BANYAK
pemuja demokrasi di Indonesia saat ini. Demokrasi dipahami bukan
sekedar alat namun juga tujuan mencapai kesejahteraan, kesetaraan dan
keadilan. Maka, sesiapa yang meragukan demokrasi atau menomorduakannya,
dianggap bukan polah yang populer. Tindakan “merendahkan” demokrasi,
bisa menjadikan si pelakunya sebagai tertuduh: dicap tirani, otoriter,
kolot, momok modernitas, atau, minimal, bagian dari Orde Baru.
Jadilah demokrasi –sebagai alat maupun tujuan– menjadi pembicaraan
dan praktik nomor satu di Indonesia saat ini. Demokrasi menjadi kosakata
penting pada segenap ranah kehidupan kita. Saat Wapres Jusuf Kalla
mengatakan “demokrasi itu nomor dua” ia segera dihujani kritik.
Pandangan JK ini dianggap melemahkan gerakan demokrasi yang sedang
bersemi di Tanah Air. Apalagi, pandangan tersebut berseberangan dengan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sekondannya. Saat berpidato menerima
penghargaan Medali Demokrasi dari sebuah organisasi internasional, SBY
mengatakan, demokrasi telah menjadi bagian penting dan permanen dalam
kehidupan bangsa Indonesia. Bahkan, lanjut SBY, Islam dan demokrasi di
Indonesia bisa bergandengan tangan.
JK boleh jadi sedikit orang berani mengeritik keberadaan dan peran
demokrasi. Namun, Zaim Saidi lebih lagi. Membaca judul buku terbaru
karngan Direktur PIRAC ini, sudah terang sikap penulisnya. Alih-alih
memuja demokrasi, buku yang diterbitkan Republika (September, 2007) ini
justru membentang sisi gelap demokrasi.
Menurut Zaim, demokrasi adalah usaha memperbudak umat manusia demi penegakan negara budak (slave state). Sebuah pernyataan yang jelas melawan mainstream.
Penguasa yang dipilih melalui sistem demokrasi, lanjut Zaim, cuma
boneka. Mereka hanya menjalankan keputusan dan kepentingan kelompok elit
kapitalis, yaitu oligarki bankir internasional yang menguasai ekonomi
dunia saat ini. Di mata Zaim, demokrasi tak lebih dari produk
kapitalisme yang menindas.
Kapitalisme yang dimaksud Zaim adalah bangunan sistem ekonomi moderen
yang berdiri di atas fondasi riba. Riba adalah hal terlarang dalam
Islam. Pada negara moderen, lanjut Zaim, riba justru direduksi dalam
konstitusi negara moderen melalui tampilnya perbankan (bankir) sebagai
pemonopoli pencetakan uang kertas (fiat money), mengucurkan kredit (utang) lalu memungut bunga. Tali-temali ketiganya disebut Zaim dengan konstruksi negara fiskal.
Dalam kontruksi negara fiskal, bank memberikan uang –dalam bentuk cetakan atau melalui ketikan di byte
komputer– kepada pemerintah untuk mendanai pelbagai hal yang disebut
proyek pembangunan. Dari sini kemudian muncul istilah ’utang negara’ (public debt)
hingga setiap warga negara kemudian dikenakan tanggungjawab membayar
utang tersebut. Bentuknya, melalui pemajakan. Zaim melihat ada
persoalan mendasar di tingkat ini, yakni rakyat telah dijaminkan dalam
kontrak utang-piutang yang dilakukan para pengelola negara kepada
perbankan. Dalam kontruksi negara fiskal, simpul Zaim, fungsi konstitusi
pada negara moderen hanya memastikan setiap orang menjadi pembayar
pajak.
Sebab itu, pada level tersebut, penguasa sesungguhnya adalah para
bankir. Pemerintahan yang dipilih –siapapun mereka— sejatinya adalah
pihak yang berutang kepada perbankan. Jadilah kemudian mereka hanya
pemerintahan boneka yang menjalankan kepentingan elit perbankan. Bisa
dimaklumi, saat terbetik berita di media massa perihal Bank Sentral
mengeluarkan keputusan atas tingkat suku bunga di sebuah negara maka
keputusan itu selalu memberi dampak luas pada kebijakan nasional negara
tersebut. Ini bukti, demokrasi itu hanya ilusi. Demokrasi menjelma
menjadi sistem politik tanpa kekuasaan.
Di sisi lain, demokrasi sebagai sebuah metode memperlihatkan
kelemahannya saat suara rakyat terbanyak menjadi dasar utama terbitnya
sebuah keputusan hukum. Zaim mencontohkan, seandainya kehendak kolektif
publik mengatakan bahwa ‘riba itu halal’ maka penguasa mengikutinya dan
memutuskan bahwa ‘riba itu halal’. Keputusan ini dianggap demokratis
karena berdasarkan suara mayoritas. Namun, keputusan yang dianggap
demokratis itu tidak serta merta menafikan ketetapan syariah bahwa ‘riba
itu haram’. Pada konteks ini, pandangan yang menyatakan bahwa
demokrasi sejalan dengan Islam praktis terbantahkan. (hal. 12)
Lugas dan gamblang buku ini mengeritik demokrasi sehingga, lanjut
Zaim, umat manusia sejatinya tidak memerlukannya. Sebagai gantinya, Zaim
menawarkan Islam sebagai jalan keluar. Islam, dalam buku ini
dijabarkan sebagai cara hidup (amalan) dengan menghidupkan kembali
muamalat, restorasi zakat, pasar terbuka, lembaga wakaf, kontrak bisnis
syirkat, penggunaan kembali mata uang dinar emas dan dirham perak serta
karavan dagang.
Konsepsi ini sama sekali berbeda dengan pelbagai instrumen yang
dikenal dalam negara moderen (baca: negara fiskal) seperti perbankan,
partai politik, parlemen, sistem uang kertas, utang berbunga dan pajak.
Zaim juga mengkritisi segala bentuk dan usaha pengislaman pelbagai
produk modernitas yang marak terjadi dalam dunia Islam hari ini seperti
perbankan Islam, asuransi Islam, bursa saham Islam, negara Islam,
hingga demokrasi Islam. Menurutnya, apa yang disebut dengan modernisme
Islam yang kini banyak disuarakan para pemikir Islam, justru memastikan
Islam kian terjerumus ke dalam kapitalisme.
Buku ini merupakan hasil lawatan spiritual dan intelektual Zaim
selama berada di Cape Town, Afrika Selatan sepanjang tahun 2005-2006.
Secara spiritual, Zaim mengikuti denyut kehidupan komunitas umat Islam
di sana yang sukses menjalankan syariat Islam menurut tatanan amal Madinah,
yaitu merujuk perilaku penduduk Madinah yang hidup pada era tiga
generasi pertama Islam. Mereka sukses menjalankan cara hidup Islami
sebagai jalan keluar atas persoalan yang ditimbulkan modernitas. Secara
intelektual, Zaim memperkuat dalil-dalil ilmiah-akademik dalam bukunya
melalui riset di Dallas College, kampus setempat.
Melalui dua pendekatan itu, buku ini menjadi berbeda dengan
kebanyakan buku para peneliti kontemporer Indonesia yang modernis,
liberal dan sekuler. Bila dihadapkan dengan cara Zaim, cara berpikir
mereka justru malah melestarikan kapitalisme, melanggengkan ilusi
tentang demokrasi, dan semakin mengokohkan kontruksi negara fiskal.
***
(Catatan dari Bedah Buku Ilusi Demokrasi, Istora Senayan, Jakarta, Ahad, 9 Maret 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar