:  "Sesungguhnya prinsip muqabalah ituadalah cermin yang akan memantulkan hubungan sebab akibat di antara kedua sisi, ini dari satu segi, dan mencerminkan juga hasil akhir dari hubungan tersebut, dari segi yang lainnya.”
15. Terangkanlah  hubungan prinsip muqabalah  ini dengan prinsip legitimasi muamalat,  prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah,  dan prinsip kontinuitas, dengan menjadikan  pengeluaran-pengeluaran sebagai suatu contoh bagi keterangan Anda tersebut.
16. Terangkanlah mengenai hubungan prinsip muqabalah ini dengan prinsip legitimasi muamalat,  prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah, dan  prinsip kontinuitas, dengan menjadikan pengeluaran-pengeluaran dan pemasukan-pemasukan secara sekaligus sebagai suatu contoh bagi keterangan Anda tersebut.
17. Terangkanlah mengenai hubungan prinsip muqabalah ini dengan prinsip-prinsip yang tersebut di atas, dengan menjadikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai suatu contoh bagi keterangan Anda tersebut.
18. Jelaskanlah mengapa  prinsip muqabalah  itu  pernah diterapkan sejak masa Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam,  disertai dalil-dalil yang Anda pandang tepat dari hadits Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dan pandangan-pandangan yang memperkuat apa yang Anda sebutkan dalam penjelasan Anda tersebut.
19. Terangkanlah akibat dari berebih-lebihan atau lalai dalam penentuan dan penghitungan pemasukan-pemasukan terhadap hasil-hasil akhir suatu kegiatan, sebagai akibat dari penerapan prinsip muqabalah, disertai  pemberian contoh-contoh yang memadai.
20. Terangkanlah akibat dari berlebih-lebihan atau lalai dalam penentuan atau penghitungan pemasukan-pemasukan dan pengeluaran-pengeluaran sebagai akibat dari penerapan prinsip muqabalah, dilihat dari segi kewajiban-kewajiban lembaga atau  terhadap orang lain, seraya diperkuat keterangan Anda tersebut dengan contoh-contoh yang memadai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar