AKHIR Juni 2009. Profesor Umar Ibrahim Vadillo
mampir ke Indonesia. Dekan Dallas College Cape Town, Afrika Selatan itu
diundang menjadi salah satu pembicara dalam International Conference of Islamic Economic System
(ICIES) di Yogyakarta. Topiknya, mengembalikan dinar sebagai alat
tukar sesuai syariah. Kegiatan tersebut kerjasama STIE Hamfara
Yogyakarta, CISMOR, Universitas Doshisa Jepang dan Universitas Gadjah
Mada. Pada undangan yang disebar, panitia konferensi menambahi kalimat ‘the man behind dinar’ di belakang namanya. Sebuah keterangan yang menunjukkan sepak terjang Vadillo selama ini.
Sosok Vadillo memang tidak lepas dari dinar. Cendekiawan muslim asal
Spanyol berusia 45 tahun itu adalah pelopor kembalinya dinar –juga
dirham– di abad moderen ini. Tahun 1992, Vadillo mencetak kembali
dinar-dirham di Granada. Dinar adalah koin emas 22 karat seberat 4,25
gram. Dirham, koin perak 2,9 gram. Spesifikasi ini merujuk standar yang
ditetapkan Khalifah Umar ibn al-Khattab. Selama 14 abad, dinar-dirham
berjaya sebagai alat tukar di negeri-negeri muslim. Namun, pasca
jatuhnya Kekhalifahan Usmani Turki (1924), kedua mata uang berbahan
logam mulia itu perlahan menghilang. Dunia beralih menggunakan uang
kertas (fiat money) –sistem mata uang yang tidak bersandar pada emas dan perak.
Bersama World Islamic Trade Organisation (WITO) yang
dipimpinnya, Vadillo gencar memperkenalkan koin dinar-dirham ke berbagai
kalangan termasuk menemui pelbagai pemimpin di dunia. Vadillo adalah
sosok di balik promosi dinar yang kemudian mendapat dukungan dari mantan
Perdana Menteri Turki Necmettin Erbakan, Raja Hassan II Maroko dan
mantan PM Malaysia Mahattir Mohammad. Saat ini, Vadillo terlibat dalam
pembangunan infrastruktur penerapan dinar di Kelantan, Malaysia untuk
digunakan sebagai alat pembayaran gaji para pegawai pemerintah setempat
dan pembayaran listrik dan air.
Kembali menggunakan dinar-dirham, bukan romansa masa silam melainkan bagian dari menegakkan sunnah
Rasulullah yang runtuh. Dinar-dirham adalah rahmat Islam bagi dunia.
Sebaliknya, uang kertas adalah sumber malapetaka bagi bumi dan umat
manusia. Menurut Vadillo, penggunaan uang kertas adalah mesin utama
tegaknya kapitalisme di dunia saat ini.
Vadillo telah menulis sejumlah buku tentang dinar-dirham dengan segala aspek yang melingkupinya. Diantaranya, The End of Economics (1991), Fatwa on Paper Money (1991), The Workers have been Told a Lie about Their Situation (1992), A General Idea of the Opening to Islam in the XXI Century (1994) dan Return of the Gold Dinar (1996). Beberapa di antaranya sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Jejak pemikiran Vadillo juga bisa disimak dalam Menembus Batas, Damai Untuk Semesta
(2008), buku yang berisi kumpulan wawancara Liem Siok Lan dengan
berbagai tokoh dunia berpengaruh –salah satunya dengan Vadillo.
Menurut Vadillo, kapitalisme dalam perspektif Islam adalah berarti riba (usury).
Dan, Islam tegas mengharamkannya. Praktik riba –sebagai doktrin utama
kapitalisme– di era moderen ini terjelma melalui penciptaan uang kertas
(fiat money). Motornya adalah perbankan yang mencetak uang
dari kehampaan lalu memungut bunga-utang. Dari sinilah pelbagai petaka
tercipta. Uang kertas, bunga-utang, memporak-porandakan pelbagai sendi
kehidupan umat manusia. Berbagai kerusakan berlangsung sangat cepat dan
fantastis di bumi kita hanya dalam kurun waktu 75 tahun terakhir.
Kemiskinan, pengangguran, kelaparan, krisis lingkungan, moral hazard
dan sebagainya –adalah sejumlah dampak nyata riba. Maka, bila ingin
lepas dari kapitalisme, jawabannya adalah: tinggalkan sejumlah praktik
riba itu lalu beralih sepenuhnya pada muamalah –tata perniagaan Islam.
Kembali menggunakan dinar-dirham, adalah pilar pertama penegakan muamalah
itu. Buku-buku Vadillo, mengurai bagaimana implementasi dinar-dirham
dalam kehidupan kekinian. Selain sebagai alat tukar, kdua koin itu juga
digunakan untuk membayar zakat, mahar dan investasi.
Pilar kedua, menghidupkan kontrak perdagangan yang halal dan adil berupa qirad (pinjaman usaha) dan syirkah
(kemitraan). Kontrak jenis ini akan menghapuskan ketergantungan
masyarakat moderen pada perbankan yang hidup dengan memungut bunga-utang
dan menciptakan uang dari kenihilan. Ketiga, kembalinya karavan atau kumpulan kafilah pedagang yang kehadirannya akan mengembangkan perdagangan melalui logistik dan aktifitas ekspor.
Keempat, kembalinya guild atau sentra-sentra kewirausahaan
mandiri. Ajaran Islam, menurut Vadillo, mengedepankan bertumbuhnya
kumpulan manusia (masyarakat) yang mampu berwirausaha. Bukan masyarakat
buruh yang hidupnya mengabdi pada majikan. Seiring bertumbuhnya gulid,
akan berdiri pula pilar kelima, yaitu, kembalinya pasar terbuka Islam.
Pasar jenis ini tidak mengenal sewa, pajak dan cukai. Semua orang bebas
berdagang sepanjang barang yang diperdagangkan halal sesuai syariat. Di
pasar itu pula, dinar-dirham digunakan sebagai alat tukar. Kehadiran
kembali pasar terbuka Islam menjadi jalan pembuka melepaskan dominasi
monopolistik pasar moderen yang dikenal melalui supermarket atau hypermarket yang dalam raktiknya terbukti telah menyapu bisnis para pedagang kecil.
Seluruh bangunan muamalah itu bukan wacana apalagi utopia.
Vadillo merujuk dan mengumpulkan pelbagai praktik historis yang sukses
diamalkan oleh generasi umat Islam pertama di Kota Madinah al-Munawarah
pada masa kepemimpinan Rasululah SAW dan berketerusan hingga tiga
generasi berikutnya: sahabat, pengikut (tabi’un) dan setelah pengikut (tabi’ut-tabi’in).
Di Indonesia saat ini, berbagai aspek muamalah itu mulai diterapkan.
Sejak tahun 2001, misalnya, koin dinar-dirham telah dicetak dan beredar
di Indonesia melalui wakala –jaringan gerai penukaran rupiah ke
dinar-dirham. Peredaran dan baku mutu koin berbahan logam mulia itu
berada dalam otoritas amirat yang menginduk ke WITO. Selain itu, pasar
terbuka Islam juga mulai dihidupkan. Beberapa di antaranya telah digelar
di Mesjid Salman ITB, Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran,
Pesantren Daarut Tauhid, Gegerkalong, dan Kampus UGM, Yogya. Seiring
itu, komunitas pengguna dinar-dirham juga kian bertambah luas.
Menjadikan khasanah ‘Islam tradisional’ sebagai rujukan memang
keistimewaan karya-karyanya. Vadillo lahir, dibesarkan di Barat dan
memahami sejarah serta bangunan pemikiran Barat. Namun, setelah
memeluk dan mempelajari Islam, Vadillo tiba pada kesimpulan bahwa pola
pikir, konsep ekonomi dan sistem keuangan moderen Barat berdiri kokoh
pada pilar-pilar riba. Dalam sejumlah bukunya, Vadillo membentangkan
berbagai bukti dan temuannya betapa sistem ekonomi Barat telah gagal
menyejahterakan umat manusia.
Daftar buku yang mengupas topik itu bisa terus diperpanjang. Heidegger for Muslim (2006) –ditulisnya
bersama Abdalhaqq Bewley– mengurai bagaimana metode dan konsep berpikir
filsafat Barat (non-Islam) terbukti gagal mengatasi pelbagai persoalan.
Buku ini berasal dari materi perkuliahan yang diberikan Vadillo di
Dallas College. Bahkan, Vadillo juga menghindari pendekatan kelompok
Islam modernis –yang menurutnya telah melakukan kekeliruan karena
mencampurkan cara pandang Barat dalam memahami Islam. Modernisme Islam,
tegas Vadillo, justru membuat umat Islam kian terpuruk dalam
kapitalisme.
Saat sebagian umat Islam merayakan kemunculan bank syariah,
misalnya, Vadillo justru mengeritiknya. “Bank syariah adalah kuda troya
dalam rumah Islam,” tulisnya. Kritik serupa juga ia tujukan pada
asuransi syariah, pasar modal syariah, kartu kredit syariah dan pelbagai
produk perbankan lainnya yang kini ramai dilabeli kata “syariah”.
Menurut Vadillo, “Semua labelilasi syariah itu hanya merupakan upaya
terselubung sekelompok pihak untuk melemahkan perlawanan Islam menentang
riba selama 14 abad”. Sungguh, ini adalah kritik yang tajam.
Bukunya yang lain, Esoteric Deviation in Islam (2003),
Vadillo menunjukkan lebih detil berbagai potret modernisasi di dunia
Islam itu kian membuat umat Islam terpinggirkan. Pada buku setebal
seribu halaman itu digambarkan, Islam sama sekali tidak membutuhkan
modernisme. Alih-alih modernisme Islam mampu menghapus kapitalisme, yang
terjadi justru hukum Islam telah diselewengkan untuk memperkaya sistem
kapitalisme itu sendiri. Hanya Islam, tanpa pengaruh modernisme,
sebagai satu-satunya jalan untuk ditempuh. “Islam bukan anti Barat.
Islam hanya untuk bertakwa kepada Allah” tegas Vadillo.
Kentalnya warna Islam dalam karya-karya Vadillo serta kegigihannya
dalam berdakwah, tidak bisa dilepaskan dari peran Syeikh Dr Abdalqadir
as-Sufi, mursid tarikat Shadiliah-Darqawi yang menjadi gurunya. Dari
Syeikh as-Sufi, Vadillo mendalami fikih, muamalah, dan tasawuf.
Sebelumnya, Vadillo menimba ilmu di Augustinian College dan Universitas
Madrid.
Syeikh as-Sufi juga dikenal sebagai pemimpin Murabitun World Wide,
komunitas muslim Eropa yang kini mengajar dan menetap di Cape Town,
Afrika Selatan. Dia menulis berbagai artikel dan lusinan buku melingkupi
berbagai topik; fikih, muamalah, tasawuf, politik, prosa dan novel.
Pemikiran Syeikh as-Sufi bisa disimak di situsnya www.shaykhabdalqadir.com.
Sebagaimana Vadillo, murid-murid Syeikh as-Sufi yang banyak tersebar di
berbagai negara di dunia –termasuk Indonesia— juga gencar menyuarakan
perlawanan atas riba dan menyerukan umat Islam kembali pada muamalah.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar