Maret 19, 2012

Arah Pergerakan Mahasiswa

Arah pergerakan dan Idealisme Mahasiswa
Oleh: Andrew Harry Yoga

Asalamualaikum wr wb
Salam perjuangan. Salam mahasiswa………

Mahasiswa memiliki sejarah emas dalam cita-cita dan perjuangannya. Peran mahasiswa pada angkatan 66, 74 dan 98 telah memberikan label The Agent of Social Control. Apalagi perjuangan mereka tidak lain adalah penyalur lidah masyarakat yang notabene selalau tertindas dan menjadi alat “eksploitasi “ oleh kezaliman rezim.
Kekuatan moral yang terbangun lebih disebabkan karena mahasiswa yang selalu bergerak secara aktif. Seperti dengan turun ke jalan demi berteriak menuntut keadilan dan pembelaan terhadap hak-hak wong cilik.
seperti yang dikatakan oleh Michael Fremerey (1976) mahasiswa sebagai "Gerakan korektif". Mahasiswa dengan otoritas intelektualnya mampu mengkoreksi berbagai kebijkan sosial dengan anlisa korektif dan gagasan-gagasannya yang masih murni.
Namun akhir-akhir ini nampaknya mahasiswa mengalami “disfungsi control”. mahasiswa tidak lagi mendapatkan simpatik dari masyarakat. Hal itu nyata dihadapi, mengingat ralitas yang terjadi di masyarakat. Dimana masyarakat berpendapat bahwa banyak mahasiswa yang dalam melakukan aksi advokasinya dilapangan ternyata mendapatkan “titipan-titipan” dari parpol atau anggota dewan tertentu. Mahasiswa yang dulunya dipandang sebagai kalangan intelektual yang memiliki idelisme yang tinggi dalam kenetralannya kini hanya dianggap sebagai biang rusuh yang bertindak brutal dijalanan. Apa lagi ditemukan beberapa kasus demo bayaran, yang menambah citra buruk mahasiswa di mata masyarakat.
Tidak cukup berhenti disitu, berbagai prilaku negatif mahasiswa di lingkungan internal kampus dengan mengabaikan kuliah yang menjadi priortias dan tanggung jawab utamanya banyak dinilai sebagai bentuk penghianatannya terhadap almamater, walaupun, terlepas dari banyaknya kritikan terhadap kurikulum ataupun silabus yang diajarkan dikelas-kelas. KBM pendidikan Indonesia yang cendrung harus mengikuti sistematika kuliah yang kaku dan ortodoks disinyalir menjadi dalang menurunnya tingkat intektualitas mahasiswa, dan bahkan tidak jarang mengkebiri gagasan mahasiswa yang bersifat orisinal dan cendrung “liar” atau Out of the Box.
Mata kuliah yang diajarkanpun tidak mampu membawa imajinasi mahasiswa ke tahapan yang riil dan nyata. Selain itu, tidak sedikit para pengajar yang bergelar Doktor menutup pintu dan ruang bagi mahasiswa yang kritis. Padahal jika kita membuka mata, maka metode pengajaran yang ortodoks itu hanya mampu melahirkan mahasiswa yang teoritis tekstual yang tidak faham atau bahkan buta tentang realitas yang sebenarnya terjadi di masyarakat. Hanya ingat dan enggan berkeringat di jalan. Hanya menalar bukan menelurukan solusi dan gagasannya. Sungguh memprihatinkan…
Pemerintahpun ikut andil dalam berbagai laju dan dinamika pendidikan di Indonesia yang mengalami pemunduran ini. Pemerintah yang telah menghianati konstitusi ini makin memperlihatkan taringnya dihadapan rakyat kecil. Walaupun dengan jelas UUD mengatakan “Bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak”. Tapi kenyataannya mereka malah mengkapitalisasi pendidikan. Dimana branding sekuleritas akan Mahalnya biaya pendidikan khususnya biaya tinggi yang dibebankan perguruan tinggi menambah jelas penghianatan para elit bangsa ini pada konstitusi.
Untuk itu, sudah saatnya pasca reformasi ini para aktivis pergerakan merubah orientasi pergerakannya ke dalam nuansa gerakan yang lebih intelektual (intellectual movement). Tanpa harus mengikis dan bahkan mengesampingkan jiwa militansi kaum muda yang pada dasarnya penuh dengan keyakinan dan api semangat tentunya Dalam meng-counter berbagai ketimpangan kebijakan yang dilakukan oleh elit bangsa ini.
Untuk itu mahasiswa sedikitnya harus mengetahui trias tradition yang dahulu menjadi buku pedoman wajib para tokoh pergerakan. Tiga tradisi itu adalah: discussion tradition; writing tradition; dan reading tradition.
Khusus untuk writing tradition, mutlak mesti ada pada para aktifis pergerakan, writing tradition adalah indikator untuk mengetahui seberapa jauh wawasan intelektualitasnya, dan pasalnya bagaimana mungkin tradisi intelektual hanya disampaikan secara oral dari satu orang ke orang yang lain. Sungguh pekerjaan yang kurang efektif. Sebut saja nama tokoh-tokoh populer seperti, Bung Karno, Bung Hatta, M. Natsir—era pra kemerdekaan; Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Nurcholis Madjid, Deliar Noer, Hariman Siregar, Arief Budiman—era 60 sampai 80-an; Anas Urbaningrum, Eef Saefulloh Fatah, Kamarudin, Andi Rahmat (era 90-an) dan lain-lain yang tidak pernah melepaskan kegiatan tulis menulisnya.
Bila kita kembalikkan ke pergerakan mahasiswa, mendukung dan menggalakkan melemparkan isu-isu lewat tulisan perlu perhatian serius. Karena, mewacanakan isu-isu melalui media cetak dapat dibaca oleh kalangan lebih luas—dalam artian lebih efefktif untuk menyebarkan gagasan atau wacana ke seluruh pelosok persada nusantara, bahkan sampai manca negara.
Nampak seperti realitas mahasiswa secara keseluruhan apa yang terjadi pada Univ. Respaty Indonesia, dimana dinamika kampus yang Full Struktural hanya mampu didalangi oleh beberapa gelintir mahasiswa. Bukan karena otoriter tapi lebih kepada personal mahasiswanya yang terkesan damai dan tenang “kurang greget”, atau paling tidak istilah “APATIS” seperti satu wacana yang dikampanyaken oleh elit pengurus baik dari BEM maupun dari SENAT pada rakyatnya (baca-mahasiswa. ).
Terlepas dari berbagai kritikan diatas, secara pribadi ada sosok muda yang telah membuat pergerakan yang patut diberikan apresiasi. Dan untuk itu secara pribadi penulis sangat memuji kakanda Anas Djabo dan Sdr. Viktor S. yang secara aktif berhasil mewarnai kampus dengan berbagai ide dan gagasannya yang dtuangkan lewat tulisan dan agenda kerjanya yang nyata.
Semua itu tentunya harus didukung juga dengan media, dimana kita semua mengerti bahwa media memiliki andil yang besar di lingkungan kampus, selain sebagai alat propaganda isu, media kampus juga digunakan sebagai alat ukur demokratisasi yang ada dilingkungan kampus tersebut. Untuk itu layak kiranya perjuangan Azwir Anas dan adinda Kresna Galuh dan Sdr. Kelvin H., untuk menumbuhkan Writing Tradition On The Campus dalam hal penyebaran gagasan dan isu melalui publikasi media, bisa dikatakan sebagai kesuksesan upaya suksesi reformasi komunikasi di Univ.Respaty Indonesia.
Sebagai penutup, walaupun citra pergerakan mahasiswa di Indonesia mengalami penurunan, hendaknya tidak mengurangi fungsinya sebagai The Agent of Social Control serta motor penggerak pembaharu yang tetap peduli dan berpihak kepada masyarakat bawah, karena sampai kapan pun mahasiswa dengan semangat mudanya akan tetap memegang peranan penting dalam mengontrol kebijakan-kebijakan publik. Dan mengkritisi berbagai kebijakan dan isu-isu yang berkembang dimasyarakat. Salam perjuangan……….



Tidak ada komentar:

Posting Komentar